Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Uni Soviet setelah pecah menjadi negara yang kehilangan pamor.
Kemesraannya dengan Barat runtuh setelah Konferensi Yalta. Apa pemicunya?
Presiden Rusia Vladimir Putin ingin mengembalikan kejayaan Uni Soviet dengan mengusung Rusia Baru melalui reintegrasi.
TATKALA pada 24 Februari 2022 sekitar 190 ribu personel militer Rusia menyerbu Ukraina, segera terjadi perbedaan perspektif antara Rusia dan komunitas internasional dalam memahaminya. Barat menyebutnya sebagai invasi, sementara Rusia menamainya operasi militer khusus. Di luar perbedaan penamaan itu, yang menjadi teka-teki sampai kini adalah apa sebenarnya motif Presiden Rusia Vladimir Putin dalam serangan ini?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepada Duta Besar Ukraina dan Duta Besar Rusia di Indonesia, Tempo mengajukan pertanyaan: “Mengapa Putin menginvasi?” Duta Besar Ukraina untuk Indonesia, Vasyl Hamianin, mengatakan pada 16 April lalu tanpa tedeng aling-aling: “Jelas, lantaran Putin ingin membangun kembali kekaisaran Uni Soviet."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sedangkan Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Vorobieva, menolak mentah-mentah pendapat itu. Menurut dia, anggapan bahwa perang Ukraina adalah upaya Putin memperluas wilayah Rusia tidak benar. "Ini adalah balasan Rusia terhadap berbagai pernyataan ancaman Barat yang hendak menjamin dominasi mereka yang terus melemah," katanya kepada Tempo, Kamis, 26 Mei lalu.
Meski ada perbedaan pendapat tentang motif, banyak ahli setuju bahwa invasi ini bagian dari bentuk ketegangan hubungan Rusia dengan negara-negara Barat pimpinan Amerika Serikat yang akarnya bisa dilacak ke masa-masa berakhirnya Perang Dunia II. Topik inilah yang menjadi satu benang merah penting dalam tiga buku tentang Presiden Rusia Vladimir Putin yang dikarang oleh tiga penulis perempuan.
Tiga buku itu adalah From Russia with Blood: Putin's Ruthless Killing Campaign and Secret War on the West (2019) oleh Heidi Blake; Putin's People: How the KGB Took Back Russia and Then Took On the West (2020) oleh Catherine Belton; dan Putin's World: Russia Against the West and with the Rest (2021) oleh Angela Stent.
Angela Stent, Direktur Pusat Studi Eurasia, Rusia, dan Eropa Timur, dalam buku Putin’s World melacak warisan sejarah yang membentuk Rusia kontemporer dalam memahami diri dan perannya secara global. Namun fokus terbesar buku setebal 447 halaman itu adalah hubungan Rusia dengan negara-negara Eropa, Amerika Serikat, Cina, negara-negara Timur Tengah, dan negara eks republik Uni Soviet.
Ideologi Kekaisaran Rusia abad ke-19 adalah ortodoksi, otokrasi, dan nasionalisme. Stent, profesor di Georgetown University, Amerika Serikat, juga mencatat ada semangat ekspansionisme. Hal ini tecermin dari pernyataan Catherine the Great, Maharani (kaisar perempuan) Rusia (1729-1796), yang mengatakan bahwa ia memperluas perbatasan untuk menjaga negaranya tetap aman.
Semuanya berubah setelah terjadi Revolusi Bolshevik yang dipimpin Vladimir Lenin, Oktober 1917. Ideologi negara Rusia menggabungkan aspek retorik Leninisme yang punya visi internasionalisme (melalui Komunis Internasional alias Komintern) dengan dosis besar nasionalisme. Hanya, kata Stent, seiring dengan waktu, hal yang tampak revolusioner pada awalnya itu makin menyerupai era kekaisaran.
Rusia sempat menikmati masa-masa kompak bersama rekan Barat-nya, yaitu Amerika Serikat dan Inggris, saat menghadapi Adolf Hitler dalam Perang Dunia II. Periode itu tak bertahan lama. Segera setelah Jerman menjelang kalah perang, sekutu ini mulai menunjukkan ketidakkompakan, yang terlihat dalam Konferensi Yalta, Februari 1945, saat membahas Eropa pascaperang.
Tak lama setelah Perang Dunia II usai, terjadi ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat dan Uni Soviet bersama sekutu masing-masing, yang dikenal sebagai Blok Barat dan Blok Timur. Kelompok negara yang sebelumnya menjadi sekutu ini pun seketika berubah bermusuhan. Periode yang disebut sebagai Perang Dingin itu terjadi pada 1947 hingga runtuhnya Uni Soviet pada 1991.
Saat Rusia memperkuat cengkeramannya di Eropa Timur dengan mencaplok Cekoslovakia pada Februari 1948, Menteri Luar Negeri dari 11 negara bertemu di Washington, DC, pada 4 April 1949, dan menyepakati terbentuknya Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) untuk membendung kekuatan Soviet. Enam tahun kemudian, tepatnya 14 Mei 1955, Presiden Uni Soviet Josef Stalin bertemu dengan pemimpin Eropa Timur untuk membentuk Pakta Warsawa.
Runtuhnya Soviet pada 26 Desember 1991, yang ditandai dengan berpisahnya 14 negara republik anggotanya, memberi harapan baru bahwa Federasi Rusia akan lebih dekat dengan tetangganya di Eropa. Namun optimisme ini dianggap mengabaikan fakta bahwa banyak orang Rusia menganggap peristiwa itu sebagai malapetaka terbesar dalam sejarah. Putin menyitir hal ini dalam Konferensi Keamanan di Muenchen, Jerman, pada 2007.
Menurut Angela Stent, setelah Uni Soviet berubah menjadi Federasi Rusia, sejumlah elitenya menilai fokus negara baru itu adalah hubungan dengan negara bekas republik Soviet. Pemakaian bahasa Rusia bisa menjadi faktor penting dalam reintegrasi ini. Konsensus umum di kalangan elite saat itu adalah, tanpa reintegrasi, Rusia tidak bisa menjadi negara besar lagi. Ide inilah yang digarap lebih terstruktur di masa Vladimir Putin.
Setelah Soviet bubar, 22 juta orang Rusia tinggal di luar Rusia. Dalam pandangan Putin, Moskow memiliki hak membela para kompatriotnya dan memperluas pengaruhnya di bekas republik Soviet. Putin juga menciptakan ide Rusia baru, yaitu peradaban khas yang dalam banyak hal lebih unggul dari Barat. Konsep Barat tentang individualisme, kompetisi, dan kebebasan berekspresi juga dianggap aneh oleh Rusia.
Dalam periode pertamanya sebagai presiden, 2000-2004, Putin terlihat mencari peluang untuk terhubung ke ekonomi global dan memperkenalkan sejumlah reformasi. Pada waktu itu juga ada sejumlah kerja sama dengan negara Barat, termasuk Amerika Serikat seusai peristiwa serangan 11 September 2001, dan normalisasi hubungan dengan Jerman.
Putin awalnya cenderung ingin membangun kedekatan dengan Barat. Tapi ketika Putin menyadari bahwa Barat berharap Rusia menjadi lebih demokratis dan mendorong kompetisi partai politik, dia mulai curiga dan risau akan implikasi hal tersebut bagi kekuasaannya. Agenda Kebebasan yang diusung Presiden Amerika Serikat George Bush dianggap sebagai ancaman nyata bagi kepentingan Rusia.
Vladimir Putin berjalan di Istana Kremlin, saat upacara pelantikan presiden, pada Mei 2018. Kremlin.ru
Dalam periode keduanya (2004-2008), retorika Putin yang anti-Barat meningkat. Setelah Soviet runtuh, Moskow kerap memprotes NATO karena aliansi itu menjalankan ekspansi keanggotaan ke Eropa Timur dan mendekati perbatasan Rusia. Dalam pidato saat mencaplok Krimea pada 2014, Putin menyinggung ancaman NATO bagi Rusia jika Ukraina bergabung dengan pakta pertahanan itu. Kekhawatiran yang sama disampaikan menjelang invasi Rusia ke Ukraina pada awal 2022.
Oliver Bullough, dalam New York Times edisi 29 Maret 2019, menilai Stent kurang mengeksplorasi aspek domestik politik Rusia, termasuk kaum oligark dan bisnis. Menurut dia, perlindungan terhadap kekayaan sekutunya daripada kesejahteraan bangsanya menjadi inti langkah Putin, baik dengan menyelamatkan bisnis mereka, memberi mereka kontrak besar, maupun membungkam wartawan yang mengancam akan membuka rahasianya.
Ihwal keterlibatan Putin dalam bisnis dibahas dalam buku Putin’s People karya Catherine Belton. Buku setebal 624 halaman itu mengulas kehidupan Putin sebagai agen badan intelijen Uni Soviet (KGB) di Eropa Timur selaku perwira penghubung dengan badan polisi rahasia Jerman, Stasi, hingga akhirnya menjadi perdana menteri dan pejabat presiden, lalu memenangi pemilihan Presiden Rusia pada 2000.
Belton, mantan koresponden Reuters dan Financial Times di Moskow, merekonstruksi masa-masa Putin bertugas di Dresden, Jerman, yang mungkin dia saat itu menjadi anggota grup yang terlibat dalam Operasi Luch atau Sunbeam. Operasi ini dipersiapkan sejak 1988 sebagai antisipasi kalau pemerintah Jerman Timur runtuh. Operasi ini bertujuan merekrut agen yang melanjutkan operasinya setelah pemerintah yang didukung Rusia itu bubar.
Pasukan pro-Rusia berjaga di tank saat konflik Ukraina-Rusia, di luar Donetsk, Ukraina, 13 Mei 2022. REUTERS/Alexander Ermochenko
Pulang ke Saint Petersburg, Putin menjadi deputi wali kota, mendampingi Anatoly Sobchak. Ada yang menyebut jabatan resminya adalah Kepala Komite Hubungan Internasional. Menurut Belton, Sobchak kurang tertarik menjalankan pemerintahan sehari-hari dan menyerahkannya kepada Putin. Ia juga mengandalkan Putin untuk memelihara hubungan dengan eks anggota KGB serta kontak dengan badan intelijen dalam negeri Rusia (FSB) dan penegak hukum.
Belakangan diketahui bahwa Putin antara lain memberikan kontrak kepada perusahaan untuk membeli bahan mentah dengan harga yang jauh dari harga pasar untuk diekspor. Keuntungan dari penjualannya disimpan di bank di luar negeri. Skema seperti ini, menurut Belton, juga diketahui dilakukan oleh perwira KGB dan pejabat Partai Komunis Rusia menjelang keruntuhan Uni Soviet. Dana itu kabarnya dipakai untuk membiayai operasi-operasi rahasia di luar negeri.
Saat Sobchak kalah dalam pemilihan wali kota berikutnya, Putin yang menjadi manajer kampanyenya mundur dari pemerintahan Saint Petersburg. Jaringan KGB Putin lantas diduga membuatnya bisa masuk Kremlin, kantor kepresidenan Rusia, di bawah Boris Yeltsin. Setelah sempat mengisi sejumlah pos, Putin menjadi Kepala FSB. Menurut Belton, saat berada di posisi ini, Putin berusaha membersihkan noda masa lalunya semasa menjadi deputi wali kota.
Situasi berpihak kepada Putin saat Presiden Boris Yeltsin diguncang prahara di masa periode keduanya. Krisis ekonomi dan politik serta upaya penyelidikan kasus korupsi yang melibatkan keluarga Presiden membuatnya harus memilih orang yang bisa dipercaya untuk melindunginya, termasuk dari penyelidikan korupsi. Presiden yang sudah sakit-sakitan itu pun memilih Putin.
Presiden Rusia Vladimir Putin mengunjungi tentara yang terluka akibat konflik Ukraina, di Rumah Sakit Klinik Militer Mandryk, Moskow, Rusia 25 Mei 2022. REUTERS via Sputnik/Mikhail Metzel
Yeltsin mengumumkan Putin, orang yang relatif kurang menonjol, sebagai perdana menteri menggantikan Sergei Stepashin, Agustus 1999. Tak lama kemudian, ia menjadi pelaksana tugas presiden saat Yeltsin mundur. Ia menjadi presiden setelah menang dalam pemilihan umum 26 Maret 2000.
Belton menyebutkan Putin bisa saja merepresentasikan "Plan B" KGB setelah pengambilalihan pemerintahan dalam "Plan A" melalui Yevgeny Maksimovich Primakov gagal. Primakov adalah mantan pemimpin badan intelijen dan menjadi perdana menteri sebelum Sergei Stepashin.
Salah satu pemicu ketegangan Rusia dengan Barat adalah soal Ukraina. Negara ini merupakan bekas republik Soviet terluas setelah Rusia dan Kazakstan. Politbiro Soviet berinvestasi besar dalam industrialisasi di negara itu. Ukraina juga merupakan zona transit penting untuk ekspor bahan strategis Rusia, termasuk minyak dan gas.
Sudah cukup lama Ukraina berada di persimpangan antara ke Rusia atau ke Barat. Parlemen berusaha menjaga keseimbangan itu. Parlemen Ukraina pada 2004 sepakat membuat zona ekonomi bersama Rusia. Calon presiden Viktor Yushchenko, yang sebelumnya diracun, memilih mendukung integrasi dengan Uni Eropa. Pada pemilihan umum 2004, Rusia mendukung Viktor Yanukovych.
Vladimir Putin (kanan) saat serah terima jabatan presiden dari presiden sebelumnya, Boris Yeltsin, di Kremlin, Moskow, pada 31 Desember 1999. Kremlin.ru
Putin memberikan ucapan selamat lebih dulu kepada Yanukovych sebelum hasil pemilu diumumkan. Saat akhirnya disampaikan bahwa Yanukovych memenangi pemilu 31 Oktober 2004 itu, oposisi menuduh ada kecurangan. Sekitar 10 ribu orang memenuhi Lapangan Maidan. Gerakan yang kemudian dikenal sebagai Revolusi Oranye ini memaksa parlemen menggelar pemungutan suara ulang. Pemilu kedua ini berakhir dengan kemenangan Yushchenko.
Menurut Belton, hasil pemilu kedua ini menjadi pukulan memalukan bagi Moskow dan sempat membuat Putin menyampaikan rencana mengundurkan diri. Hasil itu juga memberikan pukulan kedua bagi Rusia. Sebab, pada tahun sebelumnya calon presiden yang didukung Barat, Mikheil Saakashvili, menjadi Presiden Georgia. Pemilu 4 Januari 2004 itu merupakan hasil Revolusi Mawar setelah pengunduran diri Presiden Eduard Shevardnadze.
Berbeda dengan Angela Stent dan Catherine Belton, Heidi Blake dalam buku From Russia with Blood yang tebalnya 323 halaman mengisi bagian cerita tentang bagaimana nasib orang-orang Rusia yang bermusuhan dengan pemerintah Rusia dan meninggal di Inggris. Blake, jurnalis investigasi senior di Buzzfeed News, mengatakan London saat itu adalah tempat sempurna bagi orang kaya Rusia yang lari dari pemerintahan Putin.
Inggris di masa pemerintahan Tony Blair, Gordon Brown, dan David Cameron membuka pintu lebar-lebar bagi orang kaya Rusia. Ekonomi negara ini sangat bergantung pada jasa keuangan untuk menggantikan industri manufaktur yang sekarat. Itu sebabnya pemerintah Inggris seperti menutup mata ketika satu per satu musuh Rusia tewas di wilayah Inggris.
Pembunuhan mantan agen FSB yang membelot ke MI6, Alexander Litvinenko, pada 2006 menjadi pengecualian. Ia tewas diracun dengan bahan radioaktif polonium. Dalam soal ini, pemerintah Inggris tidak punya pilihan selain memberikan respons. Dua orang Rusia yang diduga sebagai pembunuhnya diadili secara in absentia.
Meski kasus ini jelas merupakan teror dengan senjata kimia, respons pemerintah Inggris bisa dibilang lembek. Saat itu Inggris hanya mengusir pulang empat diplomat Rusia. Menurut Belton, baru setelah Rusia mencaplok Krimea, Inggris meminta digelar penyelidikan menyeluruh atas kasus ini dan puncaknya diketahui bahwa peracunan itu dilakukan atas perintah Vladimir Putin.
Alasan keengganan Inggris bertindak memang bukan hanya soal keuangan. Serangkaian pembunuhan itu terjadi tak lama setelah serangan 11 September 2001, saat sumber daya intelijen Inggris dan Amerika banyak dialokasikan ke perang melawan teror. Perwira di MI5 dan detektif di Scotland Yard dialihtugaskan untuk menangani kelompok ekstremis. Agen MI6 di desk Rusia berkurang karena dipindahkan ke desk Timur Tengah.
Pengecualian kedua adalah saat Sergei Skripal dan anaknya, Yulia, diracun dengan senjata kimia Novichok di Kota Salisbury, 4 Maret 2018. Skripal adalah agen ganda Rusia dan Inggris. Keduanya dirawat intensif. Perdana Menteri Inggris Theresa May bereaksi atas kasus itu dan mengatakan sangat besar kemungkinan Rusia bertanggung jawab atas serangan ini.
Berbeda dengan kasus Alexander Litvinenko, kasus peracunan Skripal ini memicu reaksi keras. Lebih dari 150 diplomat Rusia diusir dari sejumlah negara Barat. Amerika Serikat dan sekutunya menyebut peracunan dengan bahan kimia ini sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional dan mengancam keamanan. Blake menambahkan, kasus itu menyebabkan hubungan Barat dengan Rusia merosot di bawah nol derajat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo