Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Belum Susut Beban Logistik

Empat paket kebijakan diluncurkan untuk mengatasi hambatan di sektor logistik. Keluhan tetap bermunculan.

11 Juli 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI Sugiandhi terpaksa merogoh kocek minimal dua kali setiap kali mengirim barang lewat udara. Gara-garanya, pemilik PT Rush Cargo Nusantara ini harus membayar biaya bongkar-muat ketika melewati pemeriksaan barang di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.

Semula, Hari hanya perlu membayar sekali ongkos bongkar-muat karena kargonya langsung masuk ke pemeriksaan maskapai penerbangan di kawasan steril (Lini 1). Namun, sejak aturan regulated agent berlaku, ada tambahan pemeriksaan oleh agen inspeksi di kawasan belum steril (Lini 2). Rampung di Lini 2, barang-barangnya diangkut menuju kawasan Lini 1 untuk diperiksa ulang.

"Ongkos kami naik lebih dari dua kali lipat. Itu untuk tarif resminya, belum lagi harus memberi tip agar barang cepat diproses," kata Hari kepada Tempo, Rabu dua pekan lalu. Sekali bongkar, Hari dikenai biaya Rp 125-250 per kilogram. Ia mengirim barang 1-2 ton per hari.

Pelonggaran aturan tentang regulated agent tak masuk daftar 12 paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah Joko Widodo. Padahal, menurut Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia Zaldy Ilham Masita, usul menderegulasi aturan tentang agen inspeksi sudah disampaikan. Alasannya, kebijakan ini bisa tepat sasaran untuk mengatasi persoalan biaya logistik tinggi di sektor ini. "Kami berharap persoalan biaya logistik yang besar karena masih ada pungutan liar seperti regulated agent di bandara dimasukkan," kata Zaldy saat dihubungi pada Selasa dua pekan lalu.

Sejak September tahun lalu sampai Maret, pemerintah sudah menerbitkan selusin paket kebijakan. Tujuan utamanya menggairahkan kembali sisi permintaan. Sejumlah deregulasi dilakukan dengan mempermudah perizinan, mendorong ekspor, dan membuka peluang investasi baru. Dari 12 paket ekonomi itu, setidaknya ada empat paket yang berisi sejumlah aturan yang diharapkan bisa mengurai keruwetan di sektor logistik. Pemerintah mengungkapkan paket-paket deregulasi ini bakal membantu pelaku usaha menekan biaya logistik yang selama ini tinggi, mencapai 60 persen dari biaya produksi.

Paket jilid sebelas, misalnya, mengatur pengendalian risiko untuk memperlancar arus barang di pelabuhan (Indonesian Single Risk Management). Penerapan identitas tunggal dan penyatuan informasi pelaku usaha dalam kegiatan ekspor-impor ini direncanakan bisa mempercepat proses pengawasan dan pelayanan perizinan di tiap kementerian dan lembaga.

Paket jilid sembilan sebenarnya secara khusus memuat deregulasi di sektor logistik. Paket ini merevisi Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 Tahun 2015, yang memberi batasan tarif jasa pos komersial dan nilainya lebih tinggi dari tarif jasa pos universal yang ditetapkan pemerintah. Dengan kebijakan ini, para pelaku jasa pos komersial diharapkan kembali menggeliat dan berdaya saing.

Paket jilid sembilan juga menyatukan pembayaran jasa-jasa ke pelabuhan secara elektronik (single billing) oleh perusahaan pelat merah yang mengoperasikan pelabuhan. Aturan lain dalam paket ini adalah menunjuk badan usaha milik negara sebagai konsolidator bagi produk usaha kecil menengah dan ekonomi kreatif, mengintegrasikan portal Indonesia National Single Window (INSW) dengan sistem informasi barang di pelabuhan, dan mewajibkan penggunaan mata uang rupiah untuk transaksi kegiatan transportasi.

Zaldy tak menafikan penilaian, sejumlah kebijakan itu bakal berdampak pada waktunya kelak. Tapi, menurut dia, saat ini pelaku usaha membutuhkan solusi yang ampuh dan berkhasiat cepat. Ia mencontohkan sistem single risk management semestinya memang bisa membantu persoalan dwelling time di pelabuhan yang selama ini selalu menjadi momok. Kenyataannya, penerapannya membutuhkan sarana dan prasarana pendukung serta koordinasi antar-kementerian dan lembaga. "Selama itu belum terjadi, ya, belum bisa kelihatan hasilnya," ujarnya.

Enny Sri Hartati sependapat dengan Zaldy. Direktur Eksekutif Institut Ekonomika Pembangunan dan Keuangan (Indef) itu mengatakan instrumen yang digunakan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan di sektor logistik, terutama untuk menurunkan biaya tinggi, selama ini belum jelas. "Yang terlihat, pemerintah sudah tahu apa problemnya tapi belum tahu instrumen yang sesuai untuk menyelesaikan masalah," kata Enny. Ia menduga pemerintah tak memiliki konstruksi yang jelas untuk menyelesaikan persoalan di sektor rantai pasok ini.

Pemerintah tak sepakat dengan tudingan itu. Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan regulator sudah memiliki perencanaan, tapi pelaksanaannya dibarengi dengan temuan-temuan di lapangan. "Kalau menunggu blueprint, kapan mulainya?" kata Darmin saat ditemui di kantornya, Rabu dua pekan lalu. Kendati demikian, Darmin mengakui paket kebijakan ekonomi ini masih ada bolong di sana-sini.

Darmin punya alasan kenapa tak semua permintaan pelaku usaha untuk menekan biaya logistik dipenuhi. Terutama soal usul deregulasi regulated agent. Mantan Gubernur Bank Indonesia itu menyebutkan pelonggaran aturan tersebut belum bakal terealisasi karena belum disetujui oleh kementerian terkait. "Nah, alotnya di situ. Kalau kementerian teknis tidak setuju, ya, tidak kami keluarkan," ujarnya.

Meski demikian, bingkisan ekonomi dari pemerintah itu tak terlalu mubazir. Pelaku usaha tekstil, misalnya, merasa diuntungkan oleh adanya kebijakan pusat logistik berikat. Salah satunya pusat logistik berikat di Cikarang Dry Port, Jawa Barat, yang membawa berkah tersendiri bagi pebisnis garmen Tanah Air karena tempat itu menjadi lokasi penimbunan untuk produk kapas atau katun. Keberadaan fasilitas penimbunan barang berikat itu memudahkan industri garmen mendapatkan pasokan bahan baku kapas yang selama ini perlu diambil dari Malaysia atau Singapura.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat Usman mengatakan manfaat yang paling terasa adalah perusahaan-perusahaan tekstil semakin hemat dalam membelanjakan duitnya. Tanpa menyebut angka secara gamblang, arus kas perusahaan untuk membeli kapas, menurut Ade, bisa ditekan sampai 80 persen. Penyebabnya, perusahaan tekstil tak lagi harus menyetok bahan baku di gudang sebanyak sebelumnya. "Stok di gudang cukup 20 persen saja," ujarnya saat dihubungi pada Kamis dua pekan lalu.

Keuntungan lain adalah menghemat waktu dalam memperoleh bahan baku. Lokasi Cikarang Dry Port ini cukup strategis dan mudah dijangkau dari pusat industri tekstil yang tersebar di Tangerang, Banten, dan Jawa Barat. Sebelumnya, dari gudang terdekat di Kuala Lumpur, para pengusaha garmen membutuhkan waktu paling sedikit sepekan untuk memesan barang sampai kedatangan barang di pelabuhan domestik. "Ini terobosan yang relevan," ujarnya. AYU PRIMA SANDI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus