Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tangisan samar di lereng himalaya

Kisah raja sikkim, palden thondup, meninggal karena penyakit kanker. beliau dinobatkan sebagai pewaris tahta sikkim pada tahun 1941. dikudeta pada tahun 1973. (sel)

13 Maret 1982 | 00.00 WIB

Tangisan samar di lereng himalaya
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
MUSIM dingin belum menanggalkan jubahnya yang kelabu dari Daratan Tinggi Sikkim, awal tahun ini. Angin tajam bagai sembilu menderu dari lereng Himalaya. Pada hari-hari itulah, Jumat 29 Januari 1982, di Kota New York mangkat seorang bangsawan yang mempunyai ikatan batin istimewa dengan negeri di tepi Anak Benua India itu. Tiada upacara kebesaran, nyaris sepi dan sebatang kara. Kalah bertarung dengan komplikasi yang menyusuli operasi penyakit kanker, jasad berusia 58 tahun itu dikenal dengan nama Palden Thondup Namgyal. Ialah chogyal (raja) yang pernah memerintah 200 ribu kawula di negeri 5.000 kaki di atas permukaan laut . Sejak 1642, Dinasti Namgyal memerintah Sikkim. Dan sejak 1950 kerajaan itu berada di bawah protektorat India. Kekuasaan chogyal, masih diakui. Dan tahun itu pula Palden Thondup Namgyal menikah untuk pertama kalinya dengan Sangay Deki, putri seorang bangsawan Tibet. Lahir 22 Mei 1923, Palden Thondup resmi menjadi pewaris tahta Sikkim pada 1941, setelah abangnya yang berdinas di Angkatan Udara India tewas dalam suatu pertempuran. Delapan tahun kemudian ia mengepalai tim negosiasi dengan India, yang berakhir pada status protektorat untuk Sikkim. Melalui tradisi ratusan tahun, kedua negeri memang punya kepentingan yang sama terutama menghadapi ekspansi dari daratan Cina. Bagai sudah disuratkan, 1957 Sangay Deki berpulang dengan meninggalkan dua putra dan seorang putri Palden dirundung sepi. Untunglah dua tahun kemudian ia berjumpa Hope Cooke, rupawan Amerika berusia 18 tahun, siswi Sarah Lawrence College yang sedang menghabiskan liburan mu sim panasnya di Eropa dan Asia. PERTEMUAN pertama itu terjadi di Darjeeling, India, kira-kira-40 km dari Gangtok, Ibukota Sikkim. Keduanya jatuh hati, dan menikah 29 Maret 1963. Sebuah peristiwa yang asyik bagi media,mssa Barat kctika itu. Bayangkan: srang putra mahkota kerajaan kecil dan molek di lereng Himalaya menikah dengan seorang jelita dari kampus Amerika. Laksana dongengan purba. Tapi pemerintah India gusar melihat perkawinan ini. Mereka tak bisa menyetujui langkah Palden--pangeran dan pemimpin agama Budha-menyunting seorang perempuan asing. Apalagi Hope Cooke, jemaat Gereja Episkopal, tak bersedia mengikutl agama suaminya. Palden tak peduli. Ia menuntun istrinya menaiki tangga istana Gangtok. Pada 1964 ia dinobatkan menjadi raja, setelah ayahnya Sir Tashi Namgyal wafat di tahun yang sama. Tapi rupanya India melanjutkan tuntutan nafsunya. Apalagi Palden mulai agak sering berbicara tentang "otonomi Sikkim." Pada 1973, mereka menonjok, Baginda melalui sebuah kudeta. Palden dicampakkan dari tahta, walaupun tetap diizinkan tinggal di istana--sebagai tahanan rumah. Hope Cooke dan kedua anaknya segera mengungsi ke New York. Dua tahun kemudian, Dewan Perwakilan Sikkim secara resmi memecat sang raja--dan menghapuskan monarki yang sudah berusia 333 tahun. Negeri itu kemudian dijadikan negara bagian India ke-22. Selesai. Lalu, sementara cinta Palden dengan "bidadari Amerika"-nya tetap mesra, sang istri justru menyarankan perpisahan pada 1978. Dua tahun kemudian mereka bercerai. Palden, ibarat kata pepatah, sudah jatuh ditimpa tangga. Pada 1979 pemerintah Gangtok mengizinkan bekas chogyul itu keluar masuk Sikkim,tapi tak boleh seenaknya keluyuran di dalam negeri. Kedudukannya sebagai pemimpin keagamaan tetap diakui. Pada 1980 ia mengunjungi New York, menjemput putranya yang juga diberi nama Palden, dan putrinya yang diberi nama Hope. Kedua anak itu dibawanya ke Sikkim menikmati musim panas. Ibu anak-anak itu mulanya tak setuju, dengan alasan keamanan. Tapi pengadilan negeri New York menjatuhkan keputusan yang mengunlungkan sang bekas raja. Dan ternyata perjalanan itu berlangsung aman. September tahun lalu kembali Palden Thondup mengunjungi New York. Tapi kali ini ia langsung mendatangi Pusat Perawatan Kanker Sloan-Kettering Memorial. Dan meski berhasil melalui operasi, komplikasi yang terjadi setelah itu tak mengizinkan sang chogval hidup lebih lama. Lalu upacara pengabuan jenazahnya pun berlangsung di Gangtok, pertengahan Februari lalu. Dan di situlah: emosi dan nostalgia yang merasuk di kalbu penduduk Sikkim tiba-tiba menyemburat keluar. "Rakyat berteriak-teriak di depan Istana, menuntut agar putra Palden dinobatkan sebagai chogyal," tulis wartawan Bengkok Post, Bernard Melunsky, dari Gangtok. Putra itu sendiri, Pangeran Wangchuk, 29 tahun, lulusan Universitas London, menyatakan tak keberatan menerima gelar yang sudah menjadi haknya. Tapi para pengamat memandang demonstran di depan istana itu sebagai kelompok yang sebenarnya tidak punya jaringan politik luas. Lagipula, "bagaimana ia menerima warisan dari sesuatu yang sudah dinyatakan hapus?" tanya seorang asing yang pernah lama tinggal di Sikkim. Maka riwayat lama pun kembali diutak-atik. Menurut sahibul kisah, Palden Thondup Namgyal sebenarnya tak pernah bersetuju akan sebuah aneksasi oleh India. Bahkan, konon, ia menamakan usaha itu "liar dan bertentangan dengan konstitusi." Pangeran Wangchuk menambahkan, ayahnya tak pernah menandatangani selembar pun persetujuan aneksasi. Pemerintah India sendiri tidak berpangku tangan. Adalah Homi Taleyarkhan, wakil India dan Gubernur Sikkim yang rupanya ditugaskan angkat bicara. "Saya sudah meninjau sampai ke daerah paling terpencil negeri pegunungan ini," katanya. "Di mana-mana rakyat menganggap diri mereka orang India, dan bangga bergabung dengan sebuah negeri besar." Hmm. Kemudian berceritalah ia tentang uang yang dibelanjakan India untuk Sikkim, yang dinamakannya "sebutir permata pada mahkota India." Diceritakannya pula betapa penduduk Sikkim terlunta-lunta ketika negeri itu masih berdiri sendiri. Tapi sumber-sumber Sikkim mengungkapkan hal lain. Beberapa setiawan chogyal mengatakan, agitasi yang mendahului aneksasi sebenarnya "dikendalikan dari luar." Referandum yang dilaksanakan pada 1975 tak lebih dari sebuah sandiwara. Bila sekarang ini referandum dilaksanakan sekali lagi, kata mereka, "Sikkim pasti kembali pada kami." Lepas dari segala silang pendapat, "Sikkim tetap bagai oasis perdamaian dan ketenangan di bagian timur laut India yang selalu riuh dengan agitasi dan huru-hara," tulis Melunsky. Rakyatnya "lugu, rendah hati, penurut, dan pemalu." Penduduknya yang paling tua adalah bangsa-bangsa Lepcha dan Bhutia. Tapi lebih 70% penghuni negeri itu terdiri dari bangsa Nepal, yang datang berbondong-bondong ke Sikkim pada penghujung abad ke-19. Agaknya perlu pula mempertimbangkan faktor lain dalam menilai penghormatan kawula Sikkim terhadap chogyal-nya, terutama di kalangan pemeluk Budha. Dalam hirarki keagamaan, chogyal sekaligus pemimpin agama. Ada pula kepercayaan bahwa Palden Thondup Namgyal titisan seorang biksu tinggi Budha. Yang jelas, rakyat Sikkim memang mencintai raja yang selalu dirundung malang ini. Ia telah kehilangan kerajaannya, putra sulungnya (terbunuh dalam kecelakaan lalu lintas, 1978), istrinya, dan kesehatannya. Tapi, menuruit Pangeran Wangchuk, "Ayahanda tak pernah sakit hati." Kematiannya menimbulkan gelombang simpati yang bahkan di luar perhitungan para pendukungnya sendiri. Surat kabar pemerintah, Sikkim Herald mengakui, "gelombang massa yang mengitari Istana ketika jenazah baru tiba dari Amerika tak dapat membendung air mata mereka. Beberapa di antaranya bahkan jatuh terkulai." Tapi setelah hiruk-pikuk upacara usai, tinggal hanya truk - yang mengangkuti penduduk desa pulang dari pemakaman--yang masih kadang-kadang menyerukan 'Hidup Chogyal!'. Selebihnya: lereng-lereng yang terjal, lembah-lembah membisu. Berbatasan dengan Cina, Bhutan, Bengal Barat, dan Nepal, kawasan yang dilupakan dunia itu kembali tenggelam dalam kabut musim dingin Himalaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus