Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Petualang Riyanni Djangkaru mau tak mau harus mengepel seluruh lantai rumahnya sebagai hukuman, Rabu lalu. Penyebabnya satu. Paket makanan kucing yang ia pesan datang ke rumah dengan "bonus" satu kantong plastik ukuran jumbo. "Ada denda yang menyebalkan di rumah kami, mulai dari harus mentraktir es krim sampai mengepel satu rumah," kata dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Denda ini diberlakukan demi menjaga komitmen menghasilkan nol limbah plastik dalam kehidupan sehari-hari. "Kami memelihara dengan cara membiasakan melihat di sekitar lingkungan terdekat, saling mengingatkan, memupuk ‘perasaan bersalah’ kalau terpaksa melanggar komitmen," kata dia. Menurut dia, hal-hal tersebut diperlukan karena menjaga komitmen adalah tantangan terbesar dalam melaksanakan misi hidup tanpa plastik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mengawali langkah untuk melepas ketergantungan pada plastik dengan memetakan limbah plastik apa yang paling banyak dihasilkan. "Paling banyak adalah kantong plastik, gelas dan botol plastik air minum kemasan, dan penggunaan sedotan plastik ketika sedang minum di luar rumah," kata dia.
Berawal dari pemetaan tersebut, ia mulai melakukan perubahan. Misalnya, mengganti kantong plastik dengan tas belanja yang bisa dipakai berulang kali. Jika lupa membawa tas khusus belanja, dia memaksakan diri untuk tetap membeli tas belanja non-plastik. "Biar kapok," kata dia.
Untuk menyiasati penggunaan sedotan plastik, dia selalu membawa sedotan bambu atau kaca di dalam tas sehingga bisa digunakan kapan saja ketika membutuhkan. Riyanni juga selalu mengisi tas pannier di sepedanya dengan tas belanja, sedotan bambu atau kaca, serta botol minum. "Kapok soalnya kalau ketinggalan, harus beli lagi," kata dia.
Dia juga membiasakan diri membawa tumbler ketika sedang berada di luar rumah dan memanfaatkan botol bekas kaca sirup untuk mencegah pembelian air minum dalam kemasan. "Kalau sedang ada acara di rumah, keluar deh semua koleksi gelas dan teko," kata dia. Riyanni tak didera perasaan khawatir soal pencemaran dari sabun. Dalam hal cuci-mencuci, dia sudah beralih ke sabun yang lebih ramah lingkungan.
Sekali waktu ia melanggar komitmen dengan membawa pulang kantong plastik. Ketika hal tersebut terjadi, Riyanni akan terus menggunakannya hingga kantong tersebut betul-betul tidak layak digunakan lagi. Aktivitas-aktivitas menghindari penggunaan kantong plastik, sedotan plastik, dan air minum dalam kemasan ini dimulai secara bersamaan dan konsisten sehingga menjadi sebuah kebiasaan.
Orang-orang seperti Riyanni tersebut kini bermunculan. Beberapa waktu lalu, misalnya, dua menteri terang-terangan menabuh genderang perang terhadap penggunaan plastik. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menolak konsumsi air mineral dalam kemasan botol plastik di lingkungan kantornya. Menteri Keuangan Sri Mulyani berencana memberikan insentif kepada daerah yang mengurangi sampah plastik. Ada pula komunitas dan kafe yang membebaskan diri dari penggunaan plastik.
Riyanni mengakui memang tak bisa menghindari penggunaan plastik untuk menyingkirkan kotoran dua kucing yang dipeliharanya. Untuk menyiasatinya, ia menggunakan kantong plastik yang dibuat dari singkong yang lebih mudah terurai. Hal lain yang sulit dihindari adalah plastik yang datang dari bungkus paket. "Kalau sudah begitu, ya, bungkusnya dibuka hati-hati supaya tetap rapi sehingga bisa digunakan kembali," kata dia.
Selain Riyanni, ada Kidung A. Marsella, seorang pegiat isu parenting, yang berhasil menerapkan plastic-free life dalam rumah tangganya. Sudah tiga tahun terakhir ia berjuang untuk lepas dari ketergantungan pada plastik, tepatnya sejak anaknya lahir. Aktivitas menyusui Kemilau, anaknya, membuatnya sadar bahwa ia tak perlu mengeluarkan uang untuk membeli susu formula yang akhirnya memproduksi sampah. Dia pun mengurangi konsumsi popok sekali pakai untuk Kemilau.
Sejak itu pula, perempuan berusia 28 tahun ini menerapkan food preparation. Dia rela repot membawa bertumpuk-tumpuk wadah ketika berbelanja sayuran di pasar. Wadah-wadah tersebut ada yang merupakan bekas tempat makanan. Satu jenis resep sayur dimasukkan ke dalam satu wadah sekaligus dengan bumbunya, dan disesuaikan dengan ukuran porsi yang dibutuhkan keluarga.
Lalu wadah lainnya akan diisi dengan resep sayuran yang lain. Semua sayur yang masuk ke wadah sudah dalam kondisi terpotong-potong. Hal yang sama ia terapkan pula untuk lauk, seperti ayam, daging, dan tempe. Semua disiapkan untuk kebutuhan selama sepekan dengan total biaya sekitar Rp 250 ribu. "Saat akan masak, tidak perlu lagi memotong-motong, menyiangi. Tidak capek dan tidak meninggalkan sampah," kata dia.
Saat bepergian, Kidung menerapkan cara serupa. Ketika bepergian lewat jalur darat, ia akan memenuhi bagasi mobilnya dengan galon air mineral, lalu menyiapkan tiga botol minum, yakni untuk dirinya sendiri, suami, dan anaknya. "Kami terbiasa minum air putih. Enggak ngeteh, ngopi. Jadi, gula itu bisa tahan setahun dan irit sampah plastik," kata Kidung.
Ia juga menyiapkan wadah makanan, penanak nasi (magic com), dan beras merah. Untuk menanak, di tengah perjalanan mereka akan mampir di pompa bensin untuk menyalakan penanak nasi. Saat singgah di warung, mereka cukup membeli lauknya saja, tanpa perlu dibungkus apa pun. Lauk itu cukup diletakkan di dalam wadah yang sudah berisi nasi merah. "Itu bisa jadi alasan kalau pemilik warung tanya, karena hampir tidak ada warung yang sediakan nasi merah," kata dia.
Minuman yang dipesan pun tak menggunakan sedotan, agar tidak meninggalkan jejak sampah plastik. Saat menginap di hotel, dia menggunakan wadah makanan yang dibawa untuk mengambil lauk yang disediakan, lalu dipanasi dengan penanak nasi yang dibawa sehingga bisa dikonsumsi kembali. "Dengan begitu, saya terhindar dari nyampah selama di perjalanan dan lebih irit," kata dia.
Wadah makanan, magic com, beras merah, dan tumbler jadi barang bawaan wajib meski bepergian dengan pesawat. Bagi influencer yang dikenal dengan sebutan Mamamiyo ini, membawa peralatan tersebut tak merepotkan karena mereka memiliki jatah bagasi masing-masing sehingga bisa membawa barang dalam jumlah banyak. "Gara-gara magic com dan beras itu, sering ditanya petugas saat pemeriksaan di bandara," kata Kidung, yang bersyukur bisa membuat petugas mengerti.
Untuk bekal anak, Kidung menggunakan wadah makanan dan menyiapkannya dari hasil masakan sendiri. "Mbok’e jadi kreatif bikin bekal. Anak juga menyadari the good food is the real food, bukan sekadar snack rasa rumput laut," kata dia.
Di rumahnya, ia jarang menggunakan trash bag karena sangat jarang menghasilkan sampah. Ia terbiasa mengolah bonggol brokoli, kulit wortel, dan kulit paprika menjadi campuran kaldu. Ampasnya bisa menjadi pupuk. Tapi ia tak bisa menghindari plastik dari kiriman paket. Agar tak terbuang sia-sia, dia membuka paket dengan hati-hati supaya plastik tersebut dapat dimanfaatkan lagi.
Dengan menerapkan gaya hidup ini, Kidung mengatakan sudah merasakan keuntungan finansial. Salah satunya, dia bisa menekan angka pengeluaran belanja hingga 60 persen. "Bayangkan, lima tahun menikah, kami tak ada cicilan rumah, mobil, motor. Bahkan bisa traveling," kata Kidung.
Kidung juga cermat memilih sekolah yang sesuai dengan pilihan gaya hidup untuk si buah hati. Di Yogyakarta, ada playgroup Milas yang dikenal sebagai playgroup vegan dan nol sampah. Kepala playgroup Milas, Purie Kurnia, 35 tahun, mengatakan ada aturan tak tertulis untuk mengurangi sampah di dalam lingkungan Milas, termasuk sampah plastik.
Di sini anak-anak wajib membawa bekal yang tidak mengandung pengawet, pewarna buatan, dan MSG. Bekal wajib dikemas dalam wadah, bukan kantong plastik atau styrofoam. Tak masalah menggunakan wadah dan botol berbahan plastik, asalkan memenuhi ketentuan penggunaannya bisa berulang, bukan sekali pakai. "Kalau terpaksa beli makanan, ya tidak beli dalam plastik, tapi bawa wadah ke warung," kata Purie.
Proses mengedukasi orang tua untuk membiasakan nol sampah, kata Purie, butuh proses. Dia mencontohkan, ketika anak pertama kali masuk, ada kemungkinan akan mengompol. Karena itu, orang tua wajib membawakan baju ganti. "Biasanya pakai kantong plastik yang sekali buang, itu bertentangan dengan prinsip Milas. Akhirnya berpikir untuk mencari alternatifnya, yaitu tas tahan air yang bisa dipakai dan dicuci," kata dia.
Sesi edukasi kepada orang tua juga digelar 7-8 kali dalam setahun dengan berbagai tema. Seperti berbagi informasi hasil kunjungan tim Milas ke tempat pembuangan akhir (TPA) di Piyungan, Bantul. Orang tua diberi informasi mengenai penambahan lahan saban tahunnya karena sampah yang tak terbendung.
Orang tua diajak untuk bijak mengkonsumsi apa pun. "Durasi makan mungkin cuma lima menit, tapi bisa jadi menambah jumlah sampah," kata dia. Akibatnya, tak semua sampah berakhir di TPA. Terbuka kemungkinan sampah turun ke sungai dan mencemari air dan tanah. "Kami meletakkan pikiran itu agar orang tua tergugah," kata dia.
Milas mengedukasi anak-anak untuk mengurangi sampah dengan menyediakan dua keranjang sampah di ruang kelas, untuk kertas dan tisu. Menurut Purie, sampah tisu perlahan berkurang dengan disediakannya lap kain di kelas. Ketika meja kotor, anak otomatis membersihkannya dengan lap kain, bukan tisu. "Tisu hanya untuk kondisi darurat, seperti ingusan. Tapi kalau bisa dibasuh air, anak memilih itu," kata dia.
Penerapan nol sampah ini menemui tantangannya justru ketika anak tak lagi bersekolah di Milas. Beranjak SD, mayoritas anak dihadapkan pada pilihan jajanan berplastik dan aturan bekal makanan yang tak ketat. Sejumlah orang tua sempat meminta Milas membuka sekolah lanjutan untuk menjaga kelangsungan nilai tersebut.
Purie menolak. Menurut dia, itu mengisyaratkan kegagalan Milas karena menyerahkan penjagaan nilai hanya kepada institusi sekolah. "Saatnya orang tua yang berjuang menjaga nilai itu, berpikir kembali sebelum mengkonsumsi untuk mewujudkan nol sampah," kata dia.
Sampah plastik juga jadi masalah utama dalam industri makanan-minuman. Ketua Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia, Christine Halim, pernah mengatakan 80 persen industri makanan-minuman menggunakan kemasan plastik. Karena itu, terkesan mustahil mengharapkan industri ini meminimalkan penggunaan plastik.
Sarah Diana, 33 tahun, menjawab tantangan tersebut dengan irit plastik di kafenya, Roti Eneng. Kafe yang terletak di Gandaria Tengah ini sudah menggunakan sedotan yang terbuat dari metal untuk menggantikan sedotan plastik. Cup plastik untuk menyajikan minuman juga sudah diganti dengan botol dari kaca yang dapat digunakan berulang-ulang.
Untuk kebutuhan take away, ada paper bag cokelat dengan desain unik khas Roti Eneng. "Saya juga akan mengganti kantong plastik biasa dengan kantong dari singkong, dalam waktu dekat, karena biar bagaimanapun kantong itu akan memudahkan pengemudi ojek online mengantarkan makanan pesanan langganan kami," kata dia.
Menurut Diana, untuk menerapkan kebiasaan hidup nol plastik diperlukan komitmen yang kuat. Sebab, modal yang dikeluarkan tak dapat dibilang sedikit. Misalnya, harga satu sedotan metal berkali lipat lebih mahal daripada satu sedotan plastik. "Tapi kalau kita melihat jangka panjang, ini justru sangat hemat karena dapat digunakan berulang-ulang," kata dia.
Untuk mengajak sebanyak-banyaknya orang tertarik melakukan gaya hidup nol sampah, Diana kerap mengadakan giveaway. Yang terbaru, dia membuat kontes di Instagram berupa sebanyak-banyaknya mengunggah foto menggunakan sedotan metal dan membawa wadah sendiri untuk membeli sandwich ketika jajan di Roti Eneng. Yang terpilih akan mendapat hadiah berupa satu set sendok-garpu yang dibuat dari gandum.
Diana mengatakan butuh proses untuk mengedukasi pelanggan mengenai pilihan nol sampah Roti Eneng. "Masih ada pelanggan yang meminta plastik, padahal di pintu keluar plastiknya langsung dibuang karena langsung dimakan, ada juga yang minta sedotan plastik," kata dia. Namun, menurut Diana, perlahan-lahan ada kemajuan. Biasanya ia harus berbelanja sedotan plastik seminggu sekali, sekarang sudah berbulan-bulan ia tak berbelanja item tersebut.
Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti memberlakukan aturan khusus di lingkungan kantor yang ia pimpin. Dia melarang aneka rupa kemasan plastik dalam setiap acara di kantornya. "Semua saya larang. Yang membawa air minum dalam kemasan plastik dikenai denda," kata dia.
Ada pula Menteri Keuangan Sri Mulyani yang akan memberikan insentif bagi pemerintah daerah yang mampu mengurangi sampah plastik. "Ini saya cek anggaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk masalah sampah plastik tidak besar, tidak cukup kalau tak didukung dengan insentif yang lain," kata dia dalam sebuah diskusi publik mengenai sampah plastik di Bali. PITO AGUSTIN RUDIANA | DINI PRAMITA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo