Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika melihat perawakannya yang gagah dan tinggi besar, orang tak akan menyangka Horst Henry Geerken, penulis buku Hitlers Griff nach Asien, sudah berusia lebih dari delapan dasawarsa. Agustus mendatang, Geerken genap berusia 83 tahun. Tapi suaranya masih lantang, ingatannya masih jernih. Dengan cepat dan tepat ia, misalnya, bisa langsung memberitahukan di halaman dan di paragraf berapa penjelasan atas pertanyaan Tempo di bukunya itu. Buku yang ditulisnya selama lima tahun itu berisi ratusan halaman.
Pada 1963-1981, Geerken bekerja sebagai tenaga ahli AEG Telefunken di Jakarta. Geerken pula yang menciptakan sarana komunikasi Indonesia pertama yang sekarang dikenal sebagai Radio Republik Indonesia (RRI). Ia juga yang diminta Panglima Angkatan Laut RI Laksamana R.E. Martadinata membangun radio transmisi ALRI. Setelah kontrak kerjanya di Jakarta selesai, Geerken pulang ke Jerman dan tinggal di Bonn. Hampir setiap tahun dia mengunjungi Indonesia-bersama istrinya, Anette Braker, ahli bahasa Melayu Universitas Bonn.
Februari lalu, beberapa hari sebelum Geerken dan istrinya berangkat ke Bali, sang istri harus masuk Rumah Sakit Waldkrankenhaus di Bad Godesberg, Bonn, karena kanker yang dideritanya telah menyebar dari paru-paru hingga otak. Sejak itu, Geerken mondar-mandir ke rumah sakit menemani istrinya. Pada 20 April 2015, Anette Braker mengembuskan napas terakhir. Berikut ini wawancara wartawan Tempo, Sri Pudyastuti Baumeister, dengan laki-laki sederhana yang masih suka mengendarai minibus tua berwarna putih itu.
Anda mengungkap sesuatu yang belum banyak diketahui orang….
Saya menemukan banyak jejak peran Jerman di era Perang Dunia II di Indonesia, tapi soal itu tidak pernah disebut di arsip ataupun buku-buku di Jerman. Bahkan bekas komandan kapal selam Laksamana Karl Donitz, yang membawahkan komando kapal selam di wilayah Asia, cuma menyebutnya dalam 40 halaman dari 500 halaman bukunya yang berjudul 10 Jahre und 20 Tage. Donitz seperti ingin melupakan peristiwa itu.
Anda mewawancarai siapa saja?
Saya mewawancarai lebih dari 100 veteran. Saya diajak ke pertemuan veteran Indonesia yang dihadiri ribuan anggota. Setelah saya berbicara dengan para veteran tentara Indonesia, saya semakin yakin bahwa militer Jerman pernah di Hindia Belanda. Saya juga mewawancarai para kolektor peralatan militer Jerman pada Perang Dunia II serta janda awak dan komandan kapal selam Jerman di Batavia. Ketika saya diajak ke taman makam pahlawan Indonesia, di atas pusara diletakkan helm-helm buatan Jerman. Saya juga menemukan banyak perangkat militer Jerman, seperti sepatu lars tentara, senjata seperti bayonet, dan peralatan makan prajurit di pasar loak Jalan Surabaya. Bagaimana semua ini sampai ke tangan para pejuang, itulah yang saya telusuri.
Kabarnya, Anda bertemu dengan R.E. Martadinata?
Di awal kedatangan saya ke Indonesia, saya beberapa kali bertemu dengan Martadinata. Dialah yang menceritakan basis marinir Jerman di Surabaya karena pernah bekerja di situ. Waktu itu mungkin umurnya masih 20 tahun. Dia kadet asal Indonesia pertama yang bekerja di situ. Martadinata memberikan banyak informasi tentang jejak Jerman di Indonesia.
Siapa lagi tokoh yang Anda temui?
Banyak. Sukarno misalnya. Beberapa kali saya bertemu dengan dia di istananya di Jakarta dan Bali. Saya diajak makan sayur daun singkong, sayur yang saya sukai sampai sekarang. Sukarno bilang singkong harganya murah tapi vitaminnya banyak (tertawa). Saya bertemu dengan Rosenow, bekas kapten kapal ekspedisi Jerman yang berjasa melahirkan pembentukan ALRI. Saya juga bertemu dengan Jenderal Otty Soekotjo, Letkol Daan Jahja, dan Jenderal M. Ng. Soenarjo. Daan Jahja adalah teman setia saya bekerja mengumpulkan bukti-bukti selama 18 tahun tinggal di Indonesia. Mereka sahabat saya.
Bantuan Jerman di masa pemerintahan Hitler apakah bantuan langsung yang diberikan kepada pejuang kemerdekaan?
Langsung. Bantuan militer dikirim bertahap ketika kapal-kapal selam berlabuh untuk mengangkut bahan baku. Kapal-kapal itu ketika berangkat ke Hindia Belanda membawa persenjataan militer. Para veteran perjuangan kemerdekaan juga bercerita kepada saya bagaimana sibuknya kapal-kapal selam menurunkan kargo yang berisi persenjataan militer untuk tentara Jepang dan tentara Pembela Tanah Air (Peta). Banyak pula sepatu tentara, walau tidak disebut dari mana dikirim, langsung dari Jerman atau dari Penang, Malaysia. (Catatan: Jerman mempunyai pabrik sepatu tentara di Penang, Malaysia, milik Willy Vogel.)
Ada yang sudah memberikan respons terhadap buku Anda?
Ya. Beberapa orang menelepon saya dan memberikan dokumen-dokumen dari orang tuanya yang ikut dalam operasi kapal selam ke Asia Tenggara. Jadi barangkali akan muncul jilid ketiga, yang menampilkan fakta baru berdasarkan dokumen yang saya terima. Buku saya jilid kesatu dan kedua ini (dalam versi bahasa Jerman dan Inggris) akan muncul di Frankfurt Book Fair pada Oktober dan saya diminta membacakan bukunya. Saya kira ini momen yang bagus karena pada Oktober itu Indonesia akan menjadi tamu kehormatan Frankfurt Book Fair.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo