Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

<font color=#FF9900>Jazzer</font> Remaja di Panggung Dunia

Musisi jazz merambah usia remaja. Kemampuan mereka membuat mulut ternganga. Mereka menciptakan lagu, membuat rekaman, mengikuti lomba tingkat dunia, bahkan berkolaborasi dengan musisi jazz mancanegara.

8 Desember 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUSIK instrumental Burung Camar dari cakram digital terdengar mengalun memenuhi ruangan studio 3 x 5 meter di Pejaten Barat, Jakarta Selatan. Lagu yang dipopulerkan Vina Panduwinata itu telah diaransemen ulang dalam irama jazz. Perlahan-lahan, Muhammad Ibnu Rafi menabuh drum seiring dengan alunan lagu itu, tepat pada hari ulang tahunnya ke-12, Rabu pekan lalu.

Rafi tidak sedang pamer menggebuk drum di acara hari ulang tahunnya. Dia sibuk berlatih mempersiapkan diri tampil di ajang musik dunia International Kids Performance Festival, Singapura, 7-10 Desember ini. Musik instrumental itu diputar sebagai bahan latihan.

Kemampuan anak belasan tahun itu boleh diacungi jempol. Pada April 2007 lalu, misalnya, dia melansir album bertajuk Can’t Stop The Beat. ”Ini dibuat hanya tiga hari di Amerika,” katanya menunjuk cakram digital albumnya yang berisi dua lagu lawas: Bengawan Solo dan Burung Camar, serta delapan lagu baru.

Eloknya, album smooth jazz yang direkam di Conway Recording Studio, Los Angeles, Amerika, itu melibatkan musisi jazz dunia. Mereka adalah Bob James, Haakon (piano), Paul Jackson Jr., Xavier Marquez, Morris O’Connor (gitar), Oscar Castro-Neves (gitar akustik), Nathan East, Earnest Tibbs (bas), Tom Scott, Michael Paulo, Paul Russo, Dan Higgins, Michael Paolo (saksofon), Steve Holtman (trombon), Gary Grant (trompet), Billy Jolly, Kevin Flournoy (keyboard), serta Vann Johnson dan Steve Russel (penyanyi).

Harvey Mason, personel kelompok jazz Fourplay, menjadi produser dan penata musik. Mason juga menciptakan delapan lagu dan menghadiahkan sepasang stik penggebuk drum—yang kini terpasang di dinding studio—khusus untuk Rafi, murid kelas 6 SD Yasorbi, Pancoran, Jakarta Selatan.

Album tersebut langsung menjadi nomine dalam Anugerah Musik Indonesia 2008 untuk kategori jazz vocal for solo/duo artist performance (lagu Bengawan Solo), jazz instrumentalia performance (lagu Burung Camar), dan best jazz album.

Pencapaian lain Rafi masih banyak. Dia pernah tampil di berbagai pertunjukan di dalam dan luar negeri, seperti Jazz Goes to Campus, Java Jazz Festival, Solo International Ethnic Music, atau Farabi Music Day. Bersama Nial Djuarso, kawannya yang berumur 15 tahun, ia juga kerap tampil di sejumlah klub musik.

Jazz memang makin populer di kalangan remaja. Tidak sekadar menikmati, anak-anak baru gede ini sudah lantang berbicara di kancah nasional dan mancanegara. Zefanya Hartani Putra, misalnya, juga akan berangkat ke Singapura mengikuti Kids Performance Festival. Zefa sudah muncul di sejumlah ajang bertaraf internasional seperti Bali Jazz Festival, Java Jazz Festival, Jak Jazz Festival, Jazz for Jogja, dan Jazz Goes to Campus .

Zefa, yang lahir di Bandung pada 16 April 1994, sudah melansir dua album, Don’t Smoke (But I’m Smokin’) dan Zefa & Uncles. Tak hanya piawai memainkan keyboard, Zefa adalah pencipta lagu andal. Tiga di antara 16 lagu yang ditampilkan di Singapura pekan ini merupakan buah karya Zefa. Lagu bertajuk Ini Laguku dan Someday akan dibawakan kelompok bernama The Indonesia Prodigi Child Jazz Band. Sedangkan Lagu untuk Negeri dibawakan Zefa sendiri.

Dua dari tiga lagu karya Zefa lainnya sudah masuk sepuluh besar Lomba Cipta Nyanyian Anak Bangsa 2008 yang diadakan Departemen Dalam Negeri. Pemenangnya diumumkan bulan ini.

Hingga kini Zefa sudah menciptakan 20 lagu, tapi baru 10 yang sudah benar-benar rampung. Yang lainnya, kata dia, ”Belum enak didengar.”

Anak-anak remaja ini memang telanjur jatuh cinta pada jazz. Rafi, misalnya, mulai mengenal jazz secara kebetulan, ketika menonton Java Jazz, empat tahun lalu. Rafi mulanya hanya ingin mencoba menikmati musik di festival itu tanpa ditemani kedua orang tuanya. Namun ia tak butuh waktu lama untuk merasakan hangatnya musik jazz dari pemain kondang sedunia dari beragam aliran, mulai Afro-Cuban, fusion, groove, bebop, hingga swing. ”Boleh juga,” katanya.

Sejak itulah cita rasa bermusiknya berubah. Ia lebih suka jazz ketimbang jenis musik lainnya. Apalagi ayahnya, Bambang Wasono Basoeki Rachmat, juga menyukai jazz. Sejak itu Rafi merasa punya banyak pilihan bermusik. ”Di jazz, kita bisa bermain-main eksplorasi,” katanya perlahan tapi penuh keyakinan.

Hanya selang setahun kemudian, Rafi sudah tampil di panggung Jakarta International Java Jazz Festival. Karena itu pula ia diganjar penghargaan dari Museum Rekor Indonesia sebagai pemusik termuda yang tampil di Java Jazz. Tapi itulah kesempatan pertama dan terakhir Rafi tampil di panggung Java Jazz. ”Karena anak-anak enggak boleh tampil di acara yang disponsori rokok,” katanya. Masih pada tahun yang sama, 2006, bersama Benny Mustafa, Rafi tampil di Jak Jazz Festival di Istora Senayan, Jakarta.

Rafi pun makin paham pada karakteristik jazz. ”Penuh tahan-menahan, enggak bisa sebebas musik metal atau rock,” katanya. Di situlah daya tarik jazz di mata anak bungsu dari empat bersaudara ini. ”Bisa eksplorasi, tapi tahan-menahan, jadi tambah ribet mainnya,” ujarnya.

Memainkan musik jazz memang rumit, dan jauh lebih mudah menjadi penikmatnya. Hal itu disetujui Zefa. Menurut dia, perlu latihan keras agar bisa memainkannya. ”Sangat susah untuk menjadi jazzer,” katanya.

Zefa harus berlatih minimal tiga jam setiap hari. Selasa pekan lalu, dia juga tetap rutin berlatih meskipun ulangan umum di sekolahnya sudah di ambang mata. Ini demi tampil prima di Singapura. ”Setelah dari Singapura, Zefa akan ikut ulangan umum,” kata Mimi, ibunya.

Selain berlatih, Zefa merasa memerlukan masukan dari pemusik jazz yang lain. ”Saya bukan berbakat, tapi (bisa) karena lebih banyak berlatih,” kata Zefa, yang tak begitu tertarik lagi dengan lagu anak-anak.

Menurut etnomusikolog Ben Pasaribu, banyaknya anak belasan tahun tertarik dan memainkan musik jazz karena orang makin mudah mengenal jazz. ”Melalui festival yang banyak diadakan di Indonesia maupun di Asia Tenggara,” kata dosen di sebuah universitas di Medan ini.

Kemunculan pemain jazz belia saat ini sesungguhnya menyambung mata rantai para pemain jazz yang bermunculan sejak era 1950-an seperti Marihot Hutabarat, Bubby Chen, Bill Saragih, dan Indra Lesmana. Mungkin, di era 1990an, yang terhitung sebagai jazzer muda adalah mereka yang berusia 20-an tahun. Namun kini masih belasan tahun sudah menjadi pemusik jazz.

Menurut Ben, setiap sepuluh tahun akan muncul pemusik baru yang akan meneruskan tradisi bermusik jazz di Indonesia. ”Setiap generasi akan memunculkan pahlawannya,” ucap Ben. Dan kini giliran Rafi, Zefa, Nial, dan beberapa musisi belia lainnya yang menjadi pahlawan.

”Sebenarnya tak saja pemusiknya, tapi penontonnya juga makin muda,” katanya. Ben mengibaratkan jazz tak ubahnya makanan langka. ”Selalu ada yang mencarinya,” katanya.

Nur Hidayat, Iqbal Muhtarom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus