Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Berburu Harun Terdepak Harun

Penyingkiran sejumlah penyelidik dan penyidik lewat tes wawasan kebangsaan mengganggu penanganan kasus. Menguntungkan pihak yang punya perkara di KPK.

5 Juni 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Penyidik dan penyelidik KPK tak lulus tes wawasan kebangsaan di antaranya karena menangani kasus sensitif.

  • Harun Masiku sudah diketahui keberadaannya, tapi penangkapannya tak disetujui Deputi Penindakan KPK.

  • Penyidik kasus suap yang menyeret Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar ikut terdepak.

BELASAN penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi mengepung sebuah rumah di bilangan Kayu Putih Selatan, Jakarta Timur, pada awal Januari 2021. Membawa surat izin penggeledahan, mereka bersiap menggeledah rumah milik Wakil Ketua Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat saat itu, Ihsan Yunus. Tapi rencana buyar. “Kami mendadak diminta atasan meninggalkan lokasi,” ujar Andre Dedy Nainggolan, penyidik yang ikut dalam penggeledahan itu, Sabtu, 5 Juni lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rencana penggeledahan rumah Ihsan dirancang tak lama setelah KPK menangkap Menteri Sosial Juliari Peter Batubara. KPK mencokok Juliari karena ia disangka menerima suap sekitar Rp 32,5 miliar dari sejumlah vendor yang ditunjuk sebagai penyalur paket bantuan sosial. Ihsan diduga terlibat penyaluran tersebut. Juliari dan Ihsan adalah kolega satu partai di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bukan hanya tim Andre yang gagal menggeledah pada hari itu. Dua satuan tugas yang dibentuk KPK menangani korupsi bansos juga dilarang menyisir ruangan Ihsan di gedung DPR. Permintaan untuk meninggalkan kedua lokasi tersebut, kata Andre, datang dari atasan. Tim baru diperbolehkan menggeledah hampir dua bulan setelahnya, pada 24 Februari 2021. “Saat kami ke sana, tak ada petunjuk berkas yang bisa ditemukan. Semuanya sudah bersih,” ucapnya.

Andre sebenarnya masih menyisakan banyak pekerjaan rumah dalam perkara korupsi bantuan sosial. Ada sekitar 1,6 juta paket lain yang diduga dikorupsi yang belum tuntas penyidikannya. Tapi peran Andre dalam kasus tersebut tinggal cerita. Sejak awal Juni lalu, kewenangan dia menyidik perkara dicabut.

Ia satu dari 51 pegawai KPK yang terancam dipecat karena tak lulus tes wawasan kebangsaan. Sebagian dari pegawai yang tak lulus itu adalah penyelidik dan penyidik yang kerap menangani kasus besar yang “hasilnya di luar perkiraan pimpinan”. Sebagaimana Andre, kewenangan mereka mengusut kasus dilucuti.

Penyidik Afief Julian Miftach mengalami hal yang sama. Saat ini, Afief tengah menangani suap di Direktorat Jenderal Pajak dengan tersangka Angin Prayitno Aji, bekas Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Pajak. Mereka gagal menggeledah kantor PT Jhonlin Baratama, salah satu perusahaan yang diduga terlibat kasus pajak ini, di Kotabaru, Kalimantan Selatan, pada 9 April lalu karena informasi penggeledahan telanjur bocor.

Afief salah satu penyidik yang tak lulus tes wawasan kebangsaan. Ia tak lagi berwenang memimpin penyidikan. Meskipun kasus pajak masih berjalan, penyidikannya terganggu. “Para saksi dan tersangka menjadi besar kepala. Mereka enggak hadir saat dipanggil. Yang kemarin ngaku, sekarang jadi enggak ngaku,” ujar Afief.

Selain penyidikan, penyelidikan pun terhambat. Seorang pegawai senior yang juga tak lulus tes wawasan kebangsaan mengklaim tengah menelusuri gratifikasi seorang politikus. Dia bersama timnya sedang mengumpulkan barang bukti, tapi pekerjaannya terganjal karena ia tak punya lagi kewenangan di KPK.

Sebaliknya, Ketua KPK Firli Bahuri meyakini komisi antikorupsi tak akan terganggu karena pemecatan 51 pegawainya. Sebab, kata dia, lembaganya tak bergantung pada individu. Lagi pula, menurut dia, jumlah pegawai yang dipecat hanya 5,4 persen dari 1.351 karyawan yang mengikuti tes wawasan kebangsaan. “Sampai saat ini saya yakin mereka masih punya semangat untuk bekerja,” tuturnya.

•••

OBROLAN pada awal tahun ini masih membekas dalam ingatan Harun Al Rasyid, penyelidik yang tak lulus tes wawasan kebangsaan. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri menemuinya dan menanyakan perkembangan berbagai perkara yang tengah diselidiki tim Harun. Firli memintanya menuntaskan kasus-kasus tersebut. “Dia bilang, kapan kita ‘menuai’ lagi?” ujar Harun.

Kepada Firli, Harun mengaku tengah menelisik sejumlah kasus besar. “Sabar, Pak Ketua. Kami sedang ‘menanam’, masak ‘menuai’ terus,” ucapnya menimpali pertanyaan Firli. “Menanam” dan “menuai” adalah istilah slang di KPK untuk menyebut menyelidiki perkara dan menangkap para tersangka.

Saat ini, kata Harun, seharusnya sudah memasuki musim penangkapan karena pengumpulan bukti untuk mencokok calon tersangka telah mencukupi. Tapi rencana operasi tangkap tangan terganjal pencabutan kewenangan penyelidikannya.

Harun terlibat dalam banyak operasi tangkap tangan. Ia di antaranya terlibat dalam penangkapan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Muhammad Romahurmuziy pada 2019; Bupati Sidoarjo Saiful Ilah pada 2020; komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, pada 2020; Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat pada 2021; dan Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah, juga tahun ini.

Harun Masiku/Facebook.com

Ia juga tergabung dalam Satuan Tugas Daftar Pencarian Orang yang bertugas memburu buron KPK. Saat ini ada tujuh buron yang dikejar. Tiga di antaranya bermukim di luar negeri, sisanya belum diketahui keberadaannya. Nama calon anggota legislatif dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Harun Masiku, yang tersangkut kasus suap Wahyu Setiawan, masuk daftar itu. Deputi Penindakan KPK Karyoto secara khusus meminta Harun Al Rasyid memburu Harun Masiku.

Tim gabungan beranggotakan 14 personel dari berbagai bagian. Belum lama ditugasi, mereka langsung mengetahui lokasi Harun Masiku. Menurut Harun Al Rasyid, Harun Masiku bolak-balik Indonesia dan sebuah negara tetangga. Pada Mei lalu, Harun Masiku disebut berada di Indonesia. Anggota tim Harun Al Rasyid membenarkan informasi tersebut. “Lokasinya telah diketahui,” ujarnya.

Harun Al Rasyid mengatakan sudah menyampaikan informasi ini kepada Karyoto. Ia meminta izin memberangkatkan timnya ke negara dimaksud. Permintaan itu ditolak. “Padahal kalau misalnya besok diizinkan, bisa kami langsung tangkap dia,” kata Harun. Dihubungi lewat telepon selulernya, Karyoto tak kunjung merespons permintaan wawancara hingga Sabtu, 5 Juni lalu.

Sekarang perburuan Harun Masiku bisa jadi lebih sulit. Setengah dari anggota tim Harun Al Rasyid dinyatakan tak lulus tes wawasan kebangsaan.

Menurut Harun Al Rasyid, penyidik dan penyelidik yang tak lulus tes tersebut kerap “mengacaukan” skenario penanganan kasus. “Kami bisa tiba-tiba mengambil kasus sampingan yang tidak terduga jika buktinya telak,” ucapnya.

Maksudnya, penyidik dan penyelidik kerap menangkap tersangka yang pada awalnya tak masuk radar. Misalnya kasus korupsi bantuan sosial di Kementerian Sosial. Pimpinan baru belakangan mengetahui bahwa tim berencana menangkap Menteri Sosial Juliari Batubara setelah anak buah sang Menteri dan penyuapnya digulung. Saat pengintaian, nama Juliari tak muncul.

Dugaan lain, penyelidik dan penyidik tak lulus karena menangani kasus sensitif. Penyidik Rizka Anungnata dan penyelidik Aulia Postiera tengah menelusuri suap jual-beli jabatan Wali Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, Muhammad Syahrial. Rizka dan Aulia membenarkan terlibat kasus suap yang melibatkan penyidik KPK, Robin Stepanus Pattuju, itu. Mereka berdua dinyatakan tak memenuhi syarat dalam tes wawasan kebangsaan.

Kasus Tanjungbalai kian menarik karena Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar diduga terlibat. Lili diduga pernah berkomunikasi dengan Syahrial dan mengetahui penyuapan kepada Robin. Hal tersebut dinilai melanggar kode etik dan bahkan bisa berujung pidana. KPK melarang penyidik ataupun pimpinan berhubungan dengan pihak beperkara. Dalam berbagai kesempatan, Lili membantah tuduhan ini.

Walau kenyataan menunjukkan sebaliknya, juru bicara KPK, Ali Fikri, menyatakan penyusutan jumlah penyidik dan penyelidik setelah tes wawasan kebangsaan tak akan mengganggu kinerja KPK. Sebab, kata dia, penyidikan dan penyelidikan tidak bergantung pada individu. Selama ini, setiap satuan tugas terdiri atas lima-enam personel. “Mereka bekerja di bawah pengawasan atasannya langsung,” ujarnya.

TIM INDONESIALEAKS



Catatan:

-Artikel ini diperbaiki pada 6 Juni 2021, pukul 13.20. Sebelumnya tertulis bahwa Harun Al Rasyid adalah pemimpin Satuan Tugas Daftar Pencarian Orang. Semestinya, Harun Al Rasyid adalah anggota satuan tugas tersebut.

-Artikel ini diperbaiki pada 8 Juni 2021 pukul 10.33. Kutipan di paragraf pertama sebelumnya tertulis, "Kami mendadak diminta meninggalkan lokasi" menjadi "Kami mendadak diminta atasan meninggalkan lokasi."

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus