Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemujuran Patrialis Akbar berakhir pada Rabu pekan lalu, ketika Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap hakim Mahkamah Konstitusi ini karena diduga terlibat kasus suap. Sebelumnya, meski bolak-balik diperiksa Dewan Etik Hakim Konstitusi, Patrialis, 58 tahun, selalu lolos dari sanksi berat.
Ketua Dewan Etik Abdul Mukhtie Fajar menyebut Patrialis sebagai hakim yang paling sering dilaporkan masyarakat. Laporan yang masuk kebanyakan tentang perilaku Patrialis yang kerap mengomentari isu hukum. "Padahal hakim Mahkamah Konstitusi tak boleh memberi komentar di luar sidang," ujar Abdul Mukhtie, Rabu pekan lalu.
Patrialis, misalnya, pernah mengomentari Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah pada September 2014. Waktu itu, yang hangat dibicarakan adalah mekanisme pemilihan langsung atau tidak langsung. Patrialis, ketika memberi kuliah umum di Universitas Muhammadiyah Jakarta, menyatakan pilkada tak langsung alias lewat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tak melanggar konstitusi. Rancangan undang-undang tersebut disahkan pada medio 2015.
Peneliti Indonesian Legal Rountable, Erwin Natosmal Oemar, menganggap komentar tersebut sebagai bentuk keberpihakan. "Padahal ada potensi uji materi jika undang-undang tersebut disahkan," kata Erwin. Karena itu, Erwin dan kawan-kawan mengadukan Patrialis ke Dewan Etik Mahkamah Konstitusi. Kepada Tempo, Patrialis pernah membantah soal dugaan pelanggaran kode etik ini. Toh, Dewan Etik telah memberikan sanksi teguran kepada Patrialis.
Patrialis juga diadukan ke Dewan Etik karena menghadiri sidang perkara korupsi dengan terdakwa bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, awal Februari 2014. Komisi antikorupsi meringkus Akil karena menerima suap dalam sengketa Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, akhir 2013. Pengadilan menghukum Akil penjara seumur hidup.
Patrialis dan Akil sama-sama pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat 1999-2004. Keduanya terpilih kembali untuk periode lima tahun berikutnya. Sementara Akil mewakili Partai Golkar, Patrialis masuk ke DPR mewakili Partai Amanat Nasional.
Patrialis bergabung dengan PAN sejak partai itu berdiri pada Agustus 1998. Sarjana hukum lulusan Universitas Muhammadiyah Jakarta ini masuk partai melalui jaringan alumnus Persatuan Pelajar Muhammadiyah. "Dia langsung menjadi ketua badan di pengurus pusat," kata Alvin Lie, bekas kolega Patrialis di PAN.
Mentas dari Senayan, pada Oktober 2009, Patrialis menjadi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Kabinet Indonesia Bersatu II bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Selama menjadi menteri, Patrialis pun kerap memicu kontroversi.
Pada medio Agustus 2010, misalnya, Patrialis memberi remisi (pengurangan hukuman) kepada Artalyta Suryani alias Ayin. Terpidana kasus penyuapan jaksa Urip Tri Gunawan ini mendapat remisi umum 2 bulan dan remisi tambahan 20 hari. Sebelumnya, pada Mei 2010, Ayin juga mendapat remisi khusus hari Waisak selama 1 bulan.
Remisi untuk Ayin segera menjadi pergunjingan. Soalnya, beberapa bulan sebelum remisi turun, tim Satuan Tugas Anti-Mafia Hukum membongkar "fasilitas mewah" yang dinikmati Ayin di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Padahal salah satu syarat mendapat remisi adalah terpidana berkelakuan baik.
Pada Januari 2011, Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) mengganjar Patrialis dengan rapor merah. Patrialis dinilai gagal membenahi pengelolaan penjara dan tidak mencapai target membangun 19 lembaga pemasyarakatan baru. Kala itu ia beralasan pembangunan penjara terganjal dana yang belum cair.
Sebulan kemudian, Patrialis terlibat "perang dingin" dengan Tim Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. Pemicunya, Tim Satgas membeberkan hilangnya 15 tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur. Alih-alih mengusut tuntas kasus raibnya tahanan tersebut, Patrialis malah mengatakan Tim Satgas seharusnya melakukan pekerjaan lain yang lebih penting.
Sebagai menteri, Patrialis juga pernah menerbitkan kartu khusus untuk sebelas anggota Komisi Hukum DPR. Dengan kartu itu, atas nama pengawasan, politikus Senayan leluasa mengunjungi rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan. Ternyata ada juga yang menyalahgunakan fasilitas ini. Pada Februari 2012, misalnya, anggota Komisi III DPR, M. Nasir, memakai kartu tersebut untuk mengadakan "rapat gelap" dengan M. Nazaruddin di Rumah Tahanan Cipinang. Nazaruddin—kala itu berstatus terdakwa kasus suap Wisma Atlet—adalah kakak sepupu Nasir.
Sarat kontroversi, Patrialis akhirnya terkena kocok ulang kabinet Yudhoyono. Pada Oktober 2011, Patrialis digantikan kader Partai Demokrat, Amir Syamsuddin. Selepas jadi menteri, nama Patrialis sempat menghilang dari orbit politik. Tapi karier Patrialis belum benar-benar habis.
Pada awal 2013, doktor hukum dari Universitas Padjadjaran, Bandung, ini muncul dalam bursa pencalonan hakim Mahkamah Konstitusi, untuk mengisi kursi yang kosong ditinggalkan Mahfud Md. Namun, tanpa alasan yang benderang, di tengah jalan Patrialis mundur dari pencalonan.
Ternyata, pada Juli 2013, Patrialis masuk Mahkamah Konstitusi melalui jalur "bebas hambatan", tanpa melalui seleksi di DPR. Presiden Yudhoyono mengangkat Patrialis sebagai hakim Mahkamah Konstitusi dari unsur pemerintah untuk menggantikan Achmad Sodiki yang pensiun. "Selain pangkas jalur, kami ragu akan integritas dia selama menjadi menteri," kata aktivis Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho, Kamis pekan lalu.
Tergabung dalam Tim Advokasi Penyelamat Mahkamah Konstitusi, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan ICW menggugat Keputusan Presiden tentang Pengangkatan Patrialis ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Mulanya kedua lembaga tersebut memenangkan gugatan di PTUN. Namun Mahkamah Agung akhirnya memenangkan Presiden dan menyatakan pengangkatan Patrialis sebagai hakim konstitusi itu sah.
Harta kekayaan Patrialis juga terus naik selama dia menjadi pejabat. Saat menjadi anggota Dewan, Patrialis memiliki harta Rp 1,24 miliar dan US$ 3.000. Kekayaan ini melonjak menjadi Rp 5,98 miliar dan US$ 9.300 saat ia diangkat menjadi menteri pada 2009.
Harta Patrialis kembali naik saat ia duduk sebagai hakim di Mahkamah Konstitusi. Tercatat dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara tahun 2013, ia memiliki aset Toyota Alphard, KIA Carnival, dan Honda CR-V. Kekayaannya meningkat menjadi Rp 14,93 miliar dan US$ 5.000.
Mahkamah Konstitusi rupanya menjadi terminal terakhir perjalanan karier Patrialis. Kali ini Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat mengatakan pelanggaran yang dilakukan Patrialis termasuk kategori berat. "Kami sudah membebastugaskan Patrialis dari posisi hakim," ujar Arief, Kamis pekan lalu.
Tersingkir dari kursi hakim, Patrialis pun tak direken penting lagi oleh partai yang "membesarkan" dia. Sekretaris Jenderal PAN Eddy Soeparno mengatakan Patrialis kini bukan lagi kader partai berlambang matahari terbit itu. "Sejak menjadi hakim Mahkamah Konstitusi, dia sudah keluar dari partai," kata Eddy.
SYAILENDRA PERSADA, FRANSISCO ROSARIANS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo