Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bukan Buku Biasa

Para seniman membuat pameran buku artist’s book atau buku seniman di Bandung Artist’s Book. Dari jurnal harian, catatan ide, hingga jejak kreatif mereka.

28 Mei 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Buku karya Deddy PAW berjudul True Happiness di pameran Bandung Artist's Book, Bandung, Jawa Barat, 20 Mei 2022. TEMPO/Prima Mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pameran buku kreasi para seniman di Bandung Artist's Book.

  • Menampilkan beragam buku kreasi seniman, dari catatan ide hingga jejak kreatif mereka.

  • Dari buku kreasi Mella Jaasrma, Afrizal Malna, Ugo Untoro, hingga Tisna Sanjaya.

SEBUAH buku berbentuk setengah lingkaran tergolek di meja bersiku landai. Begitu dibuka, buku berkulit kain kanvas putih itu menyerupai bentuk apel, lengkap dengan tangkai kecil di pucuknya. Berukuran besar, agak tebal, dan berat, setiap halaman bukunya berlapis karton. Seniman Deddy PAW dari Padepokan Apel Watoe di Magelang, Jawa Tengah, memberi judul buku itu True Happiness.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di halaman pembuka yang berlatar hitam, Deddy membuat kata pengantar. Kalimatnya ditulis dengan tangan memakai tinta putih berhuruf sambung yang miring ke kanan. “Kebahagiaan itu jangan dicari, tetapi ciptakanlah! Dengan berkarya seni—di antaranya menggambar—saya bahagia. Agar bahagia terus, maka saya berkarya terus!” Pernyataan itu bersanding dengan lukisan foto diri bernuansa hitam-putih dengan kalung berbandul tengkorak di halaman sebelahnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika halaman berikutnya dibalik, muncul kalimat lain yang ditulis tangan dengan tinta hitam. “Kebahagiaan itu bukan tergantung pada kejadian, namun tergantung pada pemikiran kita.” Kalimat kutipan dari Buddha itu disertai gambar sebuah apel perak dan ornamen garis putih persegi serta segitiga tebal berwarna putih. Di halaman sebelahnya, Deddy menggambar seseorang berpakaian biksu dan berkalung tasbih dengan tangan mengatup.

Pada halaman-halaman berikutnya, Deddy mengutip ujaran beberapa tokoh lain, seperti Ki Hadjar Dewantara, Mahatma Gandhi, Dalai Lama, RA Kartini, dan Bunda Teresa. Isinya tentang kebermanfaatan manusia, kebahagiaan, juga cinta disertai ilustrasi bergambar apel. Kehadiran buah itu menjadi ciri khasnya dalam berkarya. Sementara itu, pada bagian belakang buku tersebut masih ada halaman-halaman kosong, juga gambar yang belum rampung.

Kecenderungan gambar-gambar bersama tulisan dalam sebuah buku seperti itu muncul dalam pameran Bandung Artist’s Book di Thee Huis Gallery, Taman Budaya Jawa Barat. Pameran yang berlangsung pada 20-30 Mei ini menampilkan beragam karya artist’s book atau buku kreasi para seniman, dari jurnal harian, catatan ide, hingga jejak kreatif mereka.

Karya buku seniman dengan pola seperti itu bisa muncul karena berbagai latar dan alasan. Bisa jadi ketika mendengar kata buku, maka halaman kosongnya harus ditulisi selain digambari. Kemungkinan lain adalah seniman senang menulis atau suka tulisan dan kutipan tertentu dari orang lain. Dalam pameran yang menampung karya 80 peserta itu, buku menjadi sebuah ruang kecil ide, konsep, dan rencana, hingga menjadi sebuah karya seni rupa.

Pada Batas Setiap Masa Kini karya Afrizal Malna di Galeri Dago Thee Huise, Bandung, Jawa Barat, 20 Mei 2022. TEMPO/Prima Mulia

Pengunjung bisa melihat buku karya Mella Jaarsma, misalnya, yang dijilid dengan benang dan setangkai kayu. Seniman kelahiran Belanda yang menetap di Yogyakarta itu menyiapkan karya dari hasil seleksi beberapa buku gambarnya dalam kurun lima tahun terakhir yang kemudian diduplikasi. Pemilik atau kolektor buku biasanya menduplikasi untuk mencegah agar buku aslinya tidak hilang ketika dipinjam orang lain.

Mella dalam pernyataan tertulisnya menuturkan, sejak menjadi mahasiswi, ia selalu punya buku sketsa dan catatan yang menemaninya di studio. Hampir setiap hari saat berada di studio atau ketika pergi untuk penelitian, dia menuliskan banyak hal di buku. Misalnya kutipan dari buku yang dibaca dan dianggapnya penting atau membuat goresan gambar dari ide yang muncul. “Catat ide supaya tidak lupa,” katanya.

Afrizal Malna juga termasuk peserta yang menyiapkan karya bukunya untuk dipajang sebagai karya seni. Afrizal menampilkan sebuah buku tulisannya yang berjudul Pada Batas Setiap Masa Kini. Buku yang cukup tebal itu ia baringkan pada sebuah cobek batu, kemudian bagian atas atau sampul bukunya digerus bersama serpihan halaman buku oleh ulekan. Karya lain berupa sebuah buku catatan kecil yang ramai dan digemukkan oleh berbagai aksesori pembatas buku, potongan kertas, juga selipan daftar belanjaan.

Buku sebagai alat tulis dijadikan perupa Tisna Sanjaya untuk membuat pidato sambutan dalam beberapa acara pertemuan dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung. Tulisan tangan dengan spidol hitam itu ada yang disertai banyak coretan untuk menghapus sebuah paragraf, tapi aksaranya masih bisa dibaca. Di buku lain, Tisna menuangkan konsep dan perencanaan untuk menggelar pameran kincir air di Cigondewah, Bandung. Menurut ketua panitia acara, Nandanggawe, ada kolektor seni yang mengincar untuk membeli buku Tisna dalam pameran itu, tapi ditolaknya. “Karena isinya bersifat pribadi,” ujar Nandanggawe, Kamis, 19 Mei lalu.

Adapun perupa Ugo Untoro mengirimkan enam buku untuk dipajang. Semuanya buku tulis bergaris yang biasa dipakai anak sekolah untuk belajar dengan kondisi sebagian telah kusam dan ada yang koyak bagian sampulnya. Buku itu berisi apa adanya tentang catatan ide dan sketsa gambar yang dibuat dengan bolpoin biru atau hitam.

Gambarnya seperti orang sedang bangkit dari kursi, juga sesosok tubuh berkepala gundul mengempit pedang di ketiak kirinya. Pada sehalaman penuh lainnya, Ugo menggambar dua pendekar sedang bertarung seperti di komik. Aksi kekerasan itu melunak pada lembar lain yang memuat lirik lagu hasil tulisan tangan. Judulnya seperti “Stuck on You” yang lengkap dengan kunci nada musiknya.

Pameran yang juga merupakan bagian dari kampanye bulan menggambar nasional oleh Forum Drawing Indonesia itu berawal dari kelas menggambar yang digelar oleh Nandanggawe. Pesertanya para seniman muda, seperti mahasiswanya di Institut Seni dan Budaya Indonesia, Bandung. Drawing atau gambar menjadi solusi dari hambatan mereka berkarya seni rupa. Seiring dengan waktu, kelas yang dibuka pada 2011 itu punya metode berkarya melalui proses pembuatan art book. “Buku itu menjadi tempat menyimpan gagasan, catatan, corat-coret apa pun, termasuk eksplorasi teknik menggambar,” kata Nandanggawe, yang juga dosen seni rupa yang mengajar gambar dan seni lukis.

Buku seperti itu, menurut Nandanggawe, bukan sesuatu yang baru dan lazim dimiliki seniman sejak dulu. “Dapur idenya seniman ada di buku itu,” ujarnya. Gagasan memamerkan “dapur” itu kemudian mulai diwujudkan sejak Maret lalu. Panitia membuka open call yang diminati sekitar 70 orang yang diseleksi kurator Heru Hikayat menjadi 30 peserta. Mereka juga mengundang 30 seniman ternama untuk menggelar pameran bersama 20 murid kelas gambar, sehingga total berjumlah 80 peserta.

Awalnya dari kalangan seniman undangan ada suara yang meragukan apakah buku seniman itu bisa dipamerkan. Peserta juga ditantang untuk membuka ruang gagasan di balik karyanya kepada publik dan bisa disentuh langsung. Semula tiap pengunjung akan diwajibkan memakai sarung tangan yang disediakan untuk membuka-buka buku. Keputusan terbaru menjelang pembukaan acara akhirnya membatalkan aturan itu.

Karya buku seniman yang ditampilkan sangat beragam. Ada yang membuat semua halamannya dari bahan akrilik bening lalu dilukis. Peserta lain menyuguhkan map berisi semacam portofolio karya dan sebuah majalah yang mengeras tanpa bisa dibuka isinya. Selain mengungkap ide kreasi seni, buku-buku itu mengenalkan sikap dan pemikiran seniman tentang sesuatu.

Beberapa seniman lain yang ikut dalam pameran buku ini di antaranya Hanafi, Diyanto, Pupung Prayitno, Dedy Sufriadi, Iwan Effendi, Gusmen Heriadi, Agus Koecink, Mufti “Amenk” Priyanka, Gindring Waste, dan Candrika Soewarno. Menurut seorang peserta, Henryette Louise Y.T., buku membuatnya diam tapi begitu berisik. “Saya suka suara halaman dan tanpa kita sadari sering kali fingerprint jadi jejak keintiman. Saya kira tidak ada buku yang cukup untuk mencatat dunia dan ide,” katanya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Anwar Siswadi

Anwar Siswadi

Kontributor Tempo di Bandung

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus