Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bara Dendam dalam Dentuman Zigoyar

Di penjara, Imam Samudra menulis memoar. Amerika menjadi musuh abadi. Inilah sebagian kutipan memoar terpidana yang dihukum mati.

12 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tangismu wahai bayi-bayi tanpa kepala dibentur di tembok-tembok Palestina Jeritmu wahai bayi-bayi Afganistan yang memanggil-manggilku tanpa lengan dieksekusi bom-bom jahanam

DARI balik tembok penjara Kerobokan, Bali, Imam Samudra mencatatkan kenangannya tentang apa yang disebutnya sebagai jihad. Lewat buku tulis setebal 200 halaman, sejumlah peristiwa dalam hidupnya berkelebat, dengan tulisan tangan impresif. Inilah memoar yang ditulis dengan huruf kecil dengan keyakinan yang teguh, ”Untuk menghemat halaman,” ujarnya saat dibesuk TEMPO, akhir September silam. Sejumlah tulisan itu diberinya tanggal, tapi banyak juga yang tidak. Imam, sang terpidana mati kasus bom Bali, menyebut karyanya sebagai Biografi (Setengah Hati). Setengah hati? Simaklah alasan dia, yang dipetik dari buku itu: ”Aku paling tidak suka mengisi buku diary, yang biasanya meminta biodata, kata mutiara, dsb, dsb,” demikian ia menulis. Apalagi, kata dia, sejak terlibat dalam ”perjuangan menegakkan kalimat Allah”, dia merasa wajib menjunjung tinggi kerahasiaan. Meski begitu, sebagian sejarah itu tetap dia tulis dengan satu prinsip: ”menghindari hal-hal yang membatalkan pahala”. Walhasil, jadilah buku itu penuh kelebatan pikiran, kenangan, dan tak lupa, petikan Al-Quran dan hadis. ”Aku lahir di Desa Lopang Gede, Banten, 14 Januari 1970,” demikian ditulisnya di bagian yang diberi anak judul Childhood, satu fragmen dalam tulisan bertajuk Biografi (Setengah Hati) itu. Lahir dengan nama Abdul Aziz, Imam kecil tumbuh dalam keluarga pedagang. Dia mengingat secara detail saat duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah Al-Khairiyah, Serang. ”Sekolah agama yang tak terlalu ketat, dengan meja-meja yang telah dimakan rayap,” Imam menulis. Saat di bangku sekolah dasar, dia pernah menjadi siswa teladan dan memenangi cerdas cermat P-4. Dia juga mengisahkan masa remajanya, di SMP maupun SMA, yang ditempuh dalam ”suasana sekuler”. Di bangku SMP, Imam punya prestasi cemerlang, masuk peringkat tiga besar tingkat kabupaten. Tapi, Imam sendiri tak begitu suka dengan suasana sekolah seperti itu. Dia lebih suka menyendiri, membaca buku di perpustakaan. ”Aku lebih tertarik dengan ensiklopedia bergambar tentang alam semesta. Satu-satunya novel yang kubaca Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Buya Hamka.” Pergulatannya soal agama mulai tumbuh. ”Pohon pinus dan bangau, penetrasi sinar matahari. Salju di puncak gunung, indah subhanallah,” tulisnya tentang satu lukisan di kamar belajar sewaktu Imam masih duduk di bangku SMP Negeri 4 Serang, Banten. ”Di sebelah lukisan itu, ada rumus-rumus yang membosankan. Di bawah rumus-rumus itu ada tumpukan buku, di antara buku-buku itu ada sebuah buku Aayaturahman Fie Jihadil Afganistan (Tanda-Tanda Kekuasaan Allah dalam Jihad di Afganistan) oleh Dr. Abdullah Azzam.” Azzam adalah doktor fikih jebolan Universitas Al-Azhar, Mesir. Dia kelahiran Palestina, namun bergabung dengan mujahidin di Afganistan. Azzam tewas akibat serangan bom di Peshawar pada 1989. Karya Azzam membangkitkan semangat jihad luar biasa. Imam menulis: ”Mereka yang sempat membaca buku itu, Insya Allah, akan tergerak hatinya untuk berangkat jihad, angkat senjata ke Afganistan. Tapi waktu itu umurku baru 16 tahun, baru bisa membayangkan, menghayati, dan kemudian melamun.” Sejak membaca ”buku ajaib” itu, kata Imam, dia selalu berdoa agar Allah memberinya kesempatan untuk bergabung dengan para mujahidin di Afghanistan. ”Sejak itu pula aku berhenti menonton televisi dan mendengar musik. Dan saat itu juga aku menjadi semacam ’introvert’, ” demikian dia tulis. ”Intifadah di Palestina dan jihad di Afganistan membuat diriku benar-benar gerah dan gundah.” Potongan puisi di atas, misalnya, adalah ungkapan kegalauan Imam atas nasib kaum muslimin di Palestina dan Afganistan. Di bagian lain buku itu, pada tulisan bertajuk Biar pun Terluka di Mata Sejarah, Afganistan adalah sebongkah duka yang berlarat-larat. ”Sampai saat buku ini kutulis, aku sama sekali tidak dapat melupakan image yang telanjur kuat melekat dalam memori benakku. Saat aku surfing dalam lautan Internet, kutemukan gambar bayi-bayi tanpa kepala dan tangan yang rusak akibat kebrutalan pasukan salibis Amerika dan sekutunya saat membombardir Afganistan pada Ramadan 2001....” Kedukaan itu terus merasuk dari layar maya. ”Image itu hanya berupa foto dari kejadian asli yang kemudian di-scan, dimasukkan ke komputer, lalu di-upload ke alam Internet. Memang mati, tanpa suara, bisu. Tapi roh kesakitan dan derita mereka telah menempati rongga hatiku, menampung kepedihan dari ayah-bunda mereka. Aku meyakini akan adanya telepati. Dengan kehendak Allah, aku benar-benar merasakan kepedihan-kepedihan dan kesakitan demi kesakitan yang mereka alami.” Kesakitan itulah yang lalu menuntunnya ke Afganistan, sebuah negeri yang saat itu riuh oleh pertempuran kaum mujahidin melawan pendudukan Rusia di sana. Afganistan begitu jauh dari kampungnya di Serang, Banten. Dalam coretan berjudul Saat Salju Tiba dan Rindu pun Menjelma, Imam mengisahkan bagaimana hidupnya berubah sejak mengenal jihad. Begitu lulus Madrasah Aliyah Negeri Cikulur, Serang, pada 1990, Imam pun menuju Jakarta. Di Masjid Al-Furqan, Jalan Kramat Raya 45, Jakarta, cita-cita itu menemukan jalan. Di sana, dia bertemu Jabir (Jabir kelak tewas saat merakit bom untuk aksi malam Natal Desember 2000, di Bandung—Red). Setelah berbincang seputar soal jihad, melihat kesungguhan Imam, Jabir menawari anak Serang itu berangkat ke Afganistan. Bukan main senangnya Imam. Setelah pamit ke orang tuanya di Serang dan mengumpulkan sejumlah uang, antara lain dari honornya menulis artikel di majalah Panji Masyarakat, akhirnya dia mengurus paspor ke Jakarta. Dalam pekan itu pula, Jabir dan Imam menuju Dumai, Sumatera Selatan. Tujuan mereka: Melaka (Malaysia). ”Dumai-Melaka terkenal sebagai ’jalur-TKI’ (tenaga kerja Indonesia),” kenangnya. Lolos pemeriksaan di imigrasi, dia menuju Bandara Subang Jaya, Selangor, Darul Ehsan, Malaysia. ”Begitu pesawat MAS (Malaysian Air System) take off, aku merasakan betapa berat meninggalkan Tanah Air, orang tua tercinta, dan sanak-saudara,” tulisnya. Dan sekelebat muncul juga bayangan seorang perempuan, Zakiyah, yang ditaksirnya sejak SMP di Serang. ”Ada perasaan yang lain,” ujarnya. Kelak, perempuan yang sangat dicintainya itu dinikahinya pada 1995, sepulang dari Afganistan. Imam akhirnya tiba di Karachi, Pakistan. Rombongan mujahidin asal Indonesia itu pun menuju Peshawar. ”Esok harinya, perjalanan ke negeri impian para lelaki dilanjutkan,” tulis Imam di buku memoarnya. Saat melintasi perbatasan Pakistan-Afganistan itu, dia mengenakan pakaian khas Afganistan, ”Menutup seluruh wajah, kecuali mata dengan menggunakan ridah (selimut tipis), tidak mengucapkan sepatah kata pun,” ia melanjutkan. Menjelang senja, setelah berjalan kaki empat jam dari perbatasan, dia tiba di sebuah kamp yang terkenal dengan sebutan Muaskar Khilafah. Di sana, seperti diakuinya, dia menapak sebuah kehidupan baru. Imam menuliskan ”kehidupan baru yang sangat membahagiakan itu” dengan frasa berikut: ”’Musik’ kami adalah rentetan peluru, ledakan mortar, dentuman Zigoyar dan Da-Scha-Ka (senjata anti-pesawat). ’Nyanyian’ kami adalah nasyid (sejenis acapella, pembangkit semangat jihad). ’Senandung’ kami adalah lantunan ayat-ayat Al-Quran yang tak pernah berhenti selama 24 jam saling bergiliran.” Tempat itu ternyata bernama Khost. Di sana, dia tiba menjelang musim gugur: ”Daun-daun zaitun masih kekal bertahan. Daun-daun ’caparkat’ dan ’cactus’ Afgan telah luruh. Tinggallah duri dan kayunya yang kelak dibakar untuk memasak dan pemanas. Anor (buah delima) tak lagi berbuah, runtuh dedaunannya sudah. Saghol (serigala) melolong di tengah malam, selapis jaket mesti dikenakan.” Dan Khost, tulis Imam, bukan tempat biasa. ”Bukan kampus orang-orang Eropa atau Amerika yang mengisi kehidupan mereka dengan segala kemaksiatan dan kemeriahan dunia.” Khost adalah: ”Sekeping tanah di bentangan bukit. Sewaktu-waktu, kapan saja, musuh hendak dan mau, mereka menyerbu, melontar mortar, memuntahkan peluru, dan terjadilah perang seru.” Ajal memang di tangan Allah, tutur Imam, ”Tapi, di Khost, dan front jihad lain di Afganistan, kematian terasa begitu dekat.” Bagian yang menarik adalah pergumulannya di dunia maya. Imam, yang mengaku bisa betah sehari semalam di depan layar komputer itu, membagi ilmunya menjebol situs maya. ”Hacking, Darimana Mulai?” memuat petunjuk praktis bagaimana seorang bisa menjadi hacker. Dia juga memberi kiat carding alias menjebol kartu kredit orang lain saat terjadi transaksi di Internet. ”Modal seorang hacker adalah otak,” demikian ia menulis. ”Cyber war adalah pertempuran abadi. Para hacker muslim tidak akan membiarkan Amerika dan sekutunya nyaman dalam jaringan komputer mereka,” tulisnya lagi. Jika ia membenci Amerika, yang dianggapnya puncak konspirasi kaum Nasrani yang dia sebut salibis dan zionis internasional itu, kenapa justru Bali menjadi sasaran? Dalam satu tulisannya, Mengapa Bom Bali?, Imam menjelaskan: ”Sabar dulu. Bali sama sekali bukan targetku. Dan, kalian kawanku, Bali hanyalah sekeping tempat di mana berlindungnya teroris Amerika dan sekutunya.” Lalu, disusul pertanyaan: kenapa tidak dilakukan saja di Amerika, atau Australia, Prancis, Jerman, Belanda, atau di negara-negara sekutu Amerika lainnya? Dia menjawab sendiri: ”Karena aku wanted, wanted, dan wanted. Itu satu di antara jawaban paling mudah dipahami. Kalau tak wanted pun, bukan urusan mudah mendapatkan visa dari negara-negara itu. Faktor lainnya cukup susah atau barangkali tidak bisa menyediakan dan memperoleh infrastruktur dengan kepentingan attack di dalam negara-negara sekutu monster tersebut. Dengan kata lain, ability dan possibility kita tidak memungkinkan beroperasi di dalamnya,” ia menjelaskan. Semudah itukah menentukan Bali sebagai killing zone? ”Itu bukan masalah sepele. Penentuan target tidak bisa dilakukan secara asal-asalan. Apalagi menyangkut masalah nyawa. Tapi, apa pun ceritanya, manusia tak mengerti hakikat jihad pasti mengutuk dan memberi komentar yang mengelirukan, menyesatkan, dan menyakitkan,” dia memberi dalih. ”Luka-luka Palestina belum lagi mengering. Isak dan tangis bayi-bayi kecil tanpa kepala, tanpa telinga, tanpa lengan dan kaki, terus membayang di awang-awang. Siapa peduli mereka?” Dan Imam memang seorang true believer. Dia menempuh jihad sebagai jalan pembalasan atas penindasan di dunia Islam yang tertindas di Afganistan dan Palestina. Lalu, bom pun meledak di mana-mana, di tempat yang jauh dari Afganistan, sampai akhirnya melumat 202 jiwa di Bali. Pengadilan telah menjatuhkan vonis mati bagi dirinya. Tapi, surutkah dia? Dalam tulisan Escape, yang seakan disiapkannya menyongsong maut, Imam menulis: ”Rohku tak lagi terpenjara. Kini jiwaku ada di negeri para syuhada, negeri sejuta duka. Afganistan.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus