Sebuah ironi mengiris wajah Serambi Mekah: kamp-kamp pengungsi dan grafiti bertuliskan "Aceh Merdeka" yang dicoret di tembok-tembok rumah muncul di sepanjang jalan Banda Aceh-Medan yang melewati Kabupaten Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur. Gelombang pengungsian dari ribuan warga pedesaan Aceh mengalir sejak aparat dari Tentara Nasional Indonesia menggelar operasi pencarian "orang-orang bersenjata" ke pelosok desa. Kabar yang terdengar sejak awal Mei lalu dan berlangsung hingga kini itu meruapkan bau anyir kontradiksi: aparat keamanan yang mestinya menjadi pelindung rakyat berubah menjadi momok.
Ribuan pengungsi itu tersebar di 33 lokasi di Kabupaten Pidie, Aceh Utara, Aceh Barat, dan Aceh Timur. Jumlah mereka diperkirakan mencapai 80 ribu orang. Masjid, sekolah, dan tanah lapang dipakai untuk permukiman darurat. Banyak pengungsi yang tidak sempat memboyong harta benda. Bahkan, ada yang hanya membawa baju yang melekat di badan. Lokasi-lokasi pengungsian itu ramai bak perayaan. Namun, wajah-wajah pengungsi itu menunjukkan sebaliknya: mereka jauh sekali dari sukacita.
Gelombang pengungsian itu diakibatkan oleh ketakutan warga atas kehadiran pasukan Tentara Nasional Indonesia di desa mereka. Kehadiran militer itu mendatangkan wajah hantu yang bermacam-macam. Ada yang takut menjadi sasaran salah tangkap militer yang mengejar anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sebagian yang lain memiliki trauma dengan TNI akibat pemberlakuan daerah operasi militer (DOM) di Aceh selama dasawarsa 1980.
Tengku Muhamad Nafi, misalnya, pengungsi di Kecamatan Mamplam, memiliki masa lalu yang buruk dengan DOM. Putranya yang diciduk tentara tidak kembali ke rumah sampai kini. Dan dia sendiri pernah dihajar militer. Akibatnya, trauma itu begitu membekas di benaknya. "Melihat pakaian doreng saja, saya ngeri, apalagi bertemu tentara," kata Nafi.
Berikut ini nestapa para pengungsi yang direkam wartawan TEMPO di tiga lokasi pengungsian: Kecamatan Samalanga (Aceh Utara), Kecamatan Trienggadeng (Pidie), dan Kampus Politeknik Lhokseumawe.
Desa Mamplam, Samalanga, Aceh Utara
Sekolah SMP di Desa Mamplam itu kedatangan tamu tak diundang. Mereka sekitar 2.500 pengungsi yang datang dari lima desa: Krueng Meuseugob, Cot Trieng, Lhok Tanoh, Meunasah Dayah, dan Meunasah Mamplam—semua di Kecamatan Samalanga, Aceh Utara. Jarak lokasi tersebut dari lima desa itu beberapa kilometer. Sudah sejak dua bulan lalu mereka terpaksa hidup seadanya di dalam ruang-ruang kelas yang relatif sempit untuk menampung semua pengungsi.
Kursi dan meja belajar diusung keluar. Lalu, ruang-ruang kelas pun disulap menjadi rumah. Orang tua, anak-anak, dan wanita ditempatkan di dalam kelas, sedangkan para pemuda terpaksa tidur di emperan. Alas tidurnya berupa tikar atau karton bekas, selain tak beralas sama sekali. Ruang kelas berukuran 30 meter persegi dijejali 100 sampai 120 orang dari 12 keluarga. Berada di ruang-ruang darurat, mereka hidup jauh dari rapi dan tertata. Apalagi setiap orang memiliki tabiatnya sendiri-sendiri. Dan pemandangan yang tampak: orang-orang yang tergolek, ayunan kain untuk bayi di sana-sini, tumpukan bantal, dan beberapa lembar tikar.
Untuk mengganjal perut, mereka membikin dapur umum. Para wanita didaulat untuk memasak makanan secara bergantian. Menunya bergantung pada bahan pangan yang tersedia. Terkadang ubi jalar direbus, kali lain merebus pisang. Tapi, yang paling sering, mereka memasak mi instan. Nasi? Sesekali menu nasi putih dengan lauk ikan asin dihidangkan. Air bersih setali tiga uang, sulit diperoleh. Sumur penduduk yang tersedia jauh dari mencukupi. Sayang, mereka juga tidak sempat memikirkan kesehatan lingkungan. Sampah-sampah sisa makanan dibiarkan membusuk di halaman belakang sekolah. Kakus umum yang diberi tirai dinding plastik menebarkan bau tak sedap. "Mau bagaimana lagi? Semua serba darurat," kata Mustala Adam, anggota panitia yang dibentuk untuk mengurusi pengungsi.
Akibatnya, kesehatan pun menjadi barang mewah. Banyak pengungsi yang kemudian diserang penyakit seperti diare, panas, flu, sesak napas, dan lumpuh. Sebagian penyakit, seperti flu, mudah menular ke pengungsi lain yang hidup dalam satu ruang yang berjubel itu. Dan penyakit itu semakin tidak ramah kepada orang tua yang daya tahannya melemah. Ada seorang ibu berusia 60 tahun yang sakit pernapasan dan tidak mampu berobat. Di sudut lain, seorang gadis berusia 15 tahun meregang sakit karena bisul berat. Kisah yang paling menyedihkan dialami Aisyah binti Hasan. Wanita yang tengah hamil tua itu melahirkan di tengah kamp pengungsian. Untuk mengungsi itu, ia harus berjalan kaki dari desanya, Cot Trieng, sejauh 3 kilometer.
Kecamatan Trienggadeng, Pidie
Sejumlah barak dari terpal plastik berdiri di pinggiran jalan Banda Aceh-Medan di Kecamatan Trienggadeng. Sekitar 15 ribu orang dari 13 desa di Kecamatan Trienggadeng "tumplek" di barak-barak. Sebuah kotak sumbangan diletakkan di atas meja di pinggir jalan. Beberapa pemuda dan pemudi mengimbau para pemakai jalan untuk menyumbangkan dana. Itulah suasana sehari-hari kamp pengungsi di Kecamatan Trienggadeng.
Membuka kotak amal itu salah satu cara yang bisa dilakukan para pengungsi untuk menyambung hidup, setelah mereka terpaksa mengungsi dari kampung halaman dan meninggalkan pekerjaan yang menjadi sumber nafkah selama ini. Maklum, untuk mengisi perut semua pengungsi, dibutuhkan beras minimal 3 ton sehari. Untunglah masyarakat Aceh yang peduli bersedia memasok sekitar 2 ton dari kebutuhan. Sisanya, ya, ditanggulangi dengan kocek dari kotak amal itu.
Hasilnya jauh dari lumayan. Sehari mereka hanya memperoleh dana sebesar Rp 500 ribu. Bila dana ini dipakai untuk membeli lauk-pauk saja, setiap pengungsi hanya memperoleh jatah di bawah 50 perak sehari. Pada hari-hari pertama pengungsian, uluran tangan dari pemerintah daerah (pemda) setempat nol. "Tak ada bantuan dari pemda. Mereka menjenguk pun tidak," kata Razali, guru SMP Trienggadeng.
Kondisi sehari-hari di kamp ini tak jauh berbeda dengan keadaan di lokasi pengungsian Desa Mamplam. Orang tidur berdesak-desakan. Mereka harus mengatur posisi mirip jejeran ikan asin. Air bersih untuk minum, mandi, dan mencuci harus dipasok dengan truk tangki berkapasitas 5.000 liter dengan biaya Rp 25 ribu per hari. Kondisi kebersihan juga memprihatinkan. Soal kesehatan, pengungsi di Trienggadeng ini beruntung karena mereka diperhatikan oleh pusat kesehatan masyarakat milik pemerintah. Sejumlah anak-anak yang menderita demam dan pilek pun tertangani.
Tapi suasana mencekam pernah "meneror" para pengungsi yang ketakutan itu. Suatu malam, sebuah mobil Kijang melintas di jalan sekitar barak. Aparat yang menyaksikannya memberondong mobil itu dengan tembakan peluru. Para pengungsi panik dan kalang-kabut. Mereka mengira tembakan itu diarahkan ke mereka. Tak pelak, anak-anak menjerit ketakutan dan ibu-ibu menangis.
Kampus Politeknik Lhokseumawe
seorang bayi berusia setahun menjadi korban kondisi mengenaskan di tengah kamp pengungsian di Kampus Politeknik Lhokseumawe. Tubuhnya diserang demam yang parah. Tangisnya menusuk telinga. "Anak saya sampai kejang-kejang," kata Nyonya Tubaidah, warga Desa Manekareu, Lhokseumawe.
Kisah ini hanya salah satu dari cerita nestapa 7.000 pengungsi di Kampus Politeknik Lhokseumawe itu. Mereka datang dari enam desa di Kabupaten Lhokseumawe. Sejak awal Juli lalu mereka mengungsi. Suasana pengungsian di kampus politeknik ini lebih baik dibandingkan dengan lokasi pengungsian di Desa Mamplam dan Trienggadeng. Halaman kampus seluas 15 hektare itu menghadirkan hawa sejuk. Beberapa bocah laki-laki bisa bermain bola dengan penuh riang di halaman kampus. Sementara itu, di bawah kerindangan pohon, para orang tua beristirahat menghindari terik panas.
Tak semua pengungsi memperoleh ruang tidur di gedung kampus. Sejumlah pengungsi lain terpaksa diinapkan di tempat parkir sepeda motor dengan atap asbes dan lantai batu cor. Akibatnya, sejumlah pengungsi tidak memperoleh tempat berlindung dari sengatan matahari pada siang hari dan dari gigitan angin malam, apalagi bila hujan tiba-tiba mengguyur bumi di malam hari. "Saya sering tidak bisa memejamkan mata di malam hari," kata Nyonya Maliyah, 45 tahun, warga Desa Alue Mantjron, Kecamatan Bayu, Kabupaten Aceh Utara. Akibatnya, Maliyah belakangan merasa nyeri di dengkul dan dadanya.
Pemda setempat, menurut beberapa pengungsi, belum mengulurkan tangan. Sebuah perusahaan asing dalam bidang perminyakan, Mobil Oil, memberikan bantuan air 10 ribu liter per hari. Para pengungsi itu tidak berani menjenguk rumah di kampung halaman karena cerita pengalaman buruk dari Rosyim Hasan, warga Selubeuk Baru, beredar di kalangan pengungsi. Ketika pulang untuk sekadar melihat rumahnya, Rosyim "diinterogasi" aparat keamanan. "Mereka menanyakan soal GAM," kata Rosyim. Tak bisa memberikan jawaban yang memuaskan aparat, Rosyim mengaku dipukuli oleh aparat. Para pengungsi itu menyatakan akan tetap bertahan di lokasi pengungsian sampai TNI meninggalkan desa mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini