Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUMAH Batik Sinar Abadi terlihat sibuk pada Sabtu siang awal Januari lalu. Di dalam bangunan seluas 500 meter persegi itu, 20 pembatik larut dalam pekerjaannya. "Kami sedang mengerjakan pesanan 250 lembar kain dari Jakarta," kata Agus Fatkhurrahman, 42 tahun, pemilik rumah batik yang terletak di Dusun Kasihan I, Ngentakrejo, Lendah, Kulon Progo, Yogyakarta, itu.
Di satu bagian, ada empat perempuan pembatik berusia 40-60-an sedang melukis kain dengan canting. Di salah satu sudut bangunan, tiga pria tua tengah mengecap kain. Di bagian lain, empat pria sibuk mencelupkan kain ke dalam bak untuk diwarnai. Tak jauh dari mereka, tiga perempuan sedang menghitung kain. "Tiap bulan rata-rata kami mengerjakan 1.500 lembar kain," ujar Agus. Padahal Agus mengatakan dulu ia hanya mengerjakan pesanan maksimal 100 lembar kain per bulan.
Kain-kain batik Agus dijual dengan harga bervariasi. Untuk batik tulis harganya dari Rp 200 ribu. Batik modifikasi tulis dan cap dibanderol dengan harga Rp 150 ribu dan batik cap Rp 100 ribu.
Menurut Agus, kerajinan batik di daerah itu mulai tumbuh sejak Hasto Wardoyo menjadi Bupati Kulon Progo. Sebelumnya, bisnis batik di sana mati suri. "Ada sepuluh rumah batik, tapi hanya lima yang aktif." Para pembatik umumnya bekerja ke Yogyakarta. Jika mereka membatik di rumah, kainnya dijual ke kota lain.
Pada 2012, Hasto mengadakan lomba desain batik khas Kulon Progo. Motif geblek renteng menjadi pemenangnya. Geblek merupakan makanan khas daerah itu yang terbuat dari tepung tapioka dan biasanya dikonsumsi bersama tempe benguk (koro). Adapun renteng bermakna masyarakat Kulon Progo bergandengan tangan tanpa putus untuk membangun daerahnya. Motif geblek renteng mirip dengan geblek yang disusun berjajar.
Sejak itu, geblek renteng menjadi batik khas Kulon Progo dan salah satu program andalan Bela Beli Kulon Progo, program unggulan Bupati Hasto. Sentra produksi batik itu berada di Ngentakrejo, Lendah. Sebagian kecil rumah batik berada di Kecamatan Galur, yang bersisian dengan Lendah.
Rumah-rumah batik itu bergabung dengan koperasi batik. Dengan begitu, mereka mendapat kesempatan mengikuti pelatihan dan pameran yang diadakan Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, serta Dinas Koperasi Kulon Progo. "Kami juga mendapatkan kemudahan pinjaman lunak di bank," kata Vitha, istri Agus.
Agar produksi batik makin ramai, Hasto mewajibkan 80 ribu anak sekolah dasar hingga sekolah menengah atas memakai seragam batik geblek renteng. Setiap Kamis, pegawai negeri juga diwajibkan berseragam batik itu. Kerajinan batik di kabupaten tersebut pun makin marak. Menurut Agus, pendapatannya meningkat lebih dari 100 persen dibanding lima tahun lalu.
Saat ini, kata Agus, ada 30 rumah batik yang aktif. Setiap rumah bisa mempekerjakan sampai 20 pembatik. "Para pembatik ini juga membawa batik dari rumah mereka untuk melengkapi kekurangan pesanan kami."
Kecuk, karyawan Agus, mengaku kerap membawa kain batik tulis buatan istrinya. "Setiap minggu rata-rata ada lima lembar saya bawa," ujarnya.
Sebelum bergabung dengan Rumah Batik Sinar Abadi lima tahun lalu, ia biasa menjual batik itu ke Bantul atau Pasar Beringharjo, Yogyakarta. Sekarang ia tak perlu lagi menawarkan batiknya ke Yogyakarta, yang menghabiskan ongkos transportasi dan tenaganya. "Ngapain jauh-jauh kalau orang Yogya saja suka ke sini cari batik?".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo