Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Gerakan melawan penambangan di Desa Wadas muncul sejak 2013.
Kelompok perempuan menjadi salah satu motor perlawanan di Wadas.
LBH Yogyakarta dan Jaringan Gusdurian ikut menyuarakan perlawanan warga yang diintimidasi.
DI tengah kepungan ratusan polisi, Khamidah mendaraskan doa di halaman Masjid Nurul Huda, Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Selasa, 8 Februari lalu. Siang itu, ia bersama warga Wadas lain menggelar mujahadah, tradisi menyatakan kesungguhan berjuang. Mereka menolak penambangan batu andesit untuk proyek pembangunan bendungan Bener.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiba-tiba perempuan 41 tahun itu berteriak-teriak dan mengacungkan jari ke panggung acara. Khamidah menyaksikan polisi mencokok anak dan adiknya yang berada di atas panggung. “Anak saya enggak salah apa-apa,” kata Khamidah menceritakan kembali peristiwa itu saat dihubungi pada Jumat, 25 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, polisi sebelumnya hanya memotret kegiatan tersebut. Namun tiba-tiba puluhan polisi dan laki-laki berjaket kulit merangsek ke kerumunan penduduk penolak tambang serta menguber para pemuda dan bapak-bapak. Suasana langsung cabuh. Peserta mujahadah kocar-kacir dan masuk ke masjid untuk bersembunyi.
Wadon Wadas penolak tambang andesit menganyam bambu menjadi besek saat didatangi polisi, di Wadas, Kecamatan Bener, Purworejo, Jawa Tengah, 10 Februari 2022. TEMPO/Shinta Maharani
Menyaksikan sanak saudaranya digulung polisi, Khamidah menggerung-gerung. Perempuan-perempuan lain juga menangis dengan riuh. Anak-anak menjerit dan menyuruk ke ketiak orang tua mereka. Seorang polisi mendekati Khamidah dan meminta dia tenang sembari menjamin kerabatnya yang ditangkap diperlakukan dengan baik. “Saya disuruh diam,” ujar Khamidah.
Hari itu 67 warga Wadas, termasuk seorang perempuan, digelandang ke markas Kepolisian Resor Purworejo. Mereka baru dipulangkan sehari seusai huru-hara meletus. Pada hari penangkapan itu, polisi mengawal petugas Badan Pertanahan Nasional yang berniat mengukur lahan di Wadas.
Desa Wadas bergolak sejak pemerintah berencana membangun bendungan Bener di Purworejo. Proyek dam bernilai Rp 2 triliun itu akan mengambil batuan dari perut Wadas yang menyimpan cadangan batu andesit hingga 41 juta meter kubik. Pemerintah berencana membebaskan lahan seluas 114 hektare di Wadas untuk kegiatan penambangan.
Khamidah bersama warga Wadas lain menolak rencana penambangan sejak 2013. Mereka mendirikan pos jaga di sejumlah pintu masuk desa dan area hutan. Tujuannya untuk menghalau petugas pengukuran tanah dan polisi yang berpatroli di Wadas, juga perwakilan perusahaan tambang yang mencoba masuk ke desa.
Mengusir utusan perusahaan atau polisi, warga Wadas mengandalkan peralatan lawas: kentungan bambu. Penduduk yang pertama kali melihat perwakilan perusahaan langsung memukul kentungan berulang kali. Seketika bebunyian itu bersahut-sahutan di tujuh rukun tetangga penolak tambang. Mereka langsung merapatkan barisan untuk mengusir tamu tak diinginkan itu.
Pada siang hari, para perempuan berjaga di pos sambil membuat besek. Menganyam keranjang bambu merupakan salah satu mata pencarian Khamidah. “Hasilnya cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari,” tuturnya. (Baca: Kisah Kartunis yang Membela Warga Wadas)
Menjelang petang, gantian para pemuda dan bapak-bapak berjaga di pos. Suatu ketika para pemuda sempat memergoki sekelompok orang yang membawa alat pengukur tanah masuk melalui Kaliwader, desa tetangga Wadas, saat pagi buta. Rombongan itu menghilang begitu dikejar petugas di pos jaga.
Khamim, 40 tahun, salah satu warga Wadas yang rutin meronda di pos jaga. Saban malam ia berkeliling dari satu pos ke pos lain. Ia bercerita, sekitar 30 tahun lalu terjadi bencana tanah longsor yang disebabkan oleh penambangan batu andesit. Tiga keluarga yang menjadi korban adalah kerabat Khamim.
Itulah sebabnya ia gigih menolak penambangan di Wadas. Hingga sekarang, ia kerap merasa mengalami trauma kala hujan deras melanda desanya. “Saya teringat bencana masa lalu,” ujarnya.
•••
PARA perempuan yang menolak tambang berhimpun dalam komunitas Wadon Wadas sejak 2020. Penggagas kelompok yang artinya “Perempuan Wadas” itu, Sriyanah, mengatakan perempuan paling terkena dampak penambangan yang menghilangkan sumber air. “Perempuan memasak, membuat besek, atau membikin gula aren dengan memanfaatkan air,” ucapnya.
Sriyanah bercerita, sejak tiga tahun lalu ia kerap didatangi cepu alias informan polisi. Sepekan sekali, ada saja tamu yang menyambangi rumahnya. Berdalih bersilaturahmi, tetamu asing itu kerap mengulik alasan warga Wadas menentang penambangan batu andesit. Sebelum pergi, mereka selalu berpesan agar Sriyanah dan para penolak tambang tak membuat onar.
Ia juga kerap didatangi perwakilan perusahaan tambang. Tamunya itu mengobral janji hidup enak jika Sriyanah mendukung program pemerintah. Ia bahkan dijanjikan bisa membeli mobil. Berkali-kali dibujuk, sebanyak itu pula Sriyanah kukuh menolak.
Wadon Wadas menjadi salah satu motor yang melawan rencana penambangan. Pada 8 Februari lalu, Sriyanah mengajak ibu-ibu mengikuti mujahadah. Seiring dengan waktu berlanglang, jumlah peserta kian banyak. Ia menjadi satu-satunya perempuan yang digelandang ke kantor polisi setelah kericuhan terjadi. (Baca: Dua Kesalahan Gubernur Ganjar Pranowo di Proyek Bendungan Bener)
Tak hanya melawan tamu gelap, para penentang penambangan batu andesit juga kerap berhadapan dengan kubu pendukung tambang. Khamidah, penentang tambang, mengatakan kelompok pro-tambang kerap menggelar konvoi dan menyuarakan perlunya penambangan. Ia pernah diceramahi agar melepas tanah miliknya. “Tapi saya tetap menolak,” ujarnya.
Melawan rencana penambangan, warga Wadas didampingi sejumlah organisasi masyarakat sipil, seperti Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta. Direktur LBH Yogyakarta Yogi Zul Fadhli mengatakan warga penolak tambang datang pertama kali ke kantornya pada 2018. Mereka mengadukan kejanggalan proyek bendungan Bener dan rencana penambangan batu andesit.
Sejumlah warga yang sempat ditahan akhirnya dibebaskan polisi tiba di halaman masjid Desa Wadas, Bener, Purworejo, Jawa Tengah, 9 Februari 2022. ANTARA/Hendra Nurdiyansyah
Menurut Yogi, advokat LBH Yogyakarta mendampingi warga Wadas ketika kericuhan pertama pecah pada 23 April 2021. Kala itu, pemerintah berniat mensosialisasi pengukuran lahan yang masuk area tambang. Bentrokan terjadi ketika warga menolak kedatangan petugas yang dikawal polisi.
Seorang pengacara LBH Yogyakarta diduga mengalami kekerasan saat diciduk polisi. Penyebabnya, ia dianggap tak berpenampilan layaknya advokat. “Kolega kami padahal sudah menjelaskan statusnya sebagai pengacara,” kata Yogi.
Strategi litigasi juga diterapkan LBH Yogyakarta dengan mengadvokasi warga yang menggugat izin lokasi pengadaan tanah yang dikeluarkan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, pada pertengahan 2021. Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang menolak gugatan tersebut. Putusan itu dikuatkan di tingkat kasasi Mahkamah Agung.
Pada 8 Februari lalu, tim LBH Yogyakarta juga hadir di Wadas. Anggota Divisi Kampanye dan Jaringan LBH Yogyakarta, Dhanil Al Ghifary, dibekuk lalu digelandang oleh polisi ke kantor Kepolisian Sektor Bener. Sepanjang perjalanan ke kantor polisi, ia melihat ratusan tameng aparat direbahkan di tepi jalan. “Ponsel saya akan diambil, tapi saya tahan,” tutur Dhanil.
Setelah peristiwa kelam di Wadas, akun media sosial dan WhatsApp milik anggota staf LBH Yogyakarta mendapat serangan. Yogi bercerita, akun LBH Yogyakarta mengunggah video dugaan kekerasan yang dilakukan polisi di Wadas via Instagram pada 8 Februari malam. Berselang 19 menit, akun tersebut tak bisa diakses lagi dan baru pulih sehari kemudian.
Pada 12 Februari, giliran akun WhatsApp Yogi diserang. Sekitar pukul 15.30, ada panggilan masuk ke telepon Yogi dari nomor yang teridentifikasi dari California, Amerika Serikat. Ia tak mengangkat panggilan itu. Namun, saat mengecek riwayat telepon, ia justru keliru menelepon balik nomor asing itu.
Pemberitahuan akun twitter @Wadas_Melawan, bahwa akunnya sudah bisa kembali diakses setelah sebelumnya sempat ditangguhkan, Jakarta, 19 Februari 2022. TEMPO/Jati Mahatmaji
Dalam hitungan detik, ada pemberitahuan lewat pesan pendek bahwa akun WhatsApp Yogi sudah didaftarkan ke perangkat baru. “Akun itu dikuasai peretas selama setengah jam,” ujarnya. (Baca: Bagaimana Warga Wadas Melawan Proyek Bendungan Bener)
Sekitar dua jam sebelumnya, akun media sosial Koordinator Divisi Kampanye dan Jaringan LBH Yogyakarta Danang Kurnia Awami juga hendak dibobol. Ia menerima pemberitahuan bahwa ada upaya masuk ke akun Telegram dan Instagram dari perangkat yang berlokasi di Amerika Serikat dan Sulawesi. Danang bisa mencegat peretasan itu karena ia mengaktifkan verifikasi berlapis.
Menurut Danang, dua anggota staf LBH Yogyakarta yang tak terlibat dalam pendampingan kasus Wadas mengalami kejadian serupa. Padahal nama seorang anggota staf itu tak tercantum dalam publikasi keanggotaan LBH Yogyakarta. “Polanya sama dengan percobaan meretas Telegram dan Instagram,” kata Danang.
Serangan di jagat maya menimpa akun @Wadas_Melawan di Twitter, salah satu kanal komunikasi resmi milik kelompok kontra-tambang. Nunung—bukan nama sebenarnya—salah seorang yang mengetahui pengelolaan media sosial warga Wadas. Nunung meminta namanya disamarkan karena alasan keselamatan.
Menurut Nunung, akun @Wadas_Melawan sempat ditangguhkan pada 16 Februari lalu. Kejadian itu menyusul konten-konten yang diunggah pengelola akun mengenai kekerasan yang diduga dilakukan polisi dan lembar fakta mengenai penambangan batu andesit di Wadas. “Kami menjaga agar narasi penambangan di Wadas tak bias,” ujarnya.
Nunung mencontohkan, tim @Wadas_Melawan meladeni sejumlah akun pendengung yang membuat narasi bahwa jumlah penduduk yang mendukung penambangan batu andesit lebih banyak ketimbang kelompok yang kontra. Tim langsung memuat konten yang menyatakan bahwa tujuh dari sebelas dusun di Desa Wadas menentang rencana tambang batu andesit.
Beberapa hari seusai kerusuhan di Wadas, Nunung mendapat panggilan dari nomor telepon Amerika sebanyak tiga kali. Tak menggubris panggilan itu, ia memilih menonaktifkan nomor selulernya. “Saya juga melihat pesan pendek bernada ancaman bahwa melawan aparat bisa dijerat dengan undang-undang,” tuturnya.
Sejumlah konten @Wadas_Melawan juga menjadi target kontranarasi oleh Kepolisian RI. Akun media sosial yang terafiliasi dengan kepolisian menyebarkan grafis yang membantah dugaan kekerasan saat penggerudukan Wadas. Akun @DivHumasPolri milik Divisi Humas Markas Besar Polri melabeli informasi yang diunggah @Wadas_Melawan sebagai kabar kibul alias hoaks.
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) sempat menyimpan unggahan stempel hoaks itu sebelum dihapus pengelola akun Humas Polri. Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto menyebutkan kontranarasi di media sosial membuktikan ada upaya sistematis untuk mendistorsi fakta soal konflik Wadas. “Ini contoh penindasan hak digital,” ujar Damar.
Dimintai konfirmasi pada Jumat, 25 Februari lalu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan menjelaskan sejumlah hal tentang narasi kepolisian soal Wadas di media sosial. Tapi ia enggan pernyataannya dikutip.
Setahun belakangan, Jaringan Gusdurian juga mendampingi warga Wadas. Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid mengungkapkan organisasinya mengirimkan berbagai bahan kebutuhan pokok ke Wadas. Anggota Gusdurian juga aktif menghadiri mujahadah dan sedang menyiapkan program pemulihan trauma menyusul konflik yang terjadi pada awal Februari lalu.
Alissa dua kali berkomunikasi dengan Gubernur Ganjar Pranowo. Ia bertemu dengan politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu pada awal Januari lalu. Alissa mendesak Ganjar berdialog dengan warga Wadas sebelum mengukur lahan.
Menurut Alissa, Ganjar saat itu memutuskan untuk membatalkan kegiatan pengukuran yang dijadwalkan pada Januari 2022. “Saya kaget ketika terjadi kerusuhan karena pengukuran tanah,” ucap Alissa.
Menyuarakan aspirasi warga Wadas, Alissa mengunggah konten dan narasi di media sosial agar pemerintah menghormati hak warga Wadas atas tanah. Putri sulung mantan presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur itu menyatakan warga Wadas berhak menentukan nasib atas tanah mereka. Ia juga mendesak pemerintah menggelar musyawarah.
Berbagai unggahan itu membuat Alissa dicap sebagai oposan pemerintah dari sejumlah akun di Twitter. “Saya disebut ‘kadrun’ gara-gara membela warga Wadas,” katanya. (Baca: Alasan Warga Wadas Menolak Penambangan Andesit)
Warga Desa Wadas penolak tambang andesit menggelar acara pentas seni di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, 1 Januari 2022. TEMPO/Shinta Maharani
Hasil analisis lembaga pemantau media sosial menemukan bahwa pembicaraan tentang anarki yang terjadi di Wadas mengapung sejak hari pertama polisi merangsek ke desa. Selama tiga hari, narasi perlawanan warga dan kejanggalan proyek penambangan mendominasi percakapan media sosial Twitter. Salah satu akun pemengaruh adalah @LBHYogyakarta dan @AlissaWahid.
Pada 11-17 Februari, akun pendengung dan kepolisian yang menyiarkan konten kontranarasi mulai bermunculan. Selama tujuh hari itu, ada lebih dari 6.500 percakapan yang menggunakan tanda pagar #WadasKondusif serta 5.000 percakapan dengan #FaktaWadas. Dua tagar itu menandingi kampanye #WadasMelawan.
Narasi #WadasKondusif, menurut lembaga analis media sosial, dimotori oleh akun yang terafiliasi dengan polisi. Di antaranya @reskrimsusjtg, akun Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Jawa Tengah, dan @Polresta_Bms milik Kepolisian Resor Kota Banyumas.
Dua akun itu mengunggah konten yang menyatakan situasi Wadas aman. Akun itu juga menyertakan cuplikan video polisi membagi-bagikan bingkisan kepada warga desa.
Tagar #FaktaWadas dipakai oleh sejumlah akun pendengung. Salah satunya @TeweL0101 yang berpengikut 14 ribu akun dan @theT4ntryS1 dengan 13 ribu pengikut. Mereka membuat narasi yang mendukung Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menangani kisruh proyek di Wadas. Akun tersebut juga mengaitkan aksi Ganjar di Wadas dengan elektabilitas.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jawa Tengah Komisaris Besar Muhammad Iqbal Alqudusy membantah jika polisi disebut menggelar operasi kontranarasi di media sosial. Iqbal mengklaim polisi berupaya menyajikan informasi yang benar. “Warganet berhak mendapatkan berita yang benar soal Wadas agar tak terjadi kegaduhan,” ujarnya.
Iqbal menyebutkan personelnya sedang berupaya menjalin komunikasi dengan warga Wadas seusai bentrokan. Polisi mulai membagi-bagikan bahan pokok, membuat ratusan jamban, membangun sumur bor, hingga mengecat tembok masjid di Wadas. Iqbal mengklaim warga mengapresiasi kegiatan sosial dari aparat itu.
Namun tidak demikian bagi Khamidah yang kerabatnya dicokok polisi. Ia mengaku masih terguncang oleh kehadiran polisi kendati mereka menggelar berbagai acara bakti sosial. Belakangan ini Khamidah menumpang tidur di rumah tetangga karena ia melihat polisi masih berjaga di sekitar Masjid Al Hidayah—sekitar 20 meter dari rumahnya.
Bagai mengendus maling, polisi sesekali wira-wiri sambil menuntun anjing pelacak di jalan desa. Khamidah masih merasa cemas setiap kali melihat aktivitas polisi. Namun ia memastikan tak mengubah keputusannya menolak penambangan batu andesit di Wadas. “Pokoknya tanah saya tetap enggak boleh diambil untuk tambang,” ucap Khamidah.
BUDIARTI UTAMI, FRANCISCA CHRISTY ROSANA, SHINTA MAHARANI (PURWOREJO)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo