Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Beddu Amang: "Mereka Mengaku Ke percayaan Gus Dur"

7 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAJAH Beddu Amang tak sesuram sebelumnya. Menjelang palu hakim diketuk bulan depan, terdakwa kasus korupsi tukar guling Bulog-Goro ini mengikuti persidangan dengan rileks. Kebebasan seperti tengah menunggu sang mantan Kepala Bulog (1995-1998). Tanda-tandanya memang sudah di depan mata. Tommy Soeharto, aktor utama perkara ini, baru saja di-bebaskan Mahkamah Agung. Ditanya bagaimana perasaannya usai duduk di kursi terdakwa, Kamis pekan lalu, ia sudah bisa ringan berkomentar, "Malah enak. Kalau masih bisa main golf, masih bisa makan enak, masih bisa kumpul sama istri, nikmatlah dunia ini," kata lelaki kelahiran Makassar 64 tahun silam ini. Beddu selalu bersikukuh: tak sekuku pun ia berdosa. Kepada Karaniya Dharmasaputra dari TEMPO, ia memaparkan berbagai dalil pembelaan dirinya, termasuk ihwal pemerasan bernilai miliaran rupiah oleh sebuah kawanan yang membawa-bawa nama mantan presiden Abdurrahman Wahid. Berikut petikannya.
Betulkah Anda mengadukan Raden Dodi Sumadi dan kawan-kawannya ke polisi karena telah memeras Anda Rp 12,5 miliar? Benar, tapi jumlahnya tidak sebesar itu. Paling cuma sepersepuluhnya. Tertera di berita acara pemeriksaan polisi, Anda sendiri yang menyatakan jumlahnya Rp 12,5 miliar. Tidak..., tidak sebesar itu. Bagaimana Dodi memeras Anda? Janji-janji dia pada saya ternyata tidak benar. Dia bilang dia dekat dengan Jaksa Agung Marzuki Darusman, setelah saya cek tidak benar. Apa yang dijanjikannya? Dia bilang bisa membantu supaya perkara saya ini tidak dipersulit. Supaya saya bisa selamat. Kira-kira begitu. Maksudnya, Anda dijanjikan akan memperoleh surat perintah penghentian penyidikan? Yah, memang bisa diartikan ke sana. Dodi membawa-bawa nama Presiden Abdurrahman Wahid? Secara langsung tidak. Tapi dia memang membawa orang-orang yang dikenal dekat dengan Gus Dur. Dia juga membawa-bawa nama sejumlah yayasan yang dia bilang dibentuknya bersama Gus Dur. Akta yayasan itu bahkan pernah dia perlihatkan kepada saya. Dia juga mengaku orang kepercayaan Gus Dur. Sejauh mana keterlibatan Noer Iskandar? Dodi mengaku teman Noer Iskandar. Itu saja. Noer Iskandar, bersama Dodi, kan berkali-kali bertemu Anda dalam urusan ini. Oh iya, tapi sebatas mendoakan supaya perkara saya bisa selesai dengan baik. Dia bilang punya kenalan banyak pejabat tinggi yang bisa membantu penyelesaian perkara saya. Saya bertemu dua tiga kali. Di rumah Noer Iskandar pernah dua kali. Kiai Noer sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang perkara ini. Dia kan senang-senang saja kalau saya datang untuk salat di pesantrennya. Mayjen Kivlan Zen juga pernah diajak Dodi menemui Anda? Cuma sekali kami bertemu. Dodi juga merasa berteman dengan Kivlan. Dia itu lagaknya begitu, seolah-olah semua orang adalah temannya. Kivlan, Tyasno (Jenderal Tyasno Sudarto, mantan Kepala Staf Angkatan Darat), Bimantoro (Kepala Polri), semua orang dia sebut. Tapi kan itu omongan dia saja. Saya juga tidak mengecek apa benar atau tidak. Apa yang disampaikan Kivlan ke Anda? Tidak ada. Sedikit pun Kivlan tidak menyinggung perkara saya. Kita malah ngomong hal-hal lain. Heran, saya. Baru pertama kali itu saya ketemu Kivlan, kalau namanya memang sudah sering saya dengar. Kita cuma ngobrol-ngobrol. Ternyata banyak temannya adalah teman saya juga. Saya menerima kedatangannya sebagai teman. Tidak lebih. Bagaimana Anda bisa begitu saja mempercayai omongan Dodi dan mengeluarkan sekian miliar? Di situ kelebihan Dodi. Saya percaya karena dia bisa membawa orang-orang besar ketemu saya. Secara psikologis itu kan berpengaruh. Anda pernah diajak Dodi bertemu Presiden Abdurrahman untuk membicarakan perkara ini? Tidak pernah. Saya cuma nonton Gus Dur di televisi. Melalui telepon atau jalur lain? Tidak pernah juga. Sekian miliar yang Anda bayarkan ke Dodi itu uang Anda pribadi? Dari teman-teman saya yang mau membantu. Bukan dari uang saya pribadi. Sebagai mantan pejabat yang dikenal sangat kaya, jumlah itu kan mestinya bukan soal buat Anda. Kaya orang atau kaya monyet? Ha-ha-ha.... Selain Anda, kabarnya masih banyak yang lain yang menjadi korban kawanan ini. Wah, kalau itu saya tidak tahu. Soal perkara Goro, kejaksaan mendakwa Anda telah merugikan negara Rp 94 miliar lebih. Menurut saya, sedari awal ini murni perkara perdata, bukan pidana. Tapi lalu dipaksakan jadi pidana. Kesaksian ahli Profesor Loebby Loqman juga menyatakan ini perkara perdata, karena menyangkut perjanjian antara dua pihak. Sejak awal tidak ada yang bisa membuktikan Bulog dirugikan. Jadi, kalau tidak ada kerugian negara, di mana kasus korupsinya? Hasil audit akuntan publik independen juga melaporkan ke depan sidang bahwa Bulog tidak dirugikan, bahkan diuntungkan Rp 10 miliar lebih. Tapi itu kan hasil perhitungan setelah kasus ini gencar dipersoalkan. Misalnya, ada sejumlah piutang yang lantas dikonversikan menjadi saham Bulog di Goro. Kalau Soeharto tidak jatuh, itu kan tetap jadi beban negara. Lo, hasil audit itu kan mesti dilihat secara keseluruhan, setelah seluruh proses ruilslag tuntas. Tidak bisa, dihitung di tengah-tengah lalu diputuskan ada kerugian negara. Tolong Anda catat, sebelum pemerintahan berganti, pada 11 Juni 1998, saya sudah berkirim surat ke Menteri Keuangan, minta supaya perjanjian ruilslag itu dibatalkan. Sebulan setelah itu, 13 Juli 1998, saya kembali mengirim surat. Soeharto jatuh 21 Mei 1998. Jadi, surat itu Anda kirim tiga minggu setelahnya. Tapi, pada Desember 1997 pun, waktu Soeharto masih berkuasa, ketika Goro tidak bisa membayar, tanah itu sudah langsung kami ambil kembali. Sekarang Bulog untung, coba jual sekarang, harganya bisa dua kali lipat. Tanah yang diserahkan kembali oleh Goro itu kan bukan tanah kuburan atau tanah rawa di ujung langit. Itu tanah yang diperuntukkan pemerintah DKI buat pergudangan. Apakah Anda mau bersusah payah begitu kalau bukan Tommy Soeharto ada di dalamnya? Ruilslag ini bukan saya yang memulai. Sudah sejak April 1994, Menteri Pangan/Kepala Bulog ketika itu, Ibrahim Hasan, bertemu Presiden dan melaporkan rencana ruilslag. Yang menunjuk PT Sekar Artha Sentosa (SAS) milik Tommy, juga Ibrahim, bukan saya. Terungkap di persidangan, Tommy bahkan beberapa kali bertemu Ibrahim untuk membicarakan proyek ini. Tapi Anda yang menandatangani nota kesepahamannya. Ya, itu karena sudah dipersiapkan sebelumnya. Saya teken sehari setelah saya dilantik menggantikan Ibrahim. Saya lapor ke Presiden, Juni 1995. Pak Harto yang bilang supaya jangan pakai PT SAS, karena ini perusahaan realestat, dan supaya dialihkan ke PT Goro Batara Sakti, yang memang ditugaskan membina koperasi. Jadi, itu perintah. MA membebaskan Tommy dengan pertimbangan sebagai komisaris utama ia dinilai tidak berperan aktif. Tapi, dari pen-jelasan Anda, Tommy adalah faktor menentukan. Soal itu jangan tanya saya, dong. Tanya saja ke Mahkamah Agung. Faktanya, Tommy itu sejak September 1996 sudah bukan lagi komisaris Goro. Sedangkan perjanjian tukar guling tanah itu baru 7 Februari 1997. Itu saja faktanya. Bukankah Tommy juga berkali-kali bertemu Anda untuk memuluskan proyek ini? Sampai berkali-kali sih tidak juga. Lagi pula, kapan sih Tommy pernah aktif mengurus perusahaannya? Mengurus perusahaan mungkin memang tidak, tapi kalau aktif mengegolkannya? Sudah saya sampaikan tadi, itu perintah Presiden. Lagipula, kalau Pak Harto semata-mata mementingkan anaknya, kenapa yang ditunjuk bukan PT SAS saja, yang 100 persen dimiliki Tommy. Goro itu kan bukan cuma punya Tommy, tapi juga Ricardo Gelael.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus