MUSIM dingin belum menanggalkan jubahnya yang kelabu dari
Daratan Tinggi Sikkim, awal tahun ini. Angin tajam bagai sembilu
menderu dari lereng Himalaya. Pada hari-hari itulah, Jumat 29
Januari 1982, di Kota New York mangkat seorang bangsawan yang
mempunyai ikatan batin istimewa dengan negeri di tepi Anak Benua
India itu. Tiada upacara kebesaran, nyaris sepi dan sebatang
kara.
Kalah bertarung dengan komplikasi yang menyusuli operasi
penyakit kanker, jasad berusia 58 tahun itu dikenal dengan nama
Palden Thondup Namgyal. Ialah chogyal (raja) yang pernah
memerintah 200 ribu kawula di negeri 5.000 kaki di atas
permukaan laut .
Sejak 1642, Dinasti Namgyal memerintah Sikkim. Dan sejak 1950
kerajaan itu berada di bawah protektorat India. Kekuasaan
chogyal, masih diakui. Dan tahun itu pula Palden Thondup
Namgyal menikah untuk pertama kalinya dengan Sangay Deki, putri
seorang bangsawan Tibet.
Lahir 22 Mei 1923, Palden Thondup resmi menjadi pewaris tahta
Sikkim pada 1941, setelah abangnya yang berdinas di Angkatan
Udara India tewas dalam suatu pertempuran. Delapan tahun
kemudian ia mengepalai tim negosiasi dengan India, yang berakhir
pada status protektorat untuk Sikkim. Melalui tradisi ratusan
tahun, kedua negeri memang punya kepentingan yang sama terutama
menghadapi ekspansi dari daratan Cina.
Bagai sudah disuratkan, 1957 Sangay Deki berpulang dengan
meninggalkan dua putra dan seorang putri Palden dirundung sepi.
Untunglah dua tahun kemudian ia berjumpa Hope Cooke, rupawan
Amerika berusia 18 tahun, siswi Sarah Lawrence College yang
sedang menghabiskan liburan mu sim panasnya di Eropa dan Asia.
PERTEMUAN pertama itu terjadi di Darjeeling, India, kira-kira-40
km dari Gangtok, Ibukota Sikkim. Keduanya jatuh hati, dan
menikah 29 Maret 1963. Sebuah peristiwa yang asyik bagi
media,mssa Barat kctika itu. Bayangkan: srang putra mahkota
kerajaan kecil dan molek di lereng Himalaya menikah dengan
seorang jelita dari kampus Amerika. Laksana dongengan purba.
Tapi pemerintah India gusar melihat perkawinan ini. Mereka tak
bisa menyetujui langkah Palden--pangeran dan pemimpin agama
Budha-menyunting seorang perempuan asing. Apalagi Hope Cooke,
jemaat Gereja Episkopal, tak bersedia mengikutl agama suaminya.
Palden tak peduli. Ia menuntun istrinya menaiki tangga istana
Gangtok. Pada 1964 ia dinobatkan menjadi raja, setelah ayahnya
Sir Tashi Namgyal wafat di tahun yang sama.
Tapi rupanya India melanjutkan tuntutan nafsunya. Apalagi Palden
mulai agak sering berbicara tentang "otonomi Sikkim." Pada 1973,
mereka menonjok, Baginda melalui sebuah kudeta. Palden
dicampakkan dari tahta, walaupun tetap diizinkan tinggal di
istana--sebagai tahanan rumah. Hope Cooke dan kedua anaknya
segera mengungsi ke New York.
Dua tahun kemudian, Dewan Perwakilan Sikkim secara resmi memecat
sang raja--dan menghapuskan monarki yang sudah berusia 333
tahun. Negeri itu kemudian dijadikan negara bagian India ke-22.
Selesai.
Lalu, sementara cinta Palden dengan "bidadari Amerika"-nya tetap
mesra, sang istri justru menyarankan perpisahan pada 1978. Dua
tahun kemudian mereka bercerai. Palden, ibarat kata pepatah,
sudah jatuh ditimpa tangga.
Pada 1979 pemerintah Gangtok mengizinkan bekas chogyul itu
keluar masuk Sikkim,tapi tak boleh seenaknya keluyuran di dalam
negeri. Kedudukannya sebagai pemimpin keagamaan tetap diakui.
Pada 1980 ia mengunjungi New York, menjemput putranya yang juga
diberi nama Palden, dan putrinya yang diberi nama Hope. Kedua
anak itu dibawanya ke Sikkim menikmati musim panas. Ibu
anak-anak itu mulanya tak setuju, dengan alasan keamanan. Tapi
pengadilan negeri New York menjatuhkan keputusan yang
mengunlungkan sang bekas raja. Dan ternyata perjalanan itu
berlangsung aman.
September tahun lalu kembali Palden Thondup mengunjungi New
York. Tapi kali ini ia langsung mendatangi Pusat Perawatan
Kanker Sloan-Kettering Memorial. Dan meski berhasil melalui
operasi, komplikasi yang terjadi setelah itu tak mengizinkan
sang chogval hidup lebih lama.
Lalu upacara pengabuan jenazahnya pun berlangsung di Gangtok,
pertengahan Februari lalu. Dan di situlah: emosi dan nostalgia
yang merasuk di kalbu penduduk Sikkim tiba-tiba menyemburat
keluar. "Rakyat berteriak-teriak di depan Istana, menuntut agar
putra Palden dinobatkan sebagai chogyal," tulis wartawan Bengkok
Post, Bernard Melunsky, dari Gangtok.
Putra itu sendiri, Pangeran Wangchuk, 29 tahun, lulusan
Universitas London, menyatakan tak keberatan menerima gelar yang
sudah menjadi haknya. Tapi para pengamat memandang demonstran di
depan istana itu sebagai kelompok yang sebenarnya tidak punya
jaringan politik luas. Lagipula, "bagaimana ia menerima warisan
dari sesuatu yang sudah dinyatakan hapus?" tanya seorang asing
yang pernah lama tinggal di Sikkim.
Maka riwayat lama pun kembali diutak-atik. Menurut sahibul
kisah, Palden Thondup Namgyal sebenarnya tak pernah bersetuju
akan sebuah aneksasi oleh India. Bahkan, konon, ia menamakan
usaha itu "liar dan bertentangan dengan konstitusi."
Pangeran Wangchuk menambahkan, ayahnya tak pernah menandatangani
selembar pun persetujuan aneksasi.
Pemerintah India sendiri tidak berpangku tangan. Adalah Homi
Taleyarkhan, wakil India dan Gubernur Sikkim yang rupanya
ditugaskan angkat bicara. "Saya sudah meninjau sampai ke daerah
paling terpencil negeri pegunungan ini," katanya. "Di mana-mana
rakyat menganggap diri mereka orang India, dan bangga bergabung
dengan sebuah negeri besar." Hmm.
Kemudian berceritalah ia tentang uang yang dibelanjakan India
untuk Sikkim, yang dinamakannya "sebutir permata pada mahkota
India." Diceritakannya pula betapa penduduk Sikkim
terlunta-lunta ketika negeri itu masih berdiri sendiri.
Tapi sumber-sumber Sikkim mengungkapkan hal lain. Beberapa
setiawan chogyal mengatakan, agitasi yang mendahului aneksasi
sebenarnya "dikendalikan dari luar." Referandum yang
dilaksanakan pada 1975 tak lebih dari sebuah sandiwara. Bila
sekarang ini referandum dilaksanakan sekali lagi, kata mereka,
"Sikkim pasti kembali pada kami."
Lepas dari segala silang pendapat, "Sikkim tetap bagai oasis
perdamaian dan ketenangan di bagian timur laut India yang selalu
riuh dengan agitasi dan huru-hara," tulis Melunsky. Rakyatnya
"lugu, rendah hati, penurut, dan pemalu." Penduduknya yang
paling tua adalah bangsa-bangsa Lepcha dan Bhutia. Tapi lebih
70% penghuni negeri itu terdiri dari bangsa Nepal, yang datang
berbondong-bondong ke Sikkim pada penghujung abad ke-19.
Agaknya perlu pula mempertimbangkan faktor lain dalam menilai
penghormatan kawula Sikkim terhadap chogyal-nya, terutama di
kalangan pemeluk Budha. Dalam hirarki keagamaan, chogyal
sekaligus pemimpin agama. Ada pula kepercayaan bahwa Palden
Thondup Namgyal titisan seorang biksu tinggi Budha.
Yang jelas, rakyat Sikkim memang mencintai raja yang selalu
dirundung malang ini. Ia telah kehilangan kerajaannya, putra
sulungnya (terbunuh dalam kecelakaan lalu lintas, 1978),
istrinya, dan kesehatannya. Tapi, menuruit Pangeran Wangchuk,
"Ayahanda tak pernah sakit hati."
Kematiannya menimbulkan gelombang simpati yang bahkan di luar
perhitungan para pendukungnya sendiri. Surat kabar pemerintah,
Sikkim Herald mengakui, "gelombang massa yang mengitari Istana
ketika jenazah baru tiba dari Amerika tak dapat membendung air
mata mereka. Beberapa di antaranya bahkan jatuh terkulai."
Tapi setelah hiruk-pikuk upacara usai, tinggal hanya truk - yang
mengangkuti penduduk desa pulang dari pemakaman--yang masih
kadang-kadang menyerukan 'Hidup Chogyal!'. Selebihnya:
lereng-lereng yang terjal, lembah-lembah membisu. Berbatasan
dengan Cina, Bhutan, Bengal Barat, dan Nepal, kawasan yang
dilupakan dunia itu kembali tenggelam dalam kabut musim dingin
Himalaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini