Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagaimana evaluasi Anda terhadap kinerja pemerintahan Megawati? Pada mulanya banyak orang memang tidak punya harapan pada Mega. Tapi susunan Kabinet Gotong Royong baik. Sebab, meskipun ada desakan dari berbagai partai, Mega memilih orang-orang yang berpengalaman. Nilai untuk kabinet: plus. Meskipun pilihan Mega atas Jaksa Agung Muhammad Abdul Rachman mungkin kurang tepat, hingga saat ini ia belum melakukan kesalahan, dan juga belum berprestasi. Dalam pidato kenegaraan 16 Agustus lalu, banyak poin-poin yang cukup bagus, misalnya telah menerima status Timor Timur sebagai realitas. Tapi, sayangnya, apa yang disampaikan Mega terlalu umum. Hal itu tidak bermasalah bila memang nanti ada hasil nyata. Sedangkan pada kunjungan ke luar negeri yang baru lalu (ke Amerika Serikat dan Jepang), Mega lebih banyak diam, tidak mengeluarkan banyak komitmen. Dia hanya menyatakan, Indonesia mengutuk kekerasan. Tapi sikap diam itu justru menguntungkan karena Mega tidak terjebak pada janji-janji baru. Memang, kunjungan Mega ke luar negeri hanya disambut netral, tidak antusias ataupun negatif. Dan apabila dibandingkan dengan Sukarno, prestasi kunjungan luar negeri Mega biasa-biasa saja. Tapi sejauh ini belum ada rapor negatif pada pemerintahan Mega. Lalu, apakah pemerintahan Mega bisa berjalan dengan baik dan ia mampu mewujudkan janji-janjinya dalam masa kurang dari tiga tahun? Asalkan tidak ada bencana politik, pemerintahan Mega akan bertahan, bila tidak ada kerusuhan yang besar, pemberontakan, dan jika keadaan di daerah-daerah konflik tidak semakin buruk dan ekonomi kembali collapse. Lalu, bagaimana dengan "bencana politik" yang datang dari Senayan? Sepertinya tidak mungkin. Sebab, PDI-P jelas mendukung, Golkar berkonsentrasi penuh untuk 2004, dan Poros Tengah terpecah-belah. Lagi pula, bila Mega turun, Hamzah Haz yang naik. Pilihan ini lebih tidak diinginkan publik. Bagaimana Anda me-review reformasi, secara garis besar? Meskipun sudah ada perubahan rezim pada 1998, masih ada tokoh-tokoh Orde Baru yang memegang peranan karena sistemnya masih relatif sama. Tapi sebenarnya banyak juga terjadi perubahan. Dulu, pemerintah—terutama karena Soeharto—sangat kuat. Sekarang, pemerintah cenderung lemah. Kekuasaan yang tidak terpusat dan banyaknya partai politik, saya kira, memainkan peranan besar dalam perubahan ini. Apalagi pemerintahan sekarang ini hasil pemilihan umum. Semua ini berbeda sekali dengan ketika zaman Soeharto. Bahkan korupsi yang terjadi sekarang juga ikut terdesentralisasi. Sedangkan pada zaman Soeharto, korupsi dipergunakan untuk memperkuat rezim, yaitu dengan memberi kesempatan bagi orang-orang yang mendukungnya untuk berperan. Pola korupsi sendiri sekarang berbeda. Perubahan-perubahan signifikan apa yang terjadi di TNI? Yang paling penting, tentara sudah membuang konsep dwifungsi. Perwira aktif tidak bisa terlibat di pemerintahan. Memang masih ada beberapa, tapi tidak banyak. Keterwakilan di parlemen juga sudah jauh berkurang dan akan habis sama sekali pada 2008. Bagaimana membuktikan bahwa dwifungsi itu sudah tidak dijalankan? Secara konsep memang sudah dihapuskan. Jadi, sebenarnya yang memberi legitimasi tentara campur tangan ke politik sudah tidak ada, walaupun, selagi sistem teritorial itu masih ada di peringkat lokal, kesempatan militer melakukan campur tangan di bidang politik dan bidang lainnya masih ada. Masih ada gubernur yang tentara, tapi itu diangkat pada zaman Soeharto. Di zaman reformasi, bila ada seorang tentara ikut dalam pemilihan gubernur, dia akan kalah. Dalam pemilihan gubernur di Gorontalo, misalnya, ada calon tentara yang hanya dapat empat suara. Itu membuktikan bahwa masyarakat menolak diperintah tentara. Sikap menolak dari publik juga menjadi salah satu penyebab perubahan peran tentara. Akhirnya, pihak tentara sendiri agak enggan menonjolkan diri. Mereka takut. Semua ini menjawab pertanyaan mengapa TNI tidak bisa mengadakan kudeta. Bila tentara terlalu banyak campur tangan di bidang politik, situasinya tegang lagi. Sebab, mereka sadar bahwa, bila mereka bertindak demikian, mereka akan dihadapi oleh massa. Apabila tentara mengadakan kudeta besok, akan terjadi perlawanan dari rakyat. Pasti terjadi kerusuhan di mana-mana. Dan saya kira tentara sudah tidak bisa lagi mengendalikan keadaan dengan baik. Misalnya, pada kerusuhan Mei 1998, mungkin memang ada perwira tentara yang terlibat. Tapi, ketika kerusuhan itu meluas, tentara (ternyata) tidak bisa mengendalikannya. Dengan menurunnya peran militer dan tidak adanya faktor pengikat, yaitu Soeharto, apakah itu membuat TNI cenderung mudah terpecah? Sulit mengetahuinya, justru karena peran mereka tidak terlalu menonjol seperti di masa Soeharto. Sulit bagi orang luar melihat bahwa perwira ini begini, perwira itu begitu. Memang ada perbedaan pendapat di antara mereka yang mencuat ke permukaan, seperti tentang sistem teritorial. Ada pihak tentara yang mengatakan bahwa sistem teritorial itu masih penting, ada pula yang bilang tidak lagi penting. Ya, perbedaan pendapat seperti itu saja. Saya tidak tahu apakah memang ada faksi-faksi yang bertarung. Di zaman Soeharto, tentara sudah menjadi bagian dari sistem yang digunakan sebagai alat oleh Soeharto. Bila ada apa-apa yang terjadi, Soeharto memerintahkan tentara agar langsung menangkap. Tapi sekarang tentara tidak lagi digunakan sebagai alat dan tentara tidak begitu independen dalam politik. Jadi, benarkah retorika supremasi sipil atas militer telah terjadi sekarang ini? Sampai sekarang, saya kira tentara tidak akan memberontak terhadap pemerintah. Waktu Presiden Abdurrahman Wahid jatuh, banyak orang beranggapan bahwa tentara memainkan peran yang besar dalam penjatuhan Gus Dur. Tapi menurut saya tidak. Memang mereka kurang percaya lagi pada Abdurrahman sehingga tidak bersedia mendukung keinginan Gus Dur ketika dia menyatakan membubarkan parlemen. Tapi bukan tentara yang mengambil inisiatif menjatuhkan Gus Dur. Posisi tentara memang sulit. Bila mereka mendukung Abdurrahman, rakyat akan menuduh bahwa tentara kembali ke politik. Tapi sebenarnya pihak tentara tidak mungkin mendukung Gus Dur pada waktu itu. Jadi, saya kira Megawati tidak perlu berterima kasih pada tentara. Tapi, tentunya masih ada superioritas militer yang belum bisa direformasi. Ya, terutama soal peradilan militer. Anggota militer yang terlibat dalam kasus kejahatan sipil masih diadili di pengadilan militer. Bila ada anggota tentara yang merampok, misalnya, adili langsung saja ke pengadilan sipil, tidak usah menggunakan peraturan baru. Langkah ini sangat penting. Sebab, bila anggota militer diadili di pengadilan militer, itu malah tidak optimal. Secara garis besar, peran TNI dan polisi soal keamanan dalam negeri memang harus jelas. Sebenarnya ada RUU Pertahanan dan Kepolisian yang sedang dibahas di DPR, tapi masih ada beberapa hal yang belum jelas. Tentara memang dipakai untuk menangkal serangan dari luar, dan polisi untuk dalam negeri. Tapi kan masih ada daerah abu-abu, misalnya bagaimana menangani separatisme di Aceh. Apakah kasus Aceh dianggap ancaman dalam negeri saja atau ancaman bagi negara, itu belum jelas. Tapi, benarkah ada perwira-perwira tinggi lama yang masih punya pengaruh besar? Ya, banyak yang menyatakan demikian, tapi buktinya apa? Misalnya, untuk pengadilan ad hoc pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur, juga tidak bisa menghadirkan Wiranto. Masih banyak orang di kalangan militer yang punya pendapat bahwa pemimpin mereka tidak boleh diadili. Lalu, apakah mungkin pengadilan ad hoc menghadirkan perwira tinggi seperti Wiranto? Saya ragu pengadilan ad hoc nanti berjalan mulus. Jadwal pengadilan saja ditunda beberapa kali. Pertama, seharusnya Januari, lalu Februari, sekarang ditunda lagi pada Desember. Lalu, siapa yang akan dijadikan terdakwa, sementara Wiranto jelas tidak? Selain itu, banyak masalah perundang-undangan untuk bisa mengajukan perwira militer ke pengadilan. Belum lagi, pembela para perwira militer bisa dengan mudah menyatakan bahwa pengadilan tersebut tidak seharusnya menghadirkan klien mereka. Yang saya lihat di sini, ada banyak ganjalan. Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda menyatakan bahwa pengadilan ad hoc akan bisa berjalan dengan baik karena hakim-hakimnya profesional.... Bisa berjalan, mungkin saja. Tapi bisa mulus dan berakhir sesuai dengan keinginan, belum tentu. Tentang seringnya polisi bentrok dengan tentara, menurut Anda apa yang menjadi akar persoalannya? Saya pernah bertemu dengan seorang jenderal, dan dia bercerita, mungkin hanya berkelakar. Menurut dia, motivasi anak-anak muda di daerahnya masuk tentara adalah karena ingin berkelahi dengan polisi. Saya lihat pemuda-pemuda yang masuk tentara dan polisi adalah anak-anak yang semula memang suka tawuran. Dan ketika mereka masuk tentara atau polisi, mereka masih suka tawuran. Jadi, bila masyarakat masih belum berubah dengan menjauhi kekerasan, kualitas tentara dan polisi juga tidak akan berubah. Selain itu, gaji tentara dan polisi sangat kurang sehingga mereka mencari pendapatan lain. Ada yang cari pendapatan dengan cara halal, ada juga yang dengan cara haram. Nah, biasanya yang terlibat tawuran itu adalah tentara atau polisi yang menjalankan bisnis haram. Juga sulit bagi perwira muda di daerah, misalnya seorang letnan, mengendalikan anak buahnya. Bagaimana si perwira menegakkan disiplin kalau dia sendiri bergantung pada pasukannya yang kurang berdisiplin? Mungkin si perwira bisa jadi dibenci oleh pasukannya bila menghukum anak buahnya. Jadi, bentrok antarangkatan itu lebih disebabkan oleh faktor manusianya, bukan persaingan kebanggaan antarangkatan? Ada juga ketersinggungan identitas angkatan. Ini kan seperti main bola, pendukung tiap kesebelasan punya identitasnya sendiri dan punya alasan sendiri untuk memulai berkelahi. Jadi, sebenarnya kualitas manusia anggota polisi dan tentara itu yang harus ditingkatkan. Lihat kasus Madiun. Tentara yang melakukan kerusuhan adalah yang akan dikirim ke Aceh. Di Madiun saja bikin rusuh, apalagi bila di Aceh. Yang dikatakan oleh panglimanya, pasukan di Madiun itu stres. Apalagi bila nantinya dikirim ke Aceh, stresnya akan lebih besar lagi. Bagaimana pasukan seperti ini dibebani misi untuk memenangi hati rakyat Aceh, wong mereka sudah dibenci di Madiun? Sepertinya, semakin banyak pasukan yang dikirim ke Aceh, semakin banyak pula masalah yang terjadi di sana. Bagaimana cara memperbaikinya? Ya, sebenarnya lagi-lagi gajinya yang harus ditingkatkan, juga profesionalisme mereka. Dan sekarang tampaknya para pimpinan militer mulai sadar bahwa anak buah mereka tidak berdisiplin. Kan sudah banyak negara maju yang memfasilitasi tentara dan polisi Indonesia untuk latihan bersama meningkatkan profesionalisme mereka? Ya, meskipun dilatih di mana pun, bila gaji mereka tidak cukup, tetap saja akan terbuka peluang mereka melakukan hal-hal yang menyimpang. Disiplin mereka pasti kurang, apalagi mereka bersenjata. Pemerintahan Mega kan memprioritaskan kesatuan wilayah RI, sementara ancaman separatisme di Aceh tidak juga mereda. Artinya, Mega kan harus menyandarkan pencapaian tujuannya ke tentara yang tidak berdisiplin dan profesional.... Sebenarnya masih ada jalur perundingan. Tapi pemerintah sulit sekali mengajak GAM berunding hingga tuntas bila TNI tidak merelakan anggotanya yang melakukan pelanggaran diadili. Maksudnya, mengadili tentara dan polisi serta tentara GAM? Masalahnya memang selalu demikian, ada pendapat bahwa GAM juga harus diadili. Tapi, intinya, bila pemerintah Indonesia ingin memenangi hati rakyat Aceh, tentara Indonesia yang melanggar yang harus diadili dahulu. Mengadili anggota GAM itu urusan lain. Bagaimana dengan penerapan Undang-Undang Nangroe Aceh Darussalam untuk otonomi Aceh? Tetap saja, bila anggota tentara yang melanggar hak asasi manusia tidak diadili, pemerintah akan kesulitan menarik simpati rakyat Aceh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo