Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari rumah makan Abu Shukri di Jalan Al Wad, persis di seberang mulut Via Dolorosa, kawasan Muslim Quarter, orang bisa merasakan atmosfer lokal Yerusalem: multikultur, multietnis, hangat, dan tak terlupakan. Di meja formika selebar kira kira 60 sentimeter, pada siang berlangit mendung itu, terhidang salad, roti pita atau khubz, hummus, pizza, kebab, dan mint tea.... Para tamu bersantap dalam suasana rumahan. Mereka adalah orang Arab, orang Yahudi, juga orang berkebangsaan lain.
Yerusalem (atau Al Quds), dalam sejarahnya, memang mempertemukan aneka bangsa dan etnik, karena ia merupakan tujuan ziarah agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Tapi, justru karena itu, kota ini sebenarnya juga simbol harmoni, pertautan antara kasih dan damai yang bersifat universal, sebuah metafora surga jika merujuk pada pandangan yang dianut Gereja Inggris. Hal inilah yang pada 1808 dibayangkan oleh William Blake dalam puisinya, "And did those feet in ancient time", tentang kedatangan Yesus yang kedua kali dan mewujudkan surga di Inggris (pada 1916, Sir Hubert Parry menggubah musik untuk puisi ini, yang kemudian dikenal sebagai himne Jerusalem).
Atau, jika mengikuti pandangan Islam: gerbang surga berada persis di atas Yerusalem. Karena itulah, dalam peristiwa Isra dan Miraj, Tuhan mula mula membawa Nabi Muhammad ke Yerusalem dan kemudian baru ke surga. "Seperti karpet merah, sehingga dia (Muhammad) bisa lurus memasuki gerbang," kata Syekh Abdul Aziz Bukhari, pemimpin tarikat Naqsabandiyah di Yerusalem dan salah seorang pendiri Jerusalem Peacemakers.
Via Dolorosa atau Jalan Kesengsaraan, yang persimpangannya dengan Al Wad tampak dari satu sudut di resto Abu Shukri, adalah gang tempat Yesus memanggul salib menuju Golgota-tempat dia disalibkan. Sudah pasti, peziarah dari berbagai penjuru dunia yang ingin melakukan napak tilas di rute "bersejarah" itu lalu lalang di sini. Dan mereka tentu bersirobok dengan peziarah yang mungkin baru saja singgah di Masjid Al Aqsa, Gereja Makam Suci, atau tempat suci lainnya dan hendak berbelanja suvenir.
Pertemuan pertemuan itu berlangsung berabad abad. Perjumpaan damai, sebenarnya. Tapi damai di Yerusalem justru selalu berliku seperti gang gang di Kota Tua yang bagai labirin. Sepanjang usianya, yang bermula dari milenium keempat sebelum Masehi, kota ini justru telah dua kali dihancurkan, 23 kali dikepung, 52 kali diserang, dan 44 kali menjadi rebutan kekuasaan asing. Romawi, Persia, Arab, Pejuang Salib, Usmaniyah (Turki), dan Inggris bergantian menguasai kota itu sebelum negara Israel dideklarasikan pada 1948.
Semua itu terjadi karena keunikan Yerusalem sebagai kota suci. Dan oleh sebab yang samalah sengketa di zaman modern ini berlangsung, sengketa yang menjadi bagian dari isu pokok dalam konflik Israel dengan Palestina.
Sejak aneksasinya terhadap Yerusalem timur yang dihuni warga Arab pada 1967, Israel terus berusaha mengubah citra kota itu. Tujuannya, terutama, adalah mendorong proyek "Yahudiisasi". Pemerintah Israel silih berganti, dan kebijakan yang sama terus dijalankan. Dengan langkah ini, menurut Ziad Abu Zayyad, mantan anggota Dewan Legislatif Palestina dan Menteri Luar Negeri Otoritas Palestina, Israel terus memperbesar populasi warga Yahudi dan, karena itu, menyusutkan jumlah penduduk Palestina.
Yang dilakukan Israel adalah membangun permukiman di dalam batas wilayah Yerusalem dan di sekitarnya; dan hal ini terus diperluas, sedangkan izin bagi warga Palestina untuk melakukan hal yang sama makin dipersulit. Pada masa menjelang perang 1967 tak ada warga Yahudi sama sekali di wilayah itu, dan kini hampir 200 ribu orang. Akibatnya, "Prospek kompromi mengenai status Yerusalem kian redup," kata Abu Zayyad.
Menurut Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa Nomor 242, Israel wajib mengembalikan Yerusalem timur-meliputi di antaranya Kota Tua serta wilayah wilayah di Tepi Barat yang dianeksasinya setelah 1967. Palestina mengklaim bagian timur itu sebagai ibu kota negara di masa depan. Tapi Israel berkukuh menganggap Yerusalem sebagai "ibu kota bangsa Yahudi yang abadi dan bersatu".
Kesediaan berkompromi dalam isu itu sebenarnya telah diperlihatkan Ehud Barak ketika menjadi perdana menteri pada 1999 2001. Hal ini merupakan pengakuan bahwa kedua pihak harus berbagi Yerusalem. Masalahnya, perundingan di Camp David pada 2000 macet ketika harus menyusun detailnya. Israel menuntut kedaulatan atas Yerusalem timur dan kota kota berpenduduk mayoritas warga Yahudi. Dua hal ini bukan saja akan mengakibatkan wilayah Palestina terbelah belah, melainkan juga kian menciutkannya; hubungan antarbagian wilayah itu pun menjadi terhalang.
Sulit diperkirakan bahwa kedua pihak bakal duduk lagi baik baik untuk membicarakan masa depan. Ada kalangan yang malah pesimistis. Tapi banyak yang masih percaya bahwa kunci perdamaian tetap ada di Yerusalem. "Yerusalem adalah jantung dunia. Kalau perdamaian dan rekonsiliasi dapat dicapai di sini, perdamaian di mana pun di dunia bisa dicapai," kata Syekh Abdul Aziz.
Untuk memperkuat pemahaman tentang pentingnya rekonsiliasi, pemimpin masyarakat Uzbek di Yerusalem itu mendirikan Jerusalem Peacemakers. Bersamanya bergabung pula enam orang lain, pemuka agama Kristen dan Yahudi. Melalui organisasi nirlaba ini, dia menyebarkan keyakinannya bahwa saling menyalahkan di antara pihak yang terlibat konflik hanya akan menghasilkan kesalahan juga. Menurut dia, ada 97 persen kesamaan antara umat Yahudi, Kristen, dan Islam. Karena itu, tak ada gunanya bersengketa hanya demi yang 3 persen saja.
Kesamaan dan potensi untuk bisa hidup berdampingan dalam damai itu yang diibaratkan oleh Adena Levine sebagai "salad dalam sebuah mangkuk". "Berbeda dengan melting pot," kata Direktur Peace Preschool di Yerusalem ini, "pada salad, masing masing unsurnya, sayur sayurannya, bisa bercampur tapi tetap mempertahankan rasa khasnya. Ada harmoni."
Perumpamaan itulah semangat dari Peace Preschool di Yerusalem International YMCA, yang didirikan pada 1981. Inilah lembaga pendidikan untuk anak anak hingga usia lima tahun dari warga Yahudi, Kristen, dan Islam yang dimaksudkan sebagai tempat belajar dan bersosialisasi bersama sama. Di fasilitas yang terletak di salah satu bagian gedung YMCA di seberang King David Hotel ini anak anak dibiasakan berdampingan setiap hari, terus menerus, sebagai bagian dari kehidupan normal dan keluarga mereka. Dari situ mereka diharapkan bisa bertoleransi.
"Anak anak adalah harapan bagi masa depan, dan kami berharap dan berdoa demi shalom, salam, dan perdamaian bagi semua," kata Levine.
Di sekolah yang pada jam belajar sangat riuh itu terdapat delapan kelompok kelas, dengan minimal dua pembimbing untuk setiap kelas. Ada kelas untuk anak usia 1 2 tahun, 2 3 tahun, dan 3, 4, 5 tahun. Di setiap kelas, anak anak bisa saja mula mula berkomunikasi dengan bahasa masing masing. Tapi, menurut Levine, mereka pada akhirnya akan saling belajar.
Saling belajar yang tentu tak bisa instan. Jika anak anak itu memang harapan, yang sebenarnya tak mustahil, tampaknya masih perlu lebih banyak lagi anak anak yang bergabung dengan mereka. Lagi pula apa yang mereka pelajari dan alami di sekolah itu pun harus tetap merasuk di dalam diri mereka sepanjang hidup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo