Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Trump, Populisme, dan Politik Luar Negeri Kita

14 November 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Philips Vermonte*

Hasil pemilihan umum Presiden Amerika Serikat telah diketahui dunia. Reaksi awal sebagaimana terbaca dalam ragam media memperlihatkan kekhawatiran terhadap masa depan politik internasional dan hubungan bilateral antarnegara dengan Amerika Serikat, tidak terkecuali Indonesia. Pemilu Amerika Serikat tentu saja penting bagi dunia karena implikasi yang mungkin akan muncul dari perubahan kebijakan global dengan terpilihnya presiden baru itu.

Donald Trump adalah figur kontroversial karena pernyataan-pernyataannya selama masa kampanye yang bernada keras pada kelompok minoritas di Amerika, termasuk kelompok Hispanik dan muslim. Di samping itu, pernyataannya mengenai beberapa aspek dalam hubungannya dengan isu internasional juga menimbulkan kekhawatiran di berbagai ibu kota dunia, termasuk ucapannya mengenai janjinya untuk mengkaji ulang sistem aliansi Amerika Serikat dengan sekutu-sekutunya, termasuk NATO, yang menurut dia tidak lagi terlalu relevan, juga Jepang, yang sudah berada lama di bawah payung garansi keamanan dari Amerika.

Pada isu lain, pernyataannya menuai kritik dari luar negeri, semisal rencana membangun tembok pembatas di perbatasan Amerika Serikat dan Meksiko. Bukan hanya itu, di masa kampanye Donald Trump juga menjanjikan akan mengkaji ulang semua komitmen perdagangan internasional Amerika, karena menurut dia komitmen perdagangan bebas yang sebetulnya diinisiasi Amerika Serikat sekitar 20 tahun lalu adalah pangkal dari kesulitan ekonomi Amerika. Karena diambil alih/dilakukan di negara lain, pekerjaan di dalam negeri menghilang.

Donald Trump bertarung dalam pemilihan presiden 2016 ini di atas platform "Making America Great Again". Pernyataan-pernyataan kontroversialnya memiliki benang merah kerangka populisme yang membangkitkan perasaan "we-feeling" warga Amerika Serikat yang diterpa ketidakpastian ekonomi sejak 2008. Tidak hanya di Amerika Serikat, gelombang populisme sedang naik di berbagai negara di dunia, pemimpin-pemimpin politik dengan platform politik populis muncul di beberapa tempat. Pada derajat tertentu, Presiden Joko Widodo dan penantangnya dalam Pemilu 2014, Prabowo Subianto, adalah pemimpin dengan platform populis, walaupun Jokowi lebih moderat dibandingkan dengan platform politik penantangnya itu. Di Filipina, Presiden Rodrigo Duterte juga adalah pemimpin dengan platform populis.

Gelombang pengungsi dari Timur Tengah, situasi ekonomi yang tidak menguntungkan, dan kegagalan para politikus moderat menyelesaikan masalah juga menguatkan kehadiran politikus-politikus populis yang mungkin akan berkuasa dan mewarnai politik di Eropa. Termasuk misalnya Marine Le Pen dengan Partai Front Nasionalnya di Prancis yang menjadi populer kembali di tengah tingginya angka pengangguran di Prancis saat ini, sekitar 10 persen, yang merupakan kedua tertinggi di antara negara G-7, dan sentimen negatif tentang Uni Eropa serta perdagangan bebas pada umumnya. Di Hungaria, Austria, dan Yunani, kita juga melihat fenomena yang sama. Pemimpin dan partai populis berkuasa dan/atau menguasai oposisi.

Kaum populis ini memiliki pandangan yang sama, yaitu cenderung inward-looking, proteksionistis, dan di beberapa tempat cenderung menjadi xenofobia.

Dalam hal Donald Trump, Michael Kazin menulis untuk jurnal Foreign Affairs (November/Desember 2016) berjudul "Trump and American Populism: Old Whine, New Bottles". Pilihan judul yang menarik karena yang dimaksud bukan wine atau anggur, melainkan whine atau gerutuan. Bahwa Amerika Serikat telah lama menyaksikan munculnya figur-figur seperti Trump mewarnai politik Amerika, ketika publik tidak lagi mempercayai politikus dan partai politik yang mereka anggap sudah tidak mewakili kepentingan publik tapi hanya kepentingan segelintir elite.

Terpilihnya Trump sejatinya memperlihatkan "pemberontakan" pemilih Partai Republik terhadap elite-elite partai Republik karena Trump bukanlah politikus Republiken yang mapan. Hillary Clinton bahkan lebih problematik karena ia adalah lingkaran dalam political establishment di Amerika, sejak masa Bill Clinton menjadi Gubernur Arkansas dan dua periode kepresidenan Bill Clinton. Selanjutnya, Hillary Clinton pun memiliki karier politik dari pemilihan pendahuluan Partai Demokrat tahun 2007-2008 melawan Barack Obama, menjadi menteri luar negeri di periode pertama kepemimpinan Obama, sampai senator yang sukses di Negara Bagian New York.

Terpilihnya Presiden Jokowi pada 2014 di Indonesia dan Presiden Duterte di Filipina juga merupakan "pemberontakan" pemilih terhadap dominasi elite/oligarki di kedua negara.

Populisme, baik di spektrum politik kiri maupun kanan, memiliki wajah yang sama dalam hal bahwa orientasi politik domestik akan menempati prioritas melebihi orientasi politik luar negeri.

Dalam hal perubahan kepemimpinan di sebuah negara, politik luar negeri pada umumnya lebih sulit untuk berubah dibandingkan dengan politik domestik. Sebab, politik luar negeri terkait dengan perjanjian dengan negara lain, konvensi atau pakta perdagangan, ataupun pakta pertahanan. Maka akan lebih banyak terlihat kontinuitas daripada perubahan dalam politik luar negeri Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Trump. Walaupun demikian, ketidakpastian toh mewarnai reaksi dunia terhadap politik luar negeri Amerika Serikat.

Paling tidak ada dua isu utama yang membawa ketidakpastian itu sejauh ini. Pertama, karakter hubungan antara Amerika Serikat dan Cina. Karakter hubungan kedua negara akan mempengaruhi tanggapan negara-negara sekutu dan non-sekutu Amerika Serikat terhadap Cina, yang semakin tampil sebagai calon negara adikuasa.

Sebagai misal, nasib Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), sebuah perjanjian ekonomi beberapa negara di kawasan Asia-Pasifik, yang dianggap sebagai desain Amerika untuk mengimbangi pengaruh ekonomi Cina. Beberapa petinggi Partai Republik telah menyatakan dengan keras bahwa TPP tidak akan diratifikasi oleh Kongres Amerika Serikat. Hal ini menimbulkan ketidakpastian di kalangan negara-negara anggota TPP, termasuk Jepang, Vietnam, dan Malaysia.

Kedua, pertanyaan mengenai bagaimana Amerika Serikat menempatkan Asia dan Asia Tenggara dalam radar strategisnya. Presiden Barack Obama mencanangkan "Pivot to Asia", yang menempatkan Asia sebagai bagian penting dari usaha Amerika Serikat mengimbangi pengaruh Cina di kawasan. Toh, selama masa kepemimpinan Barack Obama, Amerika Serikat lebih banyak disibukkan oleh kawasan lain, terutama Timur Tengah dan problem domestik Amerika Serikat sendiri yang rumit. Di samping itu, tampaknya Amerika menaruh perhatian penting pada Asia Tenggara lebih pada konflik Laut Cina Selatan dibandingkan dengan Asia Tenggara sebagai sebuah kawasan utuh. Dengan demikian, kepastian mengenai kebijakan Amerika terhadap kawasan Asia Tenggara masih diwarnai ketidakpastian.

Di sisi lain, menyikapi munculnya Cina sebagai calon adikuasa baru penting untuk disikapi secara hati-hati. Walaupun Cina hari ini menjadi mesin pertumbuhan ekonomi bagi dunia di tengah lesunya perekonomian global, pertanyaan mendasar yang belum dibuktikan jawabannya secara pasti adalah apakah Cina akan menjadi superpower yang baik atau agresif? Sejauh ini Cina menampilkan wajah ambigu. Di satu sisi menampakkan wajah baik dengan menggunakan development tools, semisal investasi dan bantuan pembangunan infrastruktur yang masif di banyak negara Asia Tenggara. Di sisi lain, perilaku asertif terkait dengan reklamasi di pulau-pulau yang disengketakan di Laut Cina Selatan. Dan ini mengubah status quo terkait dengan batas-batas teritorial di kawasan yang sedang dalam sengketa menimbulkan keraguan terhadap intensi baik dari Cina.

Dengan situasi strategis dua negara adikuasa ini yang tidak pasti, Indonesia harus mengandalkan kemampuan dan pilihan diri sendiri. Indonesia harus aktif memutuskan opsi-opsi yang menguntungkan kepentingan nasional dan kembali menampilkan kepemimpinan yang solid di kawasan Asia Tenggara. Karena dua negara adikuasa, Amerika dan Cina, yang dalam politik internasional diharapkan menjadi penjamin keamanan, agaknya malah akan menjadi sumber ketidakpastian untuk beberapa tahun yang akan datang.

*) Direktur Eksekutif CSIS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus