Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENGAN celana denim hitam dan kaus biru pudar, hampir tak ada yang mengenali pria 62 tahun berperawakan kecil itu. Wajahnya mulai berkeriput, rambutnya menipis dan beruban. Dengan santai, dia duduk berselonjor di pojok ruang Teater Utan Kayu, Jakarta Timur, Kamis akhir pekan lalu, menanti dimulainya pemutaran film Balibo, yang mengisahkan kematian lima wartawan Australia di Timor Timur pada Oktober 1975.
Dia Kolonel (Purn.) Gatot Purwanto, mantan perwira Komando Pasukan Sandi Yudha (kini Kopassus), yang pernah bertugas lama di Timor Timur (kini Timor Leste). Posisi terakhirnya adalah Asisten Intelijen Komando Pelaksana Operasi di Timor Timur. Dia kehilangan jabatannya tatkala insiden Santa Cruz, Dili, meletus pada November 1991. Tak hanya kehilangan jabatan, dia juga diberhentikan dari dinas militer. Kepada Tempo, petang itu, dia mengaku ditegur koleganya saat berencana menonton Balibo. ”Buat apa saksi pelaku menonton film tentang peristiwa yang dialaminya sendiri?” katanya sambil terkekeh.
Gatot memang ada di Balibo 34 tahun silam. Dengan sandi Tim Susi, dia dan puluhan tentara Indonesia masuk ke perbatasan Timor Portugis, menjelang invasi Indonesia ke bekas daerah koloni Portugis itu. ”Saya waktu itu letnan satu, baru tiga tahun selesai pendidikan,” katanya. Komandan tim adalah Mayor Jenderal (Purn.) Yunus Yosfiah. ”Kami membantu partisan dari UDT dan Apodeti,” katanya. UDT dan Apodeti adalah dua partai di Timor yang waktu itu pro-Indonesia. Bersama mereka ada sekitar seratus milisi prointegrasi.
Ketika film dimulai, Gatot dengan cepat mengenali lokasi-lokasi yang menjadi latar film. ”Itu bekas gedung Departemen Keuangan,” katanya di adegan pembukaan. Gatot yang fasih berbahasa Tetum juga bisa memahami percakapan dengan bahasa lokal Timor itu. Kepalanya langsung menggeleng-geleng ketika film masuk ke adegan soal ideologi Fretilin, partai kiri yang ingin Timor merdeka. ”Mereka itu komunis,” katanya yakin. Saat adegan aktor utama film itu ditembaki di hutan oleh helikopter Indonesia, Gatot juga cepat-cepat menggeleng sambil bergumam, ”Tidak benar itu.”
Namun, ketika film memasuki adegan utama pembunuhan kelima wartawan kulit putih, Gatot melongo. Pandangannya lekat ke layar tanpa bergerak. Tatkala adegan beralih ke cerita pascapenembakan, dia masih tercenung lama. Baru ketika Tempo bertanya apakah memorinya saat itu serupa dengan penggambaran insiden di film, Gatot menoleh, ”Tidak, tidak, tidak seperti itu.” Dia menarik napas, suaranya berbisik pelan, ”Tidak persis seperti itu.”
Sayang, mereka tak sempat saling kenal. Padahal Gatot Purwanto dan reporter Greg Shackleton punya dua kesamaan ekstra selain huruf terdepan nama mereka: usia mereka sama-sama 27 pada 1975, manakala nasib mengantar mereka sama-sama ke Balibo.
Balibo adalah kota kecil di Distrik Bobonaro. Jaraknya hanya sekitar 10 kilometer dari perbatasan dengan Timor Barat, wilayah Indonesia. Sebuah reruntuhan benteng Portugis berusia lebih dari 400 tahun masih berdiri di atas bukit yang menghadap ke pantai. Gatot mengaku pasukannya menangkap dan menembak Greg serta empat rekannya yang lain: perekam suara Tony Stewart, 21 tahun (asal Australia, seperti halnya Greg); Gary Cunningham (27), asal Selandia Baru, dari Channel 7; serta Brian Peters (29) dan Malcolm Rennie (28), asal Inggris, dari Channel 9.
Film Balibo, menurut Gatot, terlalu didramatisasi. Meski kemudian ia mengakui anggota operasi terlibat dalam upaya menghilangkan jasad para wartawan itu. Caranya? Membakarnya dengan sekam agar baranya lama. ”Sampai hancur betul-betul habis (jasadnya), sampai dua hari,” katanya.
Film Balibo memotret eskalasi politik yang panas menjelang invasi dan detik-detik tewasnya kelima wartawan itu. Sutradara dan penulis naskahnya Robert Connolly, sineas asal Australia. Sedianya film ini akan ditayangkan di Jakarta International Film Festival, akhir pekan lalu. Tapi Lembaga Sensor Film (LSF) keburu melarangnya. Alasan Direktur LSF Mukhlis Paeni, ”Berpotensi mengorek luka lama.”
”Luka lama” itu tidak datang dari selatan. Peristiwa Balibo telah tiga dekade bolak-balik diperbincangkan Jakarta dan Canberra. Tapi, sesungguhnya, kedua negara seia sekata. Pemerintah Australia membenarkan versi pemerintah Indonesia yang mengatakan kelima orang itu tewas dalam baku tembak. ”Isi film itu tidak menyuarakan pemerintah Australia,” kata Jenny Dee, Atase Pers Kedutaan Australia di Jakarta.
Yang tak seia sekata adalah keluarga, kerabat, dan pemerhati hak asasi manusia yang menuntut keadilan. Mereka percaya, kelimanya tewas dieksekusi militer Indonesia, seperti halnya Roger East, wartawan Australia lain yang hilang dan diduga tewas ditembak pada hari pertama invasi, 7 Desember 1975, di pelabuhan Dili. Mereka ingin pelakunya dibawa ke meja hijau. Selama 34 tahun kasus ini timbul-tenggelam dalam politik Australia. Para pemerhati hak asasi menuding, baik Partai Buruh maupun Konservatif mendukung invasi—serupa dengan Amerika dan Inggris—demi mencegah komunisme.
Bisa jadi ”luka lama” yang dimaksud Mukhlis itu justru publik di dalam negeri. Banyak adegan film ini menyegarkan lagi ingatan kita akan pelanggaran hak asasi oleh militer Indonesia. Ikon familiar begitu buncah: baret merah, loreng hijau, senjata AK-47. Ada pula wajah aktor yang memerankan figur militer asli, seperti Benny Moerdani dan Kolonel Dading Kalbuadi (keduanya sudah mendiang kini). Dan yang mengerikan adalah perilaku para penyandang ikon itu dalam film: rentetan tembakan ke rakyat sipil, eksekusi di muka umum, serta wajah anak-anak dan perempuan menangis ketakutan.
Lembaga Sensor Film mengundang Sutiyoso dua hari setelah pelarangan untuk menonton Balibo, setelah kesulitan menghubungi Yunus. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini serdadu Kopassandha dalam operasi yang sama dengan Gatot. Menurut dia, operasi intelijen bertajuk Flamboyan itu bertujuan membantu milisi prointegrasi membersihkan daerahnya dari ”musuh”, yakni milisi Fretilin. ”Ini seperti masuk kandang singa, operasi one-way ticket. Kami bahkan tidak pamit kepada keluarga,” katanya kepada Tempo, Sabtu pagi.
Untuk operasi itu, Kopassandha membentuk tiga tim, masing-masing berisi sekitar 50 serdadu khusus. Angkatan 1965 memimpin, wakilnya dari angkatan 1968. Ketiga tim dijuluki dengan nama-nama perempuan: Susi, Tuti, dan Umi. Sutiyoso membenarkan pemimpin Tim Susi adalah Yunus Yosfiah, kala itu berpangkat kapten. Wakilnya Sunarto. Tim Tuti dipimpin Mayor Tarub, dengan wakil Agus Salim Lubis. Sunarto dan Agus Salim kini sudah wafat. Adapun Tim Umi dipimpin Mayor Sofyan Effendi dengan Sutiyoso sebagai wakilnya. ”Gatot ada di Tim Susi,” katanya.
Dengan pusat komando di Motaain, mereka hilir-mudik di wilayah perbatasan. Semua berpakaian sipil: rambut gondrong, kemeja lekat di tubuh laiknya era itu, dan celana pipa lebar atau denim. Dading, pemimpin operasi (dalam film dilukiskan sebagai penarik picu senjata pertama yang menewaskan para jurnalis), digambarkan menggunakan scarf di lehernya dan bertopi koboi. Semua menggunakan nama samaran. ”Nama saya Kapten Manix, seperti dalam film,” Sutiyoso tertawa.
Tim Umi kemudian merebut Batugade lewat tembak-menembak dengan kapal Fretilin. Tapi tak seperti biasanya, komando Mayor Jenderal Benny Moerdani minta mereka bertahan di kota pantai yang berjarak sekitar 40 kilometer dari Motaain itu. ”Ini aneh. Tak biasanya Kopassandha begitu. Ciri khas kami hit and run,” katanya. Susah payah mereka bertahan karena hanya bermodalkan senjata serbu. Sebulan setelahnya, baru ia mendengar Tim Susi bergerak ke Balibo dan Tim Tuti ke Maliana.
”Penembakan wartawan itu terjadi ketika Tim Susi masuk,” kata Sutiyoso. Saat itu komunikasi memang belum lancar, tapi sesama anggota tim saling berkunjung. Jadi semua yang terlibat mengetahui berita tentang matinya kelima wartawan itu. ”Di pertempuran itu, orang tidak tahu siapa, apa bule atau Jawa. Hanya membunuh atau dibunuh,” katanya.
Di sisi lain, sutradara Balibo, Roger Connolly, telah menggunakan jasa sejarawan Dr Clinton Fernandez dari Akademi Pertahanan Australia di Universitas New South Wales untuk memandu konteks sejarahnya. Dan dari setumpuk dokumen Timor Timur, Australia, Inggris, Amerika, sampai Portugal (tak ada dari Indonesia), Fernandez menyimpulkan: ”Militer Indonesia terlibat dalam upaya teror dan destabilisasi yang kemudian disalahkan kepada kelompok prokemerdekaan. Berikutnya mereka tinggal masuk sebagai penjaga ketertiban,” katanya dalam situs resmi film Balibo.
Sumber yang digunakan Connolly untuk mendeskripsikan detik-detik pengepungan dan penangkapan di Balibo berasal dari penyidikan jaksa di pengadilan koroner New South Wales pada Februari 2007. Bisa diunduh dari Internet, ada lebih dari setengah lusin saksi mengungkapkan kesaksian yang detail, termasuk peran Yunus dalam mengakhiri nasib kelima wartawan itu. Yunus, yang dihubungi Tempo, tak bersedia memperbarui keterangan. Melalui pesan pendek telepon seluler putranya, ia bertanya balik bagaimana andai ada tokoh bangsa ini yang dizalimi bangsa lain. ”Kalau masalahnya masih itu-itu saja, jawaban Pak Yunus masih sama.” Mantan Menteri Penerangan 1999 ini memang telah berkali-kali menyatakan tak terlibat dalam pembunuhan itu.
Menurut laporan itu, milisi Fretilin yang tewas dalam baku tembak di Balibo hanya satu-dua orang, serupa dengan korban di pihak prointegrasi. Tapi yang menjadi buah bibir hari itu adalah kematian para jurnalis, yang kemudian tertuang dalam Balibo.
Kesaksian ini berbeda jauh dari peristiwa yang dicatat wartawan TVRI, Hendro Subroto, yang ke lokasi beberapa jam setelah peristiwa. Menurut Hendro dalam buku Eyewitness to Integration of East Timor, ada 17 orang tewas dalam pertempuran di Balibo. Lima belas dari mereka ditemukan dalam kondisi terbakar di markas Fretilin yang diserbu mortir. ”Empat di antara 15 adalah orang kulit putih. Dua jasad lagi ditemukan di hutan, salah satunya kulit putih,” ia menulis, berdasarkan laporan bersama milisi prointegrasi. Yang menarik, saksi yang mengungkapkan soal 17 korban itu juga menjadi saksi dalam laporan jaksa pengadilan koroner. Namun ia mengaku berbohong memberikan kesaksian palsu dan mencabutnya mentah-mentah.
Kembali ke ”khitah”-nya sebagai fiksi, Balibo pun mengandung banyak rekaan. Jangan lupa, Balibo tak pernah disebut sebagai film dokumenter. Film ini tidak steril dari adegan fiktif. Di dalamnya banyak tokoh atau peristiwa rekaan, seperti sosok Juliana, yang diambil dari kesaksian warga Timor Timur akan pelanggaran hak asasi manusia pada hari pertama invasi. Ada pula ihwal perkelahian Roger East dan Ramos Horta di kolam renang yang tak pernah terjadi.
Namun LSF tak mempermasalahkan detail apakah film ini mendekati realita atau tidak. Yang penting, kata Ketua Komisi Evaluasi dan Sosialisasi Djamalul Abidin, LSF boleh menyensor atas asas politik dan ideologi. Dengan kata lain, tak perlu menggunting-gunting bagian keji, tapi atas nama politik dan ideologi, pembabatan seluruh film bisa terjadi. Seperti Sutiyoso yang tegas-tegas menolak film itu diputar karena menjelek-jelekkan Tentara Nasional Indonesia. ”TNI tak seperti itu. TNI Pancasilais,” katanya.
Pada masa itu, ini film atau realita?
Kurie Suditomo, Wahyu Dhyatmika, Nieke Indrietta, Martha Warta Silaban, Sutarto, Suryani Ika Sari (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo