DARI Mejorejo, sebuah kampung kecil di pelosok Madiun, Jawa Timur, Fathur Rohman al-Ghozi melesat bak meteor ke pentas dunia. Dia diburu para intelijen di berbagai negara. Dia ditangkap polisi Manila bersama berkarung-karung bahan peledak. Dikerangkeng dalam bui paling horor di negeri itu, toh Al-Ghozi tetap bisa meloloskan tubuhnya dari penjara tanpa jejak. Borgol yang mengikat tangannya selama dibui di Filipina tergeletak di atas dipan dengan gembok besi masih mengunci kamar. Sempurna.
Bagaimana ia kabur dari penjara superketat ini pada Juli silam? Itu masih misterius. Lalu ke mana ia pergi? Maaf, lagi-lagi masih misterius. Aparat intelijen yang memburunya cuma bisa menduga-duga bahwa pria pendiam itu mungkin saja sudah bergabung dengan pasukan pemberontak di Filipina Selatan. Cuma sekian informasinya. Selebihnya gelap-gulita.
Fathur Rohman al-Ghozi sungguh mewakili bayangan orang ramai tentang seorang aktivis bawah tanah; cerdik, berani, pandai mengecoh lawan-lawannya. Lahir di Mejorejo pada 17 Februari 1971, sejak remaja Al-Ghozi sudah punya bakat menghilang. Tatkala orang tuanya tak sanggup membiayai sekolah menengah atasnya, dia kabur secara misterius dari rumah pada pertengahan 1988. Ayah dan ibunya cemas, bahkan stres berat. Eh, belakangan diketahui bahwa lelaki pendiam itu menjadi santri di Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah.
Tamat dari pesantren itu, Ghozi terbang ke Pakistan akhir tahun 1989. Di sana ia kuliah di Universitas Lahore. Di kampus itulah dia bertemu dengan sejumlah aktivis Islam dari berbagai negara, seperti Filipina, Malaysia, dan beberapa negara di kawasan Timur Tengah. Sebagaimana anak muda lainnya di kampus itu, Ghozi amat antusias membela kaum muslim yang tertindas. Dia giat berdiskusi tentang agama, politik, juga nasib dunia Islam masa depan.
Dalam masa studinya di Lahore pula dia berkenalan dengan sejumlah pemuda dari Moro. Mereka adalah aktivis Front Pembebasan Islam Moro (MILF), yang ingin memerdekakan kawasan itu dari Filipina. Bersama-sama aktivis Moro, Ghozi meluncur ke Tulhum, daerah perbatasan Afganistan-Pakistan, pada 1994. Di Tulhum, kawasan tempat senjata dibisniskan dengan laris manis, Ghozi belajar menggunakan senjata.
Seorang ustad asal Afganistan membimbing Ghozi. Dia berlatih cara menembak cepat hingga merangkai aneka jenis bom. Pulang dari perbatasan itu, Ghozi terus mengasah kemampuannya.
Entah kenapa, Al-Ghozi sepertinya tak rindu pada kampung halamannya. Rampung kuliah pada 1995, anak muda ini tak langsung pulang ke Indonesia. Padahal orang tuanya di Mejorejo sudah menantinya bertahun-tahun. Ghozi kemudian memilih Malaysia sebagai tempat dia menetap.
Di sanalah awal mula dia bertemu dengan Faiz Abu Bakar Bafana. Oleh aparat polisi Malaysia, Bafana disebut sebagai aktivis Jamaah Islamiyah. Bafana pula yang dikabarkan banyak mengajari Ghozi perihal gerakan Islam di Asia. Kini, si Bafana masih meringkuk di tahanan Singapura.
Tahun 1996, Ghozi sempat pulang ke Indonesia. Tapi ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama kawan-kawannya, ketimbang berlama-lama di Mejorejo. Dalam masa-masa ini, dia berkenalan dengan Sulaeman asal Medan. Sulaeman ini yang mendanai sekaligus membuka pintu untuk Ghozi masuk ke Moro di Filipina Selatan, pada Desember 1996, dengan menggunakan kapal motor. Di markas MILF di Moro, dia bertemu kembali dengan Habib dan Solahuddin, dua kawan karibnya selama kuliah di Pakistan dulu.
Ghozi masuk golongan orang yang cepat belajar. Sebulan berlatih di belantara hutan Moro, dia sudah mahir menggunakan senjata M-16 dan senjata berat lainnya. Ia juga mulai fasih berbahasa Tagalog, lengkap dengan aksen Kawi-Kawi, khas Filipina Selatan.
Setahun bergabung dengan gerilyawan Moro, Ghozi pulang ke Indonesia pada 1997. Dia menjadi guru mengaji di taman pengajian anak di Magetan, Jawa Timur. Tapi cinta Ghozi kepada Moro agaknya sudah telanjur mendalam. Cuma betah dua tahun di Indonesia, dia kembali bergabung dengan kelompok perlawanan di Filipina Selatan itu pada akhir 1998.
Di Filipina, Ghozi berkenalan dengan seseorang bernama Abu Ali. Polisi setempat menjuluki Abu Ali sebagai agen penjual bahan peledak. Dia juga membuka rekening di Bank Nasional Filipina. Aparat intelijen menyebutkan, melalui rekening inilah Faiz Abu Bakar Bafana memasok duit dari Malaysia untuk Ghozi.
Dua tahun lewat, Ghozi pulang ke Indonesia pada awal tahun 2000. Dia membuat paspor di Kantor Imigrasi Solo, Jawa Tengah, dengan nama Rony Asad bin Ahmad. Dia lantas meluncur ke Johor, Malaysia, bermodalkan identitas baru ini. Di negeri jiran itu, dia bekerja sebagai mandor di perusahaan Bafana. Orang tuanya amat terkejut saat dia pulang ke Mejorejo pada bulan September tahun itu juga: kali ini, Ghozi datang bersama Zaenab, istri yang dinikahinya di Malaysia.
Cuma empat bulan Ghozi betah berada di kampung. Dia lalu berangkat lagi ke Filipina. Di sana, kata polisi, dia membeli 60 kilogram bahan peledak. Belakangan diketahui, bahan peledak itu yang meluluh-lantakkan stasiun kereta api di Metro Manila pada 30 Desember 2000. Menurut aparat Filipina, aksi peledakan itu dilakukan kelompok pemberontak dengan melibatkan warga negara Indonesia Fathur Rohman al-Ghozi sebagai koordinator peledakan.
Sejak saat itulah nama lelaki asal Jawa Timur ini mulai menghiasi media massa, baik di Manila maupun media internasional. Tapi Ghozi tak kurang cerdik. Secepat kilat ia mengurus paspor Filipina dengan nama baru: Randy Adam Alih. Dengan paspor itulah ia leluasa masuk ke Johor, Malaysia, menemui Faiz Bafana. Setelah itu ia sempat beberapa kali mondar-mandir Jakarta-Johor.
Bulan Juni 2001 dia mengurus paspor istrinya di Kantor Imigrasi Solo, dengan mengganti namanya menjadi Zeila Mubin. Bersama istrinya ia berangkat ke Moro melalui Nunukan, Kalimantan Timur. Di Filipina, Ghozi membuat paspor baru lagi plus nama baru, Sammy Sali Jali. Jadi, saat itu ia memiliki dua paspor. Satunya atas nama Sammy dan satunya lagi atas nama Randy Adam Alih. Menurut polisi, Al-Ghozi memiliki sampai lima paspor.
Nah, dengan Randy itu ia terbang ke Malaysia menemui Bafana dan meminta uang US$ 18 ribu (sekitar Rp 153 juta). Dia cuma sebentar di Johor. Saat kembali ke Filipina, Ghozi menggunakan paspor atas nama Sammy. Saat itu, aparat kepolisian Filipina sudah menguping adanya target ledakan yang dipersiapkan oleh kelompok pemberontak Islam Moro. Itu sebabnya mereka mengawasi sejumlah jalur keluar-masuk negeri itu ekstra-ketat.
Ghozi paham betul gelagat tersebut. Karena itu, saat berangkat lagi ke Malaysia pada 15 Januari 2002, dia memutar dulu ke Thailand baru menyelinap ke Johor, Malaysia. Tapi kali ini ia nahas. Saat berangkat ke bandara Filipina, dia dibekuk aparat antiteroris. Berita penangkapan itu melambungkan nama Fathur Rohman al-Ghozi ke peta dunia. Pengadilan Filipina menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara untuknya. Dia mendekam di balik jeruji besi, Camp Crame, penjara dengan penjagaan superketat. Banyak orang menduga, masa muda Ghozi bakal habis di penjara.
Faktanya? Tidak. Ghozi tiba-tiba menghilang secara misterius dari penjara itu, pada 17 Juli lalu, dengan sempurna: tanpa jejak. Juga luput dari para penjaga yang bersiaga. Di mata polisi, Al-Ghozi kabur dari penjara. Tapi, di mata Rokhanah, ibundanya yang nun di pelosok Mejorejo, Jawa Timur, Al-Ghozi telah "Lolos dari maut atas pertolongan Allah".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini