Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bengaluru: Kemacetan, Taman, dan Silicon Valley Asia

DALAM dua dekade terakhir, laju Bengaluru kian kencang. Ibu kota Karnataka, salah satu negara bagian di India, ini berevolusi menjadi pusat industri teknologi informasi dunia. Bengaluru satu dari daerah “3B” yang tersohor sebagai ekosistem perusahaan rintisan atau startup, selain Bay Area atau Silicon Valley di Amerika Serikat dan Beijing di Cina. Kota ini juga menjadi sentra riset industri lokal dan perusahaan multinasional ternama, seperti Google, Microsoft, Intel, dan General Electric. Transformasi yang cepat itu berekses kian padatnya populasi dan meningkatnya kemacetan lalu lintas di kota ini. Namun, di sisi lain, Bengaluru menyimpan pesona taman di berbagai penjuru kota.

2 November 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"KALIAN tidak lebih baik turun dari mobil dan berjalan ke hotel?” begitu saran Wouter van Wersch setelah melirik kemacetan lalu lintas di luar mobil yang kami tumpangi. Saya hanya tertawa miris. Ia meledek kami yang kelimpungan karena takut ketinggalan pesawat pulang ke -Indonesia. Van Wersch adalah Presiden dan Chief Executive Officer (CEO) General Electric kawasan Asia-Pasifik. Saya menumpang mobilnya bersama rekan jurnalis Novita Simamora dan Theresa, anak buah Van Wersch yang berkantor di -Singapura.

Malam itu kami berjibaku dengan kemacetan setelah mengunjungi kantor John F. Welch Technology Centre, pusat riset teknologi General Electric di Bengaluru, India, dan hendak menuju hotel yang sejatinya hanya berjarak 3,9 kilometer. Tapi jalanan yang superpadat menjadikan jarak itu bak berpuluh-puluh kilometer panjangnya. Bayangkan, hampir satu jam perjalanan! “Kalau batal pulang ke Jakarta, saya traktir kalian makan malam,” ujar Van Wersch, lalu terpingkal melihat wajah kami yang pucat pasi.

Saya pun mulai berhitung. Tak masuk akal memang jika hanya berdiam pasrah sementara jalanan diisi kendaraan yang seolah-olah “mogok berjemaah”. Di ruas Jalan Whitefield, sepeda motor, mobil, dan bajaj bersahutan lewat rentetan klakson yang bising. Beberapa di antaranya bahkan disetel dengan bunyi “telolet”. Bunyi itu sebenarnya jenaka, tapi di tengah kepanikan malah membikin darah kian mendidih.

Dan adegan yang sebelumnya tak terbayangkan pun kami lakukan. Kami bertiga akhirnya keluar dari mobil dan berlari—ya, karena berjalan saja rasanya tak cukup—menuju hotel yang jaraknya sekitar 400 meter. Kami meninggalkan mobil Van Wersch yang masih terpasung di jalanan penuh kendaraan dan berisik klakson. Tergopoh-gopoh dengan ransel terpanggul di punggung, kami melawan kemacetan yang menggila sejak jam pulang kantor. Sesekali kami memotong jalan demi bisa sesegera mungkin tiba di Hotel Sheraton Whitefield untuk mengambil koper.

Istana Bengaluru,16 Oktober 2019. TEMPO/Isma Savitri

Bayangan menyantap murgh makhani, ayam mentega khas India yang hangat dan bertekstur krim, terpaksa saya tepis. Sebab, masih ada satu perjalanan lagi yang menunggu di depan mata: menuju Bandar Udara Internasional Kempegowda, Bengaluru, yang berjarak 39 kilometer dari hotel. Beruntung, perjalanan yang hampir tiga jam itu tak sia-sia karena kami tiba di bandara sebelum waktu keberangkatan pesawat menuju Singapura.

Menyadari kemacetan lalu lintas jalan menuju bandara, Kempegowda punya siasat menarik. Mereka menyediakan layanan antar-jemput penumpang dengan helikopter yang diberi nama HeliTaxi. Moda ini bisa mengangkut lima-tujuh orang sekaligus dengan tarif 2.950-4.130 rupee atau Rp 600-800 ribu. Tarif itu sepertinya sebanding dengan kepraktisannya. Sebab, dengan moda ini, kita hanya butuh 15 menit untuk tiba di kawasan bisnis Bengaluru.

Pakar transportasi India, M.N. Sreehari, dalam wawancaranya dengan BBC pada 2016 menyebutkan berjalan kaki bahkan lebih efektif ketimbang berkendara di Bengaluru. Pawan Mulukutla dari lembaga nirlaba World Resource Institute mengatakan kecepatan rata-rata kendaraan di Bengaluru pada 2014 hanya 9,2 kilometer per jam, menurun dari 2005 yang 35 kilometer per jam. Kondisi itu diperkirakan menyulut kerugian ekonomi Bengaluru mencapai US$ 950 juta per tahun.

Bank Pembangunan Asia dalam laporan outlook edisi September 2019 pun menyebut Bengaluru sebagai kota termacet kelima di dunia, setelah Manila (Filipina), Kuala Lumpur (Malaysia), Yangon (Myanmar), dan Dhaka (Bangladesh). Jakarta ada di peringkat ke-17, “kalah” dari Bandung, yang nangkring di posisi ke-14.

Sengkarut lalu lintas itu membuat kemacetan menjadi pemantik obrolan paling umum di Bengaluru. Begitu pun cara Anthony Raj, 39 tahun, membuka obrolan dengan kami, sepuluh jurnalis dari lima negara Asia Tenggara yang datang ke kotanya untuk menyambangi pusat riset General Electric. Selama setengah hari pada medio Oktober lalu, Raj menjadi pemandu kami berkeliling Be-ngaluru. Seperti prediksinya di awal, banyak lokasi yang tak bisa kami sambangi gara-gara kemacetan di mana-mana. “Bengaluru makin berubah,” ucap Raj, yang lahir dan besar di kota ini.

Suasana lalu lintas di Bengaluru, Desember 2015. Shutterstock

Menurut Raj, Bengaluru dulu lengang dan tak semenonjol kota lain di India, seperti Mumbai dan New Delhi. Kota ini mulai bersalin rupa sekitar 15 tahun lalu, sejak para perantau datang. Mereka tak hanya berasal dari daerah tetangga di India bagian selatan, tapi juga buruh migran dari luar negeri. Secara perlahan Be-ngaluru pun mulai terasa sesak, walau di sisi lain kaum pendatang meniupkan napas baru yang membuat kota ini lebih bergairah dan atraktif.

Hiruk-pikuk di Bengaluru makin terasa saat “hutan beton” mulai tumbuh, menjadi rumah bagi sejumlah perusahaan teknologi informasi (IT) raksasa. Sebut saja IBM, Yahoo!, General Electric, Intel, Microsoft, Google, dan Schneider Electric. Pilihan berbagai perusahaan itu berkantor di Bengaluru membuat kota ini menularkan semangat lahirnya ribuan perusahaan rintisan (startup). “Setelah itu, perubahan dan kemajuan Bengaluru seolah-olah tak terbendung. Kota ini bergegas dan berlari,” ujar Raj.

KEBERADAAN ribuan startup dan perusahaan IT multinasional membuat Bengaluru dilabeli sebagai Si-licon Valley baru di Asia. Kota ini satu dari “3B” yang tersohor sebagai kawasan strategis di dunia, selain Si-licon Valley alias Bay Area di Amerika Serikat dan Beijing di Cina. Ketiganya menjadi ekosistem pengembangan teknologi dunia yang menyerap gelontoran investasi untuk berbagai bidang, seperti kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), big data, teknologi keuangan (fintech), dan bioteknologi.

Industri IT di Bengaluru terbagi menjadi dua cluster, yakni “ka-wasan elektronik” dan Whitefield. Riset EENI Global Business School menyebutkan cluster pertama berlokasi di pinggiran selatan Bengaluru, yang dibangun pada 1978 di lahan 330 hektare. Sejumlah perusahaan dulu berkantor di sana, seperti Siemens dan Hewlett-Packard, yang disusul perusahaan perangkat lunak tersohor asal India, Infosys dan Wipro. Sedangkan kawasan Whitefield, yang dibangun di pinggiran Bengaluru atas kerja sama India dengan Singapura pada 1994, makin populer setelah industri IT meledak pada 2000-an. Selain General Electric (GE), perusahaan ternama seperti Dell, IBM, dan Intel berkantor di sana.

Kepala Bidang Teknologi GE Asia Selatan yang juga CEO Pusat Teknologi GE India, Alok Nanda, menyebut perkembangan Bengaluru sebagai kota riset teknologi kelas dunia sangat pesat. Perusahaannya sendiri kini mempekerjakan lebih dari 5.300 peneliti dan teknisi, tak mau kalah dari institusi lain yang juga memiliki laboratorium penelitian dan pengembangan. “Kami sangat berfokus pada kemampuan para periset dan teknisi untuk melahirkan inovasi-inovasi baru. Bahkan kantor ini punya bidang khusus yang menggarap urusan edukasi,” kata Nanda saat ditemui di kantornya.

Untuk urusan talenta, Bengaluru memang gudangnya. Startup Genome pada 2017 mencatat bahwa upah pekerja di Bengaluru 13 kali lebih murah ketimbang gaji di Silicon Valley ataupun rata-rata bayaran ahli IT di Asia-Pasifik. Namun, secara kualitas, pekerja kota ini tak kalah mumpuni. Genome tahun ini melansir pertumbuhan Bengaluru melejit dan membuatnya naik dua peringkat ke posisi ke-18 sebagai “kota startup” di dunia. Bengaluru ada di bawah New York, London, Beijing, Silicon Valley, dan Boston.

Yang menjadi salah satu poin kuat Bengaluru adalah ketersediaan tenaga IT, yang membuatnya meraih 8 dari skor tertinggi 10. Sedangkan dari tingkat kesuksesan startup-nya, nilai yang diraih Bengaluru adalah 6-7, sementara nilai dari paten yang diajukan mencapai skor 9, setara dengan raihan London, Jenewa, dan -Stokholm. “Kita tak bisa memung-kiri talenta IT di sini luar biasa. Mereka sangat siap di persaingan global,” ujar Nanda.

Keberadaan perusahaan IT dan sumber daya lokal, kata Nanda, saling mempengaruhi dalam hal positif. Simbiosis mutualisme itu bisa dilihat dari makin banyaknya perusahaan yang membuka kantor di Bengaluru, salah satunya Gojek Indonesia, serta masifnya pertumbuhan startup di sana. “Kualitas talenta di sini makin baik dan secara tidak langsung menarik perusahaan IT, termasuk kami, mengembangkan riset dan bisnis di Bengaluru,” ucapnya.

 

SEBELUM semaju sekarang, Be-ngaluru lebih dikenal sebagai ka-wasan dengan lahan pertanian yang subur. Daerah seluas 366 kilometer persegi ini (lebih dari separuh luas Jakarta) adalah ibu kota Karnataka, salah satu negara bagian di India yang menerapkan sistem pertanian berkelanjutan. Adalah Raja Kempe Gowda I, yang dalam perjalanannya berburu, singgah dan menemukan Bengaluru. Hingga 1537, ia mulai menggarap lahan di sana. Nama kota ini sempat diubah menjadi Bangalore oleh otoritas Inggris yang memerintah di sana, sebelum secara resmi kembali lagi menjadi Bengaluru pada November 2014.

Pada 2011, sensus penduduk mencatat ada sekitar 8,42 juta orang yang tinggal di Bengaluru. Namun, per tahun lalu, jumlahnya diperkirakan membeludak hingga 12,47 juta orang. Sekitar separuh populasi kota ini disumbang oleh pendatang. Mereka tinggal di Bengaluru tak hanya demi pekerjaan, tapi juga untuk bersekolah. “Banyak yang terpikat menetap di sini karena Bengaluru menawarkan harapan dan nyaman sebagai tempat tinggal,” ujar Anthony Raj.

Bagmane Tech Park di Bengaluru, Juli 2019. Shutterstock

Raj menjelaskan, Bengaluru cenderung berhawa sejuk dan penuh kawasan hijau sehingga disebut sebagai “Kota Taman”. Biaya hidup di kota terbersih kedua di India ini pun lebih murah dibanding kota lain. Sebagai perbandingan, dengan 10 rupee (sekitar Rp 2.000) kita sudah bisa membeli makanan ringan di Bengaluru. Sedangkan tarif moda transportasi seperti bus yang dikelola pemerintah berkisar 5-40 rupee atau Rp 1.000-8.000, tergantung jarak tempuh.

Adesh Sharan, pria asal Bihar, bagian utara India, salah satu yang menjajal peruntungan di Bengaluru. Insinyur bidang perangkat lunak ini sejak dua tahun lalu pindah ke Bengaluru untuk bekerja di perusahaan IT, Cognizant. Menurut Sharan, kompetisi di Bengaluru sangat menantang lantaran di kota ini banyak bermukim pakar dan perusahaan IT hebat dari berbagai negara. “Orang-orang di sini berpenghasilan baik dan ada banyak peluang yang bisa digarap,” katanya.

Bagi anak muda seperti Sharan, bekerja di Bengaluru sekaligus membuka kesempatan meningkatkan keahlian sebagai profesional. Sebab, sebagai sebuah ekosistem IT, Bengaluru juga menjadi markas -perusahaan-perusahaan riset andal yang -menempanya untuk belajar. Yang membuat Sharan kian betah, biaya hidup di Bengaluru tergolong rendah dibanding kota metropolitan seperti Mumbai.

Namun kemacetan kerap menjadi mimpi buruk. “Pemerintah sedang membangun jalan bebas hambatan dan memperluas layanan kereta metro, jadi ini harapan bagi warga yang setiap hari kerepotan menghadapi kemacetan pada jam-jam sibuk,” ujarnya. Sharan beruntung karena jam kerjanya fleksibel. Ia memilih bekerja mulai pukul 12 siang hingga 9 malam untuk “mengalahkan” kemacetan, dengan sepeda sebagai moda transportasinya sehari-hari. “Dengan sepeda, saya membutuhkan sekitar 45 menit untuk tiba di kantor yang berjarak 15 kilometer dari rumah.”

Pesona Bengaluru tak hanya menggiurkan pekerja, tapi juga pebisnis. Alok Nanda mengatakan, selain memilih Amerika Serikat, GE memilih Bengaluru sebagai pusat riset karena sejumlah kemudahan yang ditawarkan pemerintah India. Ekspansi produsen alat kesehatan, aviasi, dan pembangkit listrik ini dimulai pada 1995. “Kami melirik Bengaluru, selain karena talentanya, lantaran pemerintah memfasilitasi kami dengan kemudahan perizinan dan manfaat pajak (tax benefit),” katanya. “Sikap progresif pemerintah inilah yang menurut saya membuat Bengaluru makin maju dan berkembang.”

ISMA SAVITRI (BENGALURU)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Isma Savitri

Isma Savitri

Setelah bergabung di Tempo pada 2010, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro ini meliput isu hukum selama empat tahun. Berikutnya, ia banyak menulis isu pemberdayaan sosial dan gender di majalah Tempo English, dan kini sebagai Redaktur Seni di majalah Tempo, yang banyak mengulas film dan kesenian. Pemenang Lomba Kritik Film Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2019 dan Lomba Penulisan BPJS Kesehatan 2013.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus