Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dokumen Kambing Proyek Nasional

Dokumen analisis dampak lingkungan proyek bendungan Bener dan penambangan batu di Wadas penuh kejanggalan. Bohong soal persetujuan masyarakat.

27 Februari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Proyek Strategis Nasional Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, 10 Februari 2022. TEMPO/Shinta Maharani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sekitar 40 akademikus mengkaji dokumen andal bendungan Bener dan penambangan di Wadas.

  • Metode di dokumen andal tidak valid dan tak layak dijadikan dasar pengambilan keputusan.

  • Warga Wadas merasa ditipu karena sebagian besar tak mendukung penambangan.

SEKITAR 40 akademikus meriung di kantor Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) di Yogyakarta pada Kamis, 17 Februari lalu. Berasal dari berbagai kampus, mereka membedah analisis dampak lingkungan atau andal proyek pembangunan Bendungan Bener dan penambangan batu di Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kami yakin ada yang tidak beres di perizinan proyek ini sehingga mendapat perlawanan dari masyarakat Desa Wadas,” ujar Herlambang P. Wiratraman, pengajar di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, yang menjadi salah satu pemrakarsa pertemuan, kepada Tempo, Jumat, 25 Februari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pembangunan bendungan Bener merupakan salah satu proyek strategis nasional. Pembangunan bendungan seluas 590 hektare itu membutuhkan sekitar 12 juta meter kubik batu andesit. Batuan tersebut rencananya akan ditambang di Desa Wadas, yang berjarak sekitar 11 kilometer dari lokasi bendungan. Namun, sejak 2013, sebagian besar warga Wadas menolak lahan desa dikeruk.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. mengatakan pemerintah tetap melanjutkan proyek tersebut. Alasannya, “Sebagian warga yang menolak sudah pernah mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara hingga Mahkamah Agung, dan semuanya ditolak. Artinya program pemerintah sudah benar,” ucap Mahfud. (Baca Opini Tempo: Mengapa Proyek Bendungan Bener Menyalahi Konstitusi)

Menurut Herlambang, kerusuhan yang terjadi di Wadas pada 8 Februari lalu mendorong para akademikus untuk mencari bukti ilmiah akar persoalan di Wadas. Salah satunya dengan mengkaji analisis dampak lingkungan proyek bendungan Bener.

Ahli ekologi politik dan kebijakan lingkungan dari Institut Pertanian Bogor atau IPB University, Soeryo Adiwibowo, yang ikut mengkaji andal, mengatakan ada banyak persoalan dalam dokumen tersebut. Padahal dokumen itu menjadi dasar penerbitan izin lingkungan proyek bendungan Bener dan penambangan di Wadas.

Soeryo menjelaskan, dokumen andal mencakup dua proyek sekaligus, pembangunan bendungan Bener dan penambangan batu di Wadas. Andal terpadu, yaitu penggabungan analisis lebih dari satu proyek, memang dimungkinkan. Namun andal terpadu tetap mensyaratkan kajian mendalam pada setiap proyek.

Masalahnya, andal proyek di Purworejo itu ternyata hanya berfokus pada pembangunan bendungan Bener. Sedangkan proyek penambangan batu andesit di Desa Wadas tidak dikaji secara mendalam.  “Dalam dokumen andal tidak ada dampak mengenai penambangan batu. Ini yang belakangan menjadi masalah,” kata Soeryo pada Sabtu, 26 Februari lalu.

Kejanggalan lain terletak pada pengambilan sampel responden survei pendapat warga Wadas. Hasil survei menyebutkan bahwa 85 persen penduduk Wadas setuju lahan mereka ditambang. Menurut Soeryo, para peneliti ragu terhadap validitas survei tersebut. Penyebabnya, tujuh dari sebelas dusun di Wadas menolak penambangan.

Sehari sebelum diskusi digelar di kantor Pukat UGM, para akademikus bertandang ke Wadas. Mereka mewawancarai penduduk serta melihat langsung area yang bakal dijadikan penambangan. (Baca: Dua Kesalahan Gubernur Ganjar Pranowo di Proyek Bendungan Bener)

Para peneliti juga mempersoalkan metode evaluasi dampak yang digunakan dalam dokumen tersebut. Dalam dokumen terlihat, evaluasi diukur dengan menjumlahkan skor dampak dari berbagai jenis perubahan lingkungan. Contohnya, jika dampak terhadap kualitas air diberi skor -2, kerusakan jalan bernilai -3, dan dampak peluang usaha +5, total skornya adalah nol.

Soeryo menilai metode itu tidak masuk akal karena tiap jenis dampak memiliki unit satuan yang berbeda. “Ini seperti menjumlahkan dua sapi ditambah tiga kerbau ditambah lima ayam. Tidak akan ada hasilnya karena unit satuan yang dijumlahkan berbeda,” ujarnya.

Dengan sekian banyak persoalan di andal tersebut, para peneliti menganggap andal bendungan Bener dan tambang batu Wadas tidak valid. Karena itu, izin yang terbit untuk proyek tersebut juga menjadi tak valid. Pada Kamis, 17 Februari lalu, para akademikus mendesak Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mencabut izin lingkungan proyek tersebut.

“Karena andal disusun dengan metode yang tidak valid sehingga tidak layak dijadikan acuan pengambilan keputusan,” kata salah satu pengkaji dokumen andal dari IPB University, Rina Mardiana.

Hutan yang batuan andesitnya akan ditambang di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Purworejo, Jawa Tengah, 10 Februari 2022. TEMPO/Shinta Maharani

Para pengkaji andal juga menilai pemerintah mengabaikan proses konsultasi publik yang seharusnya dilakukan dua arah dengan warga Wadas. Mereka pun menemukan klaim sepihak soal persetujuan warga Wadas. Padahal jumlah penolak tambang lebih banyak ketimbang yang mendukung. Tim pengkaji juga menemukan indikasi pemaksaan terhadap penduduk Wadas.

Temuan itu juga sejalan dengan penelusuran Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Melakukan pencarian fakta pada 11-14 Februari lalu, Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan terjadi pengabaian terhadap hak warga untuk setuju atau tidak setuju terhadap penambangan. Pemerintah pun tak melibatkan partisipasi masyarakat secara menyeluruh.

Pendiri paguyuban Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas atau Gempa Dewa, Siswanto, mengatakan penolakan terhadap rencana penambangan batu andesit makin kencang setelah Oktober 2015. Saat itu, petugas Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak (BBWS-SO)  datang ke Wadas untuk mengambil sampel. “Kami tak mau bukit Wadas ditambang,” ujarnya.

Penolakan kembali disampaikan saat petugas BBWS-SO mengundang mereka dalam acara sosialisasi pembangunan bendungan Bener pada 27 Maret 2018. Warga Wadas menyerahkan surat penolakan penambangan. Sebulan kemudian, atau pada 26 April, petugas kembali datang dan meminta warga menandatangani surat yang disebut untuk pencocokan nama pemilik lahan.

Belakangan, tanda tangan itu malah diklaim sebagai bentuk persetujuan terhadap rencana penambangan. “Kami merasa ditipu,” tutur Siswanto. (Baca: Alasan Warga Wadas Menolak Penambangan Andesit)

Kekhawatiran warga Wadas akhirnya terbukti. Pada Juni 2018, pelaksana tugas Gubernur Jawa Tengah, Heru Sudjatmoko, mengeluarkan surat keputusan tentang persetujuan penetapan lokasi pengadaan tanah untuk pembangunan bendungan Bener. Sejak itulah warga Wadas kian menggencarkan perlawanan.

Penduduk Wadas menggelar unjuk rasa di berbagai lokasi, dari kantor Bupati Purworejo, BBWS-SO, hingga Gubernur Jawa Tengah. Namun protes itu tak mendapat respons. Justru pada April 2021, penduduk yang berdemonstrasi di Balai Desa Wadas mengalami kekerasan yang diduga dilakukan oleh polisi. Peristiwa suram itu kembali berulang pada 8 Februari lalu.

Peneliti dari Pukat UGM, Totok Dwiantoro, mengatakan penolakan tambang di Wadas untuk proyek bendungan Bener murni berasal dari aspirasi penduduk desa. Penolakan itu terjadi jauh hari sebelum organisasi kelompok sipil mendampingi warga Wadas. “Wajar jika warga mempertahankan ruang hidup mereka yang terancam. Pemerintah semestinya tidak merenggut hak itu,” ujar Totok.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Stefanus Teguh Edi Pramono

Stefanus Teguh Edi Pramono

Bekerja di Tempo sejak November 2005, alumni IISIP Jakarta ini menjadi Redaktur Pelaksana Politik dan Hukum. Pernah meliput perang di Suriah dan terlibat dalam sejumlah investigasi lintas negara seperti perdagangan manusia dan Panama Papers. Meraih Kate Webb Prize 2013, penghargaan untuk jurnalis di daerah konflik, serta Adinegoro 2016 dan 2019.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus