Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Balas Dendam Anak Bhutto

Murtaza Bhutto, anak bekas perdana menteri, Zulfikar Ali Bhutto, bersama adiknya, Shahnawaz, memimpin sebuah serikat gelap teroris yang dikenal dengan nama Al Zulfikar. (sel)

13 Maret 1982 | 00.00 WIB

Balas Dendam Anak Bhutto
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SAMPAI medio 1970-an, "anak manis" itu masih hidup berlehaleha Seraya menuntut ilmu di Oxford, ia tak lalai menghabiskan sisa waktu di berbagai sirkuit disko Kota London. Pusing apa? Ayahnya, Zulfikar Ali Bhutto) masih menikmati masa keemasan sebagai perdana menteri Pakistan. Tapi keadaan cepat berubah. Perdana menteri itu digulingkan. Dan April 1979, rezim militer yang mengambil alih kekuasaan mengirim Bhutto ke tiang gantungan. Sejak itu pula Murtaza (Murtadho), kini 27 tahun, tidak lagi hanya dikenal sebagai mahasiswa Oxford yang flamboyan dan pengunjung disko yang ngebet. Namanya dimasukkan ke dalam daftar panjang barisan teroris. Bersama adiknya, Shahnawaz, 23 tahun, Murtaza memimpin sebuah serikat gelap teroris yang dikenal dengan nama Al Zulfikar -- 'Kelewang'. Entah bahasa apa itu: dalam bahasa Arab maupun Urdu bentuk yang memakai kata sandang zul tidak bisa lagi di beri al. Tidak pula berarti kelewang. Tak perlu disangsikan, latar belakang utama serikat ini adalah itikad membalas dendam. Menggulingkan tokoh yang telah mendepak dan membunuh Bhutto: Mohammad Zia ul-Haq, jenderal yang kini menjadi presiden dan mengepalai pemerintahan militer negerinya. "Taktik mereka sama saja dengan organisasi teroris di manamana," tulis Tyler Marshall dalam International Herald Tribune, 25 Februari. Al Zulfikar (biarkan sajalah nama ini) "bermain dengan bahan peledak, pernbunuhan dan aneka tindakan kekerasan lain. Sampai sekarang baru kelompok ini yang diketahui terang-terangan berniat menggulingkan Zia, sebuah rezim yang ditunjang administrasi Reagan dengan dana US$ 3,2 milyar. Al Zulfikar dibentuk segera setelah kematian Bhutta. Basisnya konon ada di Kabul, Afghanistan. Anggotanya terdiri dari sejumlah mahasiswa kiri pembangkang, serta beberapa tokoh dan bekas perwira Dinas Rahasia Federal -- polisi rahasia Bhutto semasa berkuasa. Sebagian besar pendukung ini berasal dari Provinsi Sind, kampung halaman Bhutto di sebelah tenggara Pakistan. Menurut sumber yang mengikuti perkembangan Al Zulfikar, serikat ini "ada main" dengan pemimpin Libya Kolonel Mu 'ammarKhadafi. Adalah Khadafi, konon, yang menunjang Al Zulfikar dengan sejumlah dana. "Dan itulah yang dipercaya sebagai penyebab dinginnya hubungan Pakistan-Libya," tulis Tyler. Dalam dunia terorisme yang serba samar, sudah tentu sulit mencari bukti autentik. Tapi tahun lalu seorang wartawan majalah India berhasil mewawancarai Shahnawaz Bhutto di Kabul. Menurut Shahnawaz--kata sang wartawan--kakaknya baru saja berangkat ke Tripoli untuk berjumpa dengan Khadafi. Al Zulfikar juga diduga menerima bantuan dari pemerintah Afghanistan. Karena setiap orang tahu pemerintah ini cecunguk Soviet, dengan sendirinya disimpulkan secara tak langsung gerombolan Murtaza menerima "sumbangan"dari Kremlin. Menurut Murtaza sendiri, terdapat beberapa ribu orang Pakistan dalam serikatnya. Tapi menurut beberapa diplomat Pakistan, dan tokoh-tokoh yang agak mengenal serikat teror tersebut, anggota Al Zulfikar hana sekedar beberapa ratus. Sebagian anggota itu--sekali lagi menurut dugaan--pernah dilatih dalam kamp-kamp PLO di Timur Tengah. Tapi ada pula yang membantah. Menurut mereka, Al Zulfikar tak lebih dari "sekawanan anak muda yang sulit diatur". Kesimpulan terakhir ini didukung oleh wartawan India tadi, yang pernah berkunjung ke "markas besar" Al Zul fikar di Kabul. "Meski dilengkapi senjata," katanya, "mereka tetap menampilkan tampang amatir. Sangat jauh berbeda dengan profesionalisme dan fanatisme PLO." Meski demikian, pemerintah Pakistan konon tak berani pandang enteng kawasan ini. Soalnya, dalam beberapa tahun terakhir mereka sudah beberapa kali unjuk kebolehan. Pemerintah Pakistan percaya, Al Zulfikor bertanggungjawab atas peledakan bom di stadion Karachi, Februari tahun lalu. Peristiwa itu terjadi sesaat sebelum Paus Yohannes Paulus 11 tiba di stadion tersebut untuk memimpin misa. Dua orang gugur sebagai korban. Sebulan kemudian Al Zulfikar kembali unjuk gigi Mereka membajak sebuah pesawat terbang Pakistan International Airlines, dan berhasil memaksa Zia ul-Haq melepaskan 54 tahanan politik.Sebagian besar tapol itu bekas pemuka Partai Rakyat Pakistan pimpinan Bhutto. Bahkan di Lahore Al Zulfikar berani melancarkan aksi. Misalnya 25 September tahun kemarin, tatkala tim pembunuh mereka yang terdiri dari empat orang menembaki Choudhary Zahur Elahi di dalam mobilnya. Choudhary (Hudori) bekas anggota kabinet Zia ul-Haq. Ia konon dioleh-olehi Zia sebuah pena, yang digunakan sang jenderal menandatangani hukuman mati Bhutto. Dalam mobil itu turut pula bekas kepala Pengadilan Tinggi Lahore, yang mengadili Bhutto dengan tuduhan pembunuhan. Choudhary tewas oleh peluru para teroris, bekas ketua pengadilan tadMeruntung selamat. Di luar catatan tersebut, penguasa Pakistan masih menyangkut-pautkan Al Zulfikar dengan sejumlah insiden. Termasuk dalam peristiwa penggulingan kereta api, yang mengambil hampir 100 korban. Lalu sampai di mana pemerintahan Zia mengambil tindakan balasan? "Setelah pembunuhan 25 September," tulis Tyler Marshall, "pemerintah Pakistan mengumumkan telah menahan lebih 100 orang yang dicurigai sebagai anggota Al Zulfikar." Itu hanya di Lahore. Di Karachi dan Rawalpindi dilancarkan pula serangkaian operasi. Dalam pada itu, "kabar baik" datang dari Menteri Dalam Negeri Pakistan, Mahmoud Haroon. Berbicara di depan Dewan Federal Pakistan, dalam sebuah debat mengenai keamanan dalam negeri, Mahmoud mengungkapkan sudah 481 orang yang dicurigai sehagai anggota Al Zulrikar merinkukdalam tahanan. "Ancaman gerombolan itu sudah bisa dikendalikan," katanya dengan sedikit bangga. Sumber independen memang mengakui bahwa pemerintah Pakistan berhasil menyusup ke dalam organisasi teror itu, dan melumpuhkan kekuatan mereka melalui serangkaian penahanan, beberapa bulan terakhir ini. Seorang anggota "tim pembunuh" peristiwa Lahore diringkus hanya dalam waktu enam hari setelah insiden pecah. Seorang lagi terbunuh dalam tembak-menembak dengan polisi Karachi dua bulan kemudian. Sarang Al Zulfikar di Lahore dan Rawalpindi diobrak-abrik. Banyak anggota mereka diciduk begitu menyeberangi perbatasan dari Afghanistan. "Namun rezim Zia tidak kehilangan kewaspadaan," kata Tyler dalam tulisannya. Penjagaan keamanan di Ibukota Islamabad tampak lebih ketat ketimbang setahun lalu. Begitu pula di beberapa kota besar provinsi. Para penjabat pemerintahan militer mendapat pengawalan istimewa. "Tampak lebih banyak penjaga di rumah tokoh-tokoh penting," kata seorang penduduk Lahore yang dijumpai Tyler. Toh teror Al Zulfikar menggulingkan Zia makin kehilangan harapan. Tatkala mereka membunuh seorang diplomat muda Pakistan dalam peristiwa pembajakan tahun lalu, perasaan umum terhadap mereka turut terguncang. Melihat keterikatan mereka kepada partai politik yang beroposisi terhadap Zia--partai yang dipimpin janda dan putri almarhum Bhutto-masyarakat menilai gerombolan ini sekedar pasukan alas dendam. Dan balas dendam semata-mata tak akan pernah menggerakkan hati rakyat banyak. Sebaliknya, Zia seperti membiarkan partai oposan itu bergerak ke sana ke mari. Sikap ini menguntungkan dia dalam menghapus kesan buruk rakyat terhadap pemerintah militer yang tampaknya berlarut-larut. Al Zulfikar memang akhirnya terperosok ke dalam aksi teror yang sulit dibenarkan perasaan khalayak, apalagi bila ditanya perasaan keagamaan mereka. Sedang Zia, yang tidak populer itu, justru muncul dengan memenangkan simbol-simbol agama--yang sebelumnya di sepelekan oleh Bhutto yang sebenarnya populer. Pembajakan pesawat terbang yang dilakukan gerombolan anak kaya itu, tahun lalu, menempatkan mereka dalam peta kegiatan terorisme internasional. Akhirnya makin banyak orang yang percaya bahwa mereka main mata dengan Libya. Dan Libya, betapapun, adalah tukang bikin rusuh. Toh penguasa Pakistan sendiri konon tak berhasil menghilangkan perasaan merinding dalam dirinya. "Seorang perwira senior kepolisian di sini mengatakan, mereka sudah meremukkan tulangpunggung Al Zulfikar," ujar seorang diplomat Barat yang diwawancarai Tyler. "Tapi saya tidak yakin ucapan itu dapat menenangkan mereka sendiri," kata si orang Barat Setidak-tidaknya, rezim yang berkuasa hampir semata-mata lewat, kekuatan memang cenderung takut pada bayangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus