Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font size=2 color=#6666FF>Presiden Shimon Peres:</font><br />Sembilan Puluh Persen Psikologis

5 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam karier politiknya, Shimon Peres pernah dianggap sebagai tokoh garis keras. Anak didik David Ben Gurion, figur penting pendiri Israel, ini pada 1970 an mendukung permukiman Yahudi di Tepi Barat. Pendiriannya mengalami evolusi setelah dia menjadi pemimpin Partai Buruh. Belakangan dia dianggap properdamaian melalui kerja sama ekonomi. ”Dengan bantuan kami, Pa­lestina punya perekonomian yang lebih baik,” katanya.

Ketika menjabat Menteri Luar Nege­ri, dia berperan aktif hingga terwujudnya Perjanjian Oslo—fondasi bagi perdamaian Israel Palestina—pada 1993. Untuk itu, dia dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian bersama Yitzhak Rabin dan Yasser Arafat (1994). Setelah menjalani karier panjang di Knesset, menteri di 12 kabinet, dan dua kali menjadi perdana menteri, serta ayah tiga anak yang lahir di Wiszniewo, Polandia (kini Belarusia), 86 tahun lalu ini dipilih sebagai presiden kesembilan Israel. Di posisi ini, sejak 2007, dia kerap bertindak sebagai ”juru bicara” tak resmi Israel, sekalipun dia dalam posisi menentang, karena reputasinya yang sangat dihormati di tataran internasional.

Petang hari ketika cuaca Yerusalem sedang cerah, Februari lalu, Peres menerima rombongan wartawan Indonesia, termasuk dari Tempo, di Beit Hanassi, kediaman resmi Presiden Israel. Selama 45 menit, dia menjawab sejumlah pertanyaan.

Anda melihat ada kemajuan penting antara Israel dan Palestina dalam waktu dekat?

Ada satu perubahan yang patut dicatat. Selama bertahun tahun kami hanya merundingkan pembentukan negara Palestina karena kini seluruh Israel mendukung solusi dua negara. Tapi, hingga kira kira akhir tahun ini, di samping merundingkan, sedang berlangsung konstruksi sebuah negara Palestina.

Dengan bantuan kami, Palestina punya perekonomian yang lebih baik. Untuk pertama kalinya Palestina membangun kota dengan dukungan kami. Kami telah membongkar pos pos pemeriksaan agar ekonomi mengalir bebas. Mereka membentuk pasukan keamanan sendiri, dilatih oleh seorang jenderal Amerika di Yordania, dengan sepengetahuan dan dukungan kami. Mereka sedang membangun kelembagaan mereka.

Benar, mereka ingin punya perbatasan. Tapi perbatasan harus dinegosiasikan. Anda tahu bahwa Israel pun saat ini tak punya perbatasan resmi. Kami juga membangun negara sebelum kami tahu batas batasnya. Ada upaya upaya paralel, bukan di luar perundingan, tapi diimbuhkan pada perundingan. Dan kami berharap negosiasinya segera ditambahkan.

Apa beda paling nyata antara Perjanjian Oslo dan proses yang sekarang berjalan?

Saya kira proses sekarang ini merupa­kan perluasan dari Oslo. Sesuatu yang sedang berjalan. Masalah penerapan Oslo lebih karena adanya oposisi kelom­pok agama yang ekstrem, Hamas, dan mereka membelah Palestina. Menurut saya, Hamas adalah rintangan terbesar pembentukan negara Palestina.

Kami tak bisa mempersatukan Pa­lestina, kami tak bisa campur tangan dalam urusan internal mereka. Kami jelas mendukung kubu properdamaian. Kami jelas mendukung Abu Mazen (Mahmud Abbas, Presiden Otoritas Nasional Palestina). Kami berteman dan kami berharap dia bisa menang demi warga Palestina. Dan saya kira melalui perundingan dia bisa mencapai lebih banyak ketimbang dengan teror. Semua pencapaian datang dari meja negosiasi, bukan dari bom atau roket.

Konflik ini tentang pembagian tanah?

Saya khawatir 90 persen dari masalah ini bersifat psikologis. Maksud saya, ada ketidakpercayaan. Ada kalangan di Palestina yang tak percaya Israel benar benar siap untuk memungkinkan terwujudnya negara Pa­lestina. Saya bicara dengan mereka. Saya katakan, ”Begini, kalau kami tak menginginkannya (negara Palestina), mengapa kami mengizinkan kalian membentuk pasukan keamanan, membangun ekonomi kalian, dan membangun institusi sendiri?”

Mentor saya, (David) Ben Gurion, mengatakan bahwa dalam politik kau tidak mengandalkan rumor. Jelas, semua pihak membuat kesalahan. Kami melakukannya, Palestina juga. Jadi saya kira konflik saat ini bukan tentang isu, tapi lebih tentang perasaan. Dan lebih sulit mengatasinya. Karena itu, kita harus melakukan langkah langkah yang bisa membangun kepercayaan.

Israel merupakan negara yang paling dibenci atau di­salahpahami oleh rakyat Indonesia. Bagaimana Anda bisa mendapatkan kepercayaan mereka?

Itu pertanyaan yang harus saya ajukan kepada kalian.... Masalahnya adalah kebencian mudah berkelana di dunia media ketimbang tanggung jawab dan harapan. Tapi media bukan segalanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus