Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dialog Dua Lensa-Dua Dunia

Dua fotografer Meksiko dan Indonesia bertukar tempat memotret. Hasilnya sangat kaya akan warna dan natural.

5 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kerutan wajah Maria Chico tampak jelas. Begitu juga dengan keriput di tangan kanannya yang terjulur ke samping. Penutup kepala biru tak mampu menyembunyikan seluruh rambut putih perempuan 90 tahun itu. Tapi Maria tetap tampil ngejreng. Bajunya hijau muda dengan sedikit rok kuning cerahnya terlihat. Untaian kalung kuning, biru, dan hijau menjuntai melebihi dadanya. Penampil­annya kontras dengan tembok bata cokelat yang menjadi tempat bersandar.

Gaya Maria berbeda dengan satu pe­rempuan Jawa yang juga tua. Meski sa­ma-sama keriput, mata perempuan Jawa itu lebih sayu dan kelihatan lelah. Tak ada pernak-pernik apa pun di tubuhnya kecuali kebaya lusuh dan kain penutup kepala. Ia terbaring di atas jarik batik. Entah apa yang dilakukan si mbah ini, tapi di sampingnya tergeletak sapu lidi.

Dua nenek dalam bingkai berbeda itu karya dua fotografer perempuan, Marcela Taboada dan Desiree Harahap, yang ditampilkan di Galeri Nasional, Jakarta, 10-28 Maret. Desiree Harahap, fotografer asli Jakarta, mengabadikan Maria Chico. Adapun Marcela, warga negara Meksiko, mengabadikan si ­eyang putri.

Desiree bercerita, pameran itu merupakan hasil perjalanannya selama enam bulan di Meksiko karena mendapat beasiswa dari pemerintah setempat. Begitu juga Marcela. Ia berkunjung selama dua bulan atas undangan pemerintah Indonesia. Melalui lensa, keduanya memandang negara masing-masing. Maka Looking at Each Other pun menjadi judul pameran ini. ”Pameran ini menjadi semacam dialog antarbangsa,” kata Desiree.

Semua karya Marcela dikemas hitam-putih. Adapun 28 dari 30 foto Desiree berwarna. Cahaya seadanya, tanpa bantuan flash, ditambah kejelian membaca kekuatan subyek, momen, dan timing membuat foto keduanya terlihat apik dan sangat natural.

Desiree merekam berbagai fenomena negeri suku Maya dan Aztec yang penuh warna. Sebagian besar fotonya menghadirkan berbagai pesta dengan keceriaan dan kecerahan. Satu dari esai foto fiesta musim panen, misalnya, memiliki komposisi unik yang menunjukkan paduan corak-carik kain, kalung, gelang, dan hiasan rambut dari jejeran rapat belasan perempuan yang berjengket. ”Seperti pelangi, Meksiko memang sangat kaya akan warna,” ujar mantan fotografer majalah Jakarta-Jakarta yang pernah menjadi produser film Pasir Berbisik ini.

Sebaliknya, foto Mexico City Gay Pride Party yang hitam-putih juga menunjukkan keceriaan pesta ala kaum gay. Desiree mengabadikan pantat putih lengkap dengan belahannya yang terlihat dari celana kulit ketat-berlubang seorang pria bercampur dengan punggung gagah laki-laki bertopi koboi dan tiga ”perempuan” yang memamerkan sedikit pantat dan paha dengan stocking jaring. Refleksi pantat, punggung, dan paha itu memperlihatkan kemampuan Desiree mengabadikan penerimaan atas jenis kelamin ketiga di Meksiko itu.

Dalam esai foto yang lain, Desiree menampilkan perilaku religius masyarakat Meksiko yang kebanyakan Katolik. Salah satunya seorang pria sedang berlutut, diposisikan agak ke tengah frame dengan sisi kanan-kirinya deret­an bangku gereja yang cukup kosong. Posisi tangan pria itu terangkat dan terlihat akan menyembah. Foto ini mampu berbicara soal kesakralan hosti dalam monstran yang terlihat sangat kecil di atas altar yang menjadi latar belakang.

Tak kalah menarik suasana agamis hasil jepretan Marcela, yang dua bulan berkeliling Bali, Jawa, dan Sumatera. Dzuhur Praying, misalnya, menampilkan seratusan santriwati di Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam, Sukoharjo, tengah sujud dalam jarak yang sangat rapat. Ketepatan Marcela memilih posisi melahirkan komposisi menarik dengan mukena para santriwati membentuk elemen garis yang cukup simetris.

Budaya lokal dan soal keseharian masyarakat pun tak luput dari bidikan kamera stringer yang mengajar fotografi di Oaxaca City ini. Peristiwa budaya bukan hanya pertunjukan kesenian. Marcela juga mengeksplorasi proses prapertunjukan. Soal keseharian tampak, misalnya, dalam Women Bathing in the River: dua perempuan gembur yang tak lagi muda sedang berendam di sungai dengan posisi jongkok. Dengan timing yang tepat, ekspresi dua perempuan yang seperti tak berekspresi itu terekam dengan jelas. Bukan porno, tapi Marcela juga menunjukkan keindahan payudara gembur yang sebagian kecil terendam air.

Kehidupan dua dunia yang berbeda telah ditampilkan dua fotografer ini. Dengan dua lensa, keduanya memandang belahan dunia yang lain dan melukiskannya melalui cahaya. Dengan dua lensa pula, keduanya mampu ber­dialog soal kehidupan di belahan lain.

Pramono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus