Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LIMA tahun sudah Hotel Mario menunggu aliran listrik dari PT PLN. Setiap malam, deru genset penghasil listrik mengisi keheningan hotel yang berlokasi di Pantai Mananga Aba, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, itu. Aloysius Purwa, pemilik hotel, harus merogoh koceknya Rp 400 ribu untuk membeli solar, bahan bakar genset, setiap hari. "Membeli solar juga tidak mudah karena pasokan ke Pulau Sumba seret," katanya Kamis pekan lalu.
Agar bisa berhemat, genset itu hanya dihidupkan pada malam hari. Akibatnya, pada siang hari, tamu hotel kesulitan mendapatkan setrum. Pasokan air bersih dan jaringan telekomunikasi juga menjadi kendala. Kendati dihadapkan pada buruknya infrastruktur, itu tidak menghentikan langkah Purwa membangun Mario.
Keindahan Pantai Mananga Aba dan pantai lain di Pulau Sumba yang membuat Ketua Asosiasi Biro Perjalanan Wisata Bali ini berani merogoh kocek sebesar Rp 4,5 miliar untuk membangun bisnis di Pulau Sumba. "Pantai-pantai di sini masih eksotik, mengalahkan pantai di Bali," ujarnya.
Purwa menilai pariwisata bisa menjadi motor pembangunan Sumba Barat Daya, yang baru sembilan tahun "mekar" dari Kabupaten Sumba Barat. Sayangnya, kata dia, pemerintah terlalu giat memungut pajak ke restoran dan hotel yang mulai tumbuh di kabupaten ini. "Semestinya hal itu dibarengi dengan penyediaan listrik, telekomunikasi, dan jalan."
Bukan hanya Sumba Barat Daya yang punya masalah ini. Banyak daerah wisata, terutama di Indonesia timur, menghadapi masalah serupa. Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution tahu betul buruknya infrastruktur menjadi hambatan tumbuhnya pariwisata. "Memajukan wisata tidak sekadar membangun hotel dan restoran, tapi juga harus dipikirkan infrastruktur dan lingkungannya," ucapnya kepada Tempo.
Darmin mengakui bahwa pemerintah tak bisa berbuat banyak untuk menyelesaikan persoalan infrastruktur. Alasannya karena cekaknya anggaran. Tahun ini anggaran negara yang disiapkan untuk infrastruktur pariwisata hanya Rp 4,5 triliun. Jumlah itu tidak sepadan dengan jumlah daerah wisata yang harus dibenahi.
Situasi ini merepotkan pemerintah. Pariwisata sebetulnya sudah menjadi motor penggerak ekonomi. Bahkan Darmin mengatakan pemerintah getol membenahi pariwisata karena sektor ini dinilai sebagai salah satu jalan keluar untuk pemulihan ekonomi. Selain pariwisata, ada sektor perikanan dan kelautan serta manufaktur. "Kalau investasi kilang, petrokimia, itu baru enam-tujuh tahun lagi hasilnya. Kami ambil solusi jangka pendek, yaitu pariwisata."
Meski menghadapi tembok besar infrastruktur, pemerintah enggan melempar handuk. Paket kebijakan ekonomi pertama pada September tahun lalu langsung menyentuh sektor pariwisata. Paket itu memutuskan menambah negara bebas visa serta kemudahan kapal pesiar masuk ke pelabuhan.
Sebulan kemudian, sektor wisata dibidik lagi dalam paket kebijakan keempat. Isinya warga negara asing boleh memiliki properti di Indonesia, mendapatkan pembebasan pajak, serta kemudahan mendapatkan visa dan izin tinggal. Empat bulan kemudian, melalui paket kebijakan kesepuluh, pemerintah mengumumkan sektor pariwisata dikeluarkan dari daftar negatif investasi (DNI).
Setelah tiga paket disiapkan untuk sektor pariwisata, pemerintah mulai mengeksekusi. Jurus pertama dengan menetapkan sepuluh daerah tujuan wisata selain Bali, yaitu Danau Toba, Belitung, Tanjung Lesung, Kepulauan Seribu dan DKI Jakarta, Candi Borobudur, Mandalika-Lombok, Pulau Komodo, Taman Nasional Wakatobi, serta Morotai. Kesepuluh daerah itu akan menjadi tujuan investasi pariwisata.
Darmin mengatakan investor domestik tidak bisa diandalkan untuk menanam modal di sana. Jalan satu-satunya adalah mengundang investor asing menanamkan modalnya untuk membangun hotel, restoran, dan kafe. Inilah alasan mengapa DNI dibuka untuk sektor pariwisata, yaitu agar pengusaha asing menjadi legal berinvestasi.
Dengan kebijakan itu, pihak asing diperbolehkan membangun restoran, kafe, dan hotel dengan kepemilikan 100 persen. Adapun untuk agen perjalanan, kepemilikan asing maksimal 67 persen. Darmin mengakui ada protes terhadap kebijakan ini. Salah satu yang mengkritik adalah Hariyadi Sukamdani, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
Hariyadi tidak mempersoalkan pembukaan DNI, tapi ia menyoroti perumusan kebijakan dalam pembukaan DNI yang tidak melibatkan pengusaha lokal. Pemerintah sempat menyampaikan akan mengajak pengusaha merumuskan sektor mana saja yang memperbolehkan asing masuk sejak November tahun lalu. Namun, proses selanjutnya, Apindo hanya disodori draf yang sudah final. "Kami kaget," ujarnya.
Hariyadi menilai dibukanya investasi asing untuk hotel, kafe, dan restoran akan memberi dampak buruk bagi pengusaha lokal. Ia mencontohkan, dibukanya investor asing untuk hotel bintang tiga akan menggerus pengusaha lokal. Begitu juga dibukanya investor asing untuk mendirikan restoran. Ini akan menggulung pengusaha restoran, yang mayoritas berasal dari kelas pengusaha kecil dan menengah.
Izin untuk investor asing di sektor agen perjalanan juga dinilai Hariyadi terlalu berani. Alasannya kebijakan itu bisa menjadi bumerang. Alih-alih mendatangkan wisata asing, agen perjalanan asing bisa-bisa mencaplok turis domestik untuk melancong ke luar negeri. "Kita malah rugi."
Menanggapi kritik itu, Darmin bergeming. Mantan Gubernur Bank Indonesia itu meyakini pengusaha asing tak akan menggusur pengusaha lokal. Menurut Darmin, jumlah pengusaha lokal tidak mencukupi untuk diandalkan berinvestasi di sepuluh destinasi wisata. "Yang kita anggap tidak terlalu berkembang, ya sudah, asing masuk saja."
Sebulan setelah paket kebijakan untuk pariwisata dibuka, Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2016 pada 2 Maret lalu. Isinya menambah 84 negara baru penerima bebas visa. Tambahan ini menjadikan negara bebas visa mencapai 169.
Penambahan negara bebas visa dilakukan menjelang gerhana matahari total pada 9 Maret lalu. Peristiwa alam nan langka ini dijadikan sebagai momentum Kementerian Pariwisata menarik minat turis asing ke Indonesia. Iklan Wonderful Indonesia, dengan visual tentang gerhana matahari yang melintasi berbagai kota, digeber. Meski gerhana berlangsung di beberapa tempat, pemerintah memusatkan kegiatan wisata di Belitung.
Di sejumlah daerah, arus wisatawan asing memang meningkat. Badan Pusat Statistik mencatat kenaikan kedatangan wisatawan tertinggi di Bandar Udara Husein Sastranegara, Bandung, yang mencapai 84 persen; lalu disusul Bandara Ngurah Rai, Bali, 18 persen; dan Bandara Soekarno-Hatta 17 persen. Sepanjang Januari-April, kunjungan wisatawan mancanegara mencapai 3,52 juta atau meningkat 7,51 persen dibanding tahun sebelumnya.
Kenaikan ini membuat Menteri Pariwisata Arief Yahya optimistis target 12 juta wisatawan mancanegara—atau naik 1 juta turis asing—dapat tercapai tahun ini. Pemerintah menargetkan perolehan devisa dari wisatawan asing sebesar Rp 172 triliun pada 2016.
Kendati mengklaim kunjungan turis wisata naik di banyak tempat, menurut Menteri Darmin Nasution, tim perumus pengembangan wisata di sepuluh daerah tersebut lempar handuk untuk bisa menggarap semuanya. Tim di bawah Wakil Presiden Jusuf Kalla itu menawar dari sepuluh daerah diperas menjadi tiga daerah.
Tim perumus itu akan menetapkan konsep wisata meliputi bentuk investasinya, atraksi, hingga budaya yang dijadikan andalan untuk menarik minat wisatawan. "Setelah Lebaran, tiga destinasi itu akan kami umumkan," kata Darmin. AKBAR TRI KURNIAWAN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo