Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koreksi Honda
ADA dua hal yang keliru dalam artikel ”Salip-menyalip di Nomor Dua” pada majalah Tempo edisi 30 November-6 Desember 2009, halaman 100.
1. Penjualan Honda periode Januari-Oktober 2009 sebanyak 2.190.180 unit dengan pangsa pasar 46 persen, bukan 6,1 persen seperti tertulis pada tabel ”Data Penjualan dan Pangsa Pasar 5 Besar Sepeda Motor”.
2. Jabatan Johannes Loman adalah Executive Vice President Director PT Astra Honda Motor, bukan Presiden Direktur Marketing seperti tertulis di paragraf kelima.
Kristanto
Head of Corporate Communication
Terima kasih atas koreksi Anda.
—Redaksi
Tanah Papua Lebih Baik
SERING kali kita mendengar warga Papua lari ke luar negeri, di antaranya Papua Nugini dan Australia. Mereka berkhayal mendapat kehidupan yang lebih baik dan bermartabat, tapi kenyataannya bertolak belakang dari harapan. Bukan mendapatkan kehidupan yang baik dan memperoleh sambutan yang layak dari pemerintah negara yang dituju, mereka malah diusir.
Dapat disimpulkan, Papua adalah tanah yang lebih baik ketimbang tanah asing. Beberapa dari mereka telah pulang. Semoga kepulangan mereka ke Tanah Air memberikan pelajaran berharga bagi warga Papua lainnya untuk berpikir dua kali sebelum melakukan eksodus ke luar negeri. Mari membangun tanah Papua untuk mengatasi ketertinggalan dari daerah lainnya.
Yonas G.
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Freeport dan Kondisi Papua
SEJAK PT Freeport Indonesia mulai berdiri, polisi dan tentara Indonesia tak henti memberikan perlindungan, baik terhadap masyarakat maupun karyawan perusahaan itu. Ancaman gangguan keamanan terus terjadi walau pemerintah dan manajemen Freeport Indonesia telah mencoba berbagai cara untuk menanganinya.
Bila dibiarkan, hal ini berpotensi menimbulkan konflik. Apalagi arus informasi demikian terbuka. Koran Washington Post edisi terbaru menampilkan berita terlukanya dua polisi akibat tembakan seseorang di bus di sekitar lokasi pertambangan PT Freeport Indonesia. Begitu besar perhatian yang dicurahkan media massa internasional terkait kondisi perusahaan pertambangan Amerika yang telah lama beroperasi di Indonesia tersebut.
Karena itulah seyogianya pemerintah mengupayakan solusi yang komprehensif dengan melakukan pembangunan secara masif di bumi Cenderawasih tersebut. Dengan demikian, keberadaan Freeport Indonesia di Papua bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat pulau itu. Bukan sebaliknya, menjadi ”bom waktu” lepasnya Papua dari Indonesia.
Farel Kuto
Depok, Jawa Barat
Awas, Markus di DPR
SEJAK awal, hak angket di Dewan Perwakilan Rakyat soal kasus Bank Century tak berjalan mulus. Indikasinya terlihat dari manuver para penggagas yang penuh euforia dan sarat muatan politik. Mereka merasa sebagai pihak paling berjasa dan menuding anggota DPR yang lain sebagai ”penumpang gelap”. Yang tak kalah mengkhawatirkan adalah menyusupnya para makelar kasus alias markus dalam upaya pembongkaran kasus ini.
Bukan tidak mungkin sejumlah tokoh yang di masa lalu pernah bermasalah dengan Bank Indonesia atau pernah terlibat kasus korupsi tapi belum tersentuh hukum akan berkolaborasi dengan DPR. Ujung-ujungnya, hak angket hanya akan dijadikan ajang tawar-menawar politik dan transaksi hukum. Jika itu sampai terjadi, pupus sudah harapan uang rakyat bisa kembali.
Karena itu, Panitia Khusus Kasus Bank Century DPR harus peduli dengan aspirasi di luar parlemen yang ingin kasus ini dituntaskan. Keinginan publik hanya satu: semua pihak yang terlibat skandal itu kelak bisa diungkap dalam proses politik di parlemen dan kemudian diproses secara hukum di pengadilan. Penting bagi aparat keamanan untuk menertibkan aksi-aksi liar massa bayaran di luar gedung Dewan yang bisa merusak mekanisme demokrasi.
Ricard Radja
Kupang, Nusa Tenggara Timur
Tentang Pelarangan Film Balibo
LEMBAGA Sensor Film melarang pemutaran film Balibo karya sutradara Robert Connolly satu jam sebelum penayangannya di Indonesia. Pelarangan LSF terhadap pemutaran perdana Balibo oleh Jakarta Foreign Correspondents Club juga berarti film tersebut tidak akan diputar di Jakarta International Film Festival, 4-12 Desember 2009.
Film ini menceritakan tewasnya lima wartawan Australia di Timor Timur pada Oktober 1975. Diduga, mereka dieksekusi oleh pasukan khusus TNI. Tujuannya, agar mereka tak menyiarkan secara detail invasi Indonesia atas Timor Timur. Pemerintah Indonesia mengatakan kelima wartawan itu tewas karena terjebak di medan peperangan. Namun, pada 2007, pengadilan koroner di negara bagian Australia, New South Wales, mengatakan bahwa mereka dibunuh TNI.
Apa yang dilakukan LSF sudah tepat. Sebab, film itu belum tentu sesuai dengan kejadian yang sebenarnya, karena bisa ditambah dengan adegan atau cerita lain. Tambahan-tambahan inilah yang dikhawatirkan bisa membelokkan fakta dan tidak sesuai dengan sejarah. Tapi suara yang menolak juga sah-sah saja.
Teuku Fachri
Samarinda, Kalimantan Timur
Jangan Biarkan Aksi Separatisme
INDONESIA merupakan negara kesatuan dari beribu pulau. Kedaulatannya diakui oleh dunia internasional dari Sabang sampai Merauke. Namun masih saja ada kelompok yang ingin berpisah dari Indonesia.
Seperti belum lama ini ada kelompok yang dipimpin Sem Yaru melancarkan demo ke Majelis Rakyat Papua, di Jalan Raya Abepura, Kota Madya Jayapura. Dan mereka membawa bendera Papua Merdeka, yakni Bintang Kejora.
Melihat rangkaian kejadian di atas, kita merasa prihatin dan berharap kasus itu dapat diselesaikan oleh pemerintah secara tegas. Bagaimanapun gerakan separatisme sama dengan makar untuk mengubah ideologi bangsa Indonesia.
Linda Surachman, SH
Lebak Bulus, Jakarta Selatan
Pro-Kontra Ujian Nasional
MAHKAMAH Agung telah menolak permintaan pemerintah agar lembaga hukum tertinggi itu mengesahkan ujian nasional. Artinya, ujian nasional saat ini cacat hukum. Meski begitu, pemerintah tetap akan menggelar ujian nasional pada tahun 2010.
Pro dan kontra pun merebak. Mereka yang tidak setuju dengan keputusan pemerintah beralasan bahwa ujian nasional punya banyak kelemahan, karena hanya mengukur tingkat kecerdasan otak si anak didik, tanpa melihat prestasi dan pengalaman yang pernah diraih. Sedangkan yang setuju ujian itu diteruskan beralasan bahwa ujian nasional merupakan penentu kelulusan siswa, selain penilaian dari guru dan sekolah, serta untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Pelaksanaan ujian nasional selama ini memang telah menjadi momok bagi siswa. Mereka yang mempunyai nilai di atas rata-rata ternyata bisa tak lulus. Untuk menghilangkan ketakutan, tak ada salahnya pendapat pro dan kontra digabungkan: ujian tetap ada, tapi kelulusan diserahkan kepada guru masing-masing. Jadi, pemerintah tak perlu mengintervensi kelulusan siswa melalui ujian nasional.
Sebagai pengganti ujian nasional yang digunakan sebagai standar kelulusan siswa, nilai rapor dari kelas I hingga kelas III bisa dijadikan pertimbangan. Nilai rapor tersebut merupakan cerminan prestasi siswa selama menempuh pendidikan. Jika ujian akan dilakukan dengan sistem seperti itu, hal ini menjadi tantangan bagi sekolah/guru untuk memberikan evaluasi secara obyektif berdasarkan kompetensi siswa.
Fathya M. Putri
Warung Buncit, Jakarta Selatan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo