Kegiatan pengejaran militer terhadap anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dianggap telah ikut "meneror" masyarakat. Ribuan orang di Aceh pun terpaksa mengungsi. Selingan ini mengisahkan nestapa para pengungsi dan wawancara beberapa tokoh di sana. Wartawan TEMPO Hendriko L. Wiremmer, Zainal Bakri (Lhokseumawe), Bambang Sudjiartono (Medan), dan Mustafa Ismail mengumpulkan bahan-bahan. Kelik M. Nugroho menuliskannya.
Seorang bayi berusia setahun diserang demam. Jeritan tangisnya menusuk telinga. Ibunya, Nyonya Tubai dah, mengurut punggung si bayi di pangkuannya sambil membaca ayat-ayat Quran. Menyentuh tubuh anaknya yang panas menyengat, Tubaidah tidak kuasa menahan air mata. Kesehatan buah hatinya telantar karena pusat kesehatan masyarakat jauh dari jangkauan kakinya.
Bayi Tubaidah itu hanyalah salah satu dari sejumlah bayi yang mengalami nasib buruk—wajah lain dari kekerasan—di kamp pengungsian Kampus Politeknik Lhokseumawe. Bayi-bayi lembut itu, apa boleh buat, harus mencium aura kekerasan di Serambi Mekah.
Di pojok yang lain, seorang bayi terpaksa mengempot pentil dot sebagai ganti susu sapi, karena stok susu habis di lokasi pengungsian.
Tidak semua bayi pengungsi itu harus ikut mengalami nestapa: ada yang sudah mati sejak dalam kandungan, misalnya bayi Aisyah binti Hasan. Wanita di lokasi pengungsian Desa Mamplam, Samalanga, Aceh Utara itu sedang hamil tua ketika mengungsi sejak awal Juli lalu. Beberapa hari kemudian bayinya lahir. Nahas, jantung anaknya tidak berdetak. Kata bidan yang merawatnya, bayi itu telah meninggal dalam kandungan. Banyak orang menduga, musibah itu terjadi karena Aisyah harus berjalan kaki sejauh tiga kilometer untuk mencapai lokasi pengungsian.
Dan tak hanya bayi, puluhan ribu orang, baik warga Aceh maupun pendatang, telah mengungsi di banyak lokasi yang tersebar di Kabupaten Pidie, Aceh Utara, Aceh Barat, dan Aceh Timur. Gelombang pengungsian itu terjadi secara sporadis dan di tempat serta waktu yang berbeda-beda, dan masih berlangsung hingga kini.
Menurut data dari Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat Hak Asasi Manusia Aceh, kamp-kamp pengungsi itu tersebar di 33 lokasi. Jumlah pengungsi semuanya diperkirakan 80.000 orang. Dari jumlah itu, sebagian telah kembali ke kampung halaman masing-masing setelah aparat keamanan setempat, misalnya kodim, menjamin bahwa tentara telah ditarik dari desa mereka.
Para pengungsi itu memanfaatkan tanah lapang, halaman masjid, sekolah, dan kampus untuk menumpang hidup sementara. Mereka yang tidak memperoleh tempat berteduh permanen mendirikan barak-barak yang terbuat dari terpal plastik. Alas tidur pun seadanya, antara lain tikar plastik dan kardus. Tumplek secara massal di sebuah ruang yang tidak memadai, para pengungsi tidur berjejal-jejal. Posisi berbaring mereka mirip jejeran ikan sarden. Kebutuhan untuk makan, air bersih, dan tidur jauh dari mencukupi. Untuk menyambung hidup, karena sebagian meninggalkan rumah tanpa membawa harta benda, mereka membuka kotak amal di pinggir jalan. Bantuan berupa beras dan air bersih datang dari masyarakat yang berpunya.
Uluran tangan dari pemerintah daerah? "Jangankan membantu, menjenguk pun tidak," kata Razali, seorang guru yang mengungsi di pinggiran jalan Banda Aceh-Medan, Kecamatan Trienggadeng, Kabupaten Pidie. Hidup serba darurat, kelaparan dan penyakit menghantui para pengungsi. Flu, sesak napas, dan batuk adalah penyakit yang paling umum terjadi. Muntaber dan diare setali tiga uang. Tak mengherankan bila ada beberapa pengungsi yang kemudian meninggal dunia. Nasib tragis itu menimpa Aman Ahmad, Maimunah, dan Kamariah Gani, pengungsi di Simpangmamplam, Kecamatan Samalanga, Aceh Utara. Dua dari tiga korban itu berusia 70 tahun.
Pengungsian besar pertama kali dilakukan oleh sekitar 600 warga di Desa Palohigeueh, Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara. Mereka mengungsi menyusul bentrok berdarah Mei lalu antara ribuan warga setempat dan aparat keamanan, yang pecah di dekat Pabrik Kertas Kraft Aceh di Dewantara. Masyarakat mempertanyakan ke aparat militer setempat tentang penambahan pasukan TNI di wilayah mereka. Dalam peristiwa itu, 42 orang tewas dan puluhan lain luka-luka.
Gelombang pengungsian juga berkait erat dengan kehadiran militer di desa-desa. Insiden di Dewantara adalah salah satu indikasinya. Senyampang dengan itu, 345 anggota PPRM yang tiba di Aceh pada 6 Mei memicu problem baru. Kegiatan pengejaran militer terhadap anggota GAM—sampai ke desa-desa—dianggap telah ikut "meneror" masyarakat. Isu bakal pecah perang antara militer dan GAM juga memperparah keadaan.
Peristiwa berdarah di Desa Beutongateuh, Kecamatan Beutong, Aceh Barat, akhir Juli lalu memperkuat kesan brutal militer di mata masyarakat. Dalam tragedi itu, Tengku Bantaqiah—yang pernah terlibat GAM—dan 30 orang lain tewas diberondong timah panas oleh militer. Takut menjadi sasaran salah tangkap atau kecut mendengar suara tembakan yang menewaskan tetangganya, masyarakat memilih untuk mengungsi.
Tapi ada pihak yang menyangsikan ketulusan motif pengungsian itu. Pangdam I/Bukit Barisan Mayjen TNI Abdur Rahman Gaffar menilai bahwa sebagian pengungsian itu bermotif politik: menarik perhatian nasional dan internasional. Gaffar melihat kejanggalan dari perilaku pengungsi di Lhokseumawe. "Mereka hanya pergi 500 meter dari rumahnya di malam hari. Bila siang mereka pulang ke rumah. Ini kan nggak bener," kata Gaffar.
Memang, lokasi pengungsian itu umumnya masih di dalam kota, tak jauh dari desa-desa asal para pengungsi. Tapi pola pengungsian semacam itu dipakai masyarakat sengaja untuk menghindari tindakan kekerasan militer yang tak jarang nyasar ke kampung mereka. "Mereka mengelompokkan diri dalam suatu tempat bersama. Maksudnya, agar banyak saksi mata bila aparat keamanan melakukan kekerasan," kata Hasballah M. Saad, Sekretaris Umum Komite Solidaritas Hak Asasi Manusia Daerah Istimewa Aceh.
Kekerasan telah membuat sesak ruang hidup Serambi Mekah. Bahasa otot dan kejantanan ala Rambo telah meracuni pihak-pihak yang bertikai di Aceh, tak terkecuali. Deretan daftar kekerasan bisa dibuka di atas berlembar-lembar kertas. Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima TNI Jenderal Wiranto di depan anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat pernah mengungkapkan daftar panjang gangguan keamanan yang terjadi di Aceh selama Mei 1999.
Menurut data itu, aksi bersenjata, pembakaran bangunan, penculikan, dan perampasan telah terjadi secara akumulatif sebanyak 98 kali. Akibat rentetan kekerasan itu, 69 orang tewas. Jumlah itu terdiri dari anggota TNI dan Polri 29 orang, anggota Gerakan Bersenjata Pengacau Keamanan (GBPK)—sebutan lain untuk GAM—8 orang, dan sisanya warga sipil.
Memang, sejarah kekerasan telah menjangkau jauh di masa lalu di Aceh: sejak zaman penjajahan Belanda, pemberontakan Darul Islam pada dasawarsa 1950 dan terakhir Gerakan Aceh Merdeka pimpinan Dr. Hasan Tiro pada 1976. Gerakan pemberontakan pascakemerdekaan muncul akibat ketidakpuasan sebagian rakyat Aceh atas kebijakan pemerintah pusat di bidang ekonomi dan politik.
Tapi benang merah problem di Aceh sejatinya adalah kesalahpahaman pokok tentang Indonesia: sebuah proyek nasionalisme pascakemerdekaan yang berpusat di Jakarta yang dianggap belum selesai bagi sebagian rakyat Aceh. Sementara itu, di sisi lain, proyek nasionalisme itu dianggap selesai oleh elite politik Jakarta. Karena perbedaan persepsi itu, wajar bila konflik pun pecah antara kedua kelompok kepentingan. Ironisnya, proses untuk menjadi Indonesia itu dalam sejarahnya juga dicemari oleh politik Orde Baru yang keropos dan otoriter.
Kini semestinya pendekatan persoalan yang dilakukan Jakarta terhadap problem Aceh berubah setelah rezim Orde Baru tumbang 21 Mei 1998. Toh hingga kini udara segar politik belum berembus dari Jakarta. Berharap ABRI—salah satu tulang punggung Orde Baru yang kini bernama TNI—menyelesaikan problem Aceh tak ubahnya burung pungguk merindukan bulan. Sebab, militer cenderung hanya mengenal bahasa represif. Mendatangkan pasukan PPRM ke Aceh adalah buktinya. Sejumlah mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Banda Aceh karena itu sejak awal menolak kedatangan PPRM.
Namun, bahasa kekerasan tak hanya dimonopoli militer. Abu Said Anan, 50 tahun, Ketuha (semacam gubernur) Gerakan Aceh Merdeka Wilayah Passe, yang mencakup Kabupaten Aceh Utara, mengaku telah membakar sejumlah kantor kecamatan dan "menghabisi" beberapa orang yang dianggap sebagai pemicu kerusuhan dan intel militer.
GAM, yang diperkirakan memiliki 800 pucuk senjata jenis AK-47 dan M-16, dengan 550 personel pasukan terlatih di luar negeri, juga mengancam akan "angkat senjata" bila TNI tidak hengkang dari Tanah Rencong akhir tahun ini.
Lagi-lagi, seolah hanya bahasa Rambo yang bisa memecahkan persoalan. Cara-cara arogan itu, menurut Hasballah, sekarang harus ditinggalkan. "Pihak-pihak yang bertikai hendaknya berbicara," kata Hasballah. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pun mengusulkan pembentukan Tim Rekonsiliasi. Mendamaikan pihak-pihak yang bertikai, substansi rekonsiliasi itu, tampaknya salah satu jalan keluar terbaik. Bahasa kekerasan dan cara-cara Rambo sudah saatnya dibuang ke keranjang sampah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini