Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Jalan Kiri Sanders

Bernie Sanders kembali mencalonkan diri sebagai kandidat Presiden Amerika Serikat. Lantang menyuarakan retorika anti-kapitalisme.

2 November 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERNIE Sanders memulai pidatonya tanpa basa-basi. Dalam kampanyenya di Taman Queensbridge, Queens, New York, Amerika Serikat, Sabtu, 19 Oktober lalu, pria 78 tahun itu menyemburkan rentetan pernyataan yang disambut gemuruh tepukan ribuan pendukungnya. “Ketika saya melihat kerumunan besar ini, Saudara-saudara, saya tidak ragu bahwa revolusi politik akan menyapu negeri ini, melibas Donald Trump dari jabatannya dan membawa perubahan yang telah lama dibutuhkan negara ini,” katanya.

Untuk seseorang yang baru dua pekan keluar dari rumah sakit karena terkena serangan jantung, Sanders berpidato dengan suara lantang, ciri khasnya selama ini. Selama satu jam, sambil berdiri di podium, ia mengupas sederet isu krusial, dari soal pajak, layanan kesehatan dan pendidikan, utang dana kuliah, upah layak, ketimpangan sosial, hingga energi terbarukan. Senator asal Vermont ini tidak lupa mengkritik wajah kapitalisme Amerika, Wall Street, dan mengecam pemerintah Trump.

Ketua tim kampanye Sanders menyatakan lebih dari 25 ribu orang mendengarkan langsung pidato itu. Di antara mereka ada Christina Martin, yang datang bersama ibunya, seorang penyintas kanker payudara, dari Manhattan, New York. Keduanya mendukung rencana Sanders soal Medicare for All, kebijakan penghapusan asuransi kesehatan swasta dan diganti jaminan kesehatan masyarakat yang dikelola pemerintah. Cakupan Medicare for All lebih luas dari program “Obamacare” Barack Obama karena mengharuskan pemerintah mengeluarkan duit yang lebih besar.

Di Partai Demokrat, Medicare for All semula menuai penolakan keras. Konsep Sanders itu terbilang sangat progresif, bahkan untuk standar partai berlambang keledai yang berhaluan liberal tersebut. Tapi Sanders bisa meyakinkan sejumlah politikus dan pendukung Demokrat tentang pentingnya program itu. “Dia cukup mengubah sikap partai dalam empat tahun terakhir,” ujar Martin, seperti diberitakan Reuters. “Kita tidak akan membicarakan Medicare for All tanpa dia.”

Sanders adalah satu dari 19 peserta konvensi Partai Demokrat. Mereka berebut tiket pencalonan untuk melawan Trump, yang kembali diusung Partai Republik untuk pemilihan presiden 2020. Sebagai kandidat paling sepuh, Sanders kini menempati urutan ketiga dalam jajak pendapat nasional Demokrat. Pria berambut perak ini masih di bawah bekas Wakil Presiden Amerika, Joe Biden, dan senator Elizabeth Warren.

Namun di New Hampshire, salah satu negara bagian yang diperebutkan secara sengit oleh Demokrat dan Republikan, Sanders menjadi kandidat nomor wahid. Sigi bersama antara CNN dan University of New Hampshire pada 21-27 Oktober lalu menunjukkan bahwa Sanders meraup 21 persen dukungan, disusul Warren (18) dan Biden (15). Dukungan untuk Sanders naik dua poin dibanding pada Juli lalu, saat Biden memuncaki survei dengan perolehan 24 persen suara. Di negara bagian yang bersebelahan dengan Vermont itu, Hillary Clinton hanya mampu unggul 0,3 persen atas Trump dalam pemilihan presiden 2016.

Sebagai satu-satunya politikus yang menyebut dirinya sosialis demokrat, Sanders mewakili figur unik dalam kancah politik Amerika. Empat tahun lalu, saat berebut tiket pencalonan melawan Hillary Clinton, ia berpendapat tentang perlunya perubahan dramatis untuk mengatasi ketimpangan upah dan penyakit ekonomi lain. Gagasannya ternyata menyedot perhatian publik. Sanders saat itu memang kalah oleh -Hillary, tapi besarnya dukungan membuat dia kembali bersemangat mencalonkan diri.

Kepekaan sosial Sanders terpupuk sejak belia. Pria yang dilahirkan dengan nama Bernard Sanders di Brooklyn, New York, ini anak bungsu dari pasangan Eli Sanders dan Dorothy Glassberg. Eli adalah imigran Yahudi asal Polandia yang kabur dari Nazi tanpa membawa duit sepeser pun. Adapun Dorothy terlahir dari kedua orang tua Yahudi. Bernie Sanders dan kakaknya, Larry Sanders, terbiasa hidup pas-pasan sejak kecil. Eli bekerja sebagai penjual cat, sementara Dorothy ibu rumah tangga. Perdebatan tentang uang menjadi santapan sehari-hari keluarga yang tinggal di apartemen sewaan tersebut. “Saya tahu betul dan tidak akan lupa dari mana saya berasal,” ucapnya saat berkampanye di Brooklyn, Juli lalu.

Menurut Sanders, keterbatasan ekonomi telah menumbuhkan kepeduliannya terhadap kaum papa. Tapi kematian ibunya menjadi faktor penting yang membentuk pandangannya, terutama tentang perlunya akses yang sama untuk layanan kesehatan. Dorothy meninggal setelah menjalani operasi jantung yang gagal. “Kehilangan ibu pada usia 18 tahun sangat sulit,” kata Sanders. Kondisi itu pula yang membuatnya memutuskan pergi ke Chicago saat baru melakoni kuliah selama setahun di Brooklyn College.

Sanders remaja melanjutkan kuliah ilmu politiknya di University of Chicago saat gerakan hak-hak sipil tengah mencapai puncaknya pada 1960-an. Itu adalah momen yang paling penuh gejolak dan tantangan yang dihadapi rakyat Amerika sejak Perang Saudara satu abad sebelumnya. Sementara kebanyakan warga Amerika, khususnya yang berkulit putih, saat itu memilih diam, tidak demikian dengan Sanders. Ia memilih terjun dalam dunia aktivisme dan mengikuti berbagai aksi protes menuntut kesetaraan hak-hak sipil bagi penduduk kulit berwarna.

Sanders, yang mengagumi tokoh pejuang hak sipil Martin Luther King, Jr., bergabung dalam organisasi Kongres Kesetaraan Ras. Ia bertugas di komisi yang memprotes segregasi pemondokan di kampus. Saat itu, asrama untuk mahasiswa kulit putih dan kulit hitam dibedakan. Sanders pernah didenda US$ 25 karena dituduh melawan saat ditangkap polisi setelah mengikuti aksi protes pada 1963. Lantaran seringnya ikut unjuk rasa, nilai kuliah Sanders jeblok. Dekannya bahkan sampai meminta Sanders mengambil cuti.

Rampung kuliah, Sanders sempat tinggal di kibbutz, permukiman kolektif warga Yahudi, di Israel. Sekembali ke Amerika, ia memutuskan menetap di Vermont dan bekerja sebagai tukang kayu dan jurnalis lepas. Sanders kembali terjun dalam aktivisme saat gerakan anti-Perang Vietnam merebak pada 1970-an. Momen itu membawanya ke politik praktis. Melaju dari jalur independen, Sanders mencalonkan diri sebagai Gubernur Vermont, tapi tiga kali gagal. Upayanya melaju sebagai Senator Vermont juga awalnya kandas. Sanders akhirnya terpilih menjadi Wali Kota Burlington, tempat ia menetap, pada 1981.

Setelah dua periode menjabat wali kota, Sanders masuk Kongres sesudah terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada 1991, lagi-lagi lewat jalur independen. Kedekatan ideologi membuat dia memilih bergabung dengan kaukus Demokrat. Selama tujuh periode di DPR, Sanders tercatat pernah menentang Perang Irak, menolak kebijakan pemotongan pajak yang menguntungkan individu dan perusahaan kaya, serta menentang pemangkasan pengeluaran untuk program kesejahteraan sosial.

Keberpihakan Sanders pada kaum miskin berlanjut saat ia menjadi senator sejak 2006 dan ketika mengikuti penyaringan calon presiden empat tahun lalu. Walhasil, ia tidak hanya memanen dukungan moral dan elektoral, tapi juga dana. Sanders meraup Rp 351 miliar dalam tiga bulan terakhir, lebih banyak ketimbang kandidat Demokrat lain. Sumbangan itu dilaporkan berasal dari jutaan donatur individu, tak ada korporasi. “Bernie bangga menjadi satu-satunya kandidat yang kampanyenya didanai penuh oleh sumbangan akar rumput,” ujar manajer kampanye Sanders, Faiz Shakir.

Sanders patut optimistis menghadapi pencalonannya kali ini. Selain memanen sokongan dari basis pemilih loyalnya seperti pada 2016, sejumlah legislator muda dan progresif asal partainya, seperti Alexandria Ocasio-Cortez dan Ilhan Omar, mendorongnya. Dukungan ini penting karena keduanya sangat populer, terutama di kalangan pemilih muda yang menyukai suara anti-kemapanan ala Sanders.

MAHARDIKA SATRIA HADI (REUTERS, JACOBIN, ASSOCIATED PRESS, VOX)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus