Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<Font color=#FF0066>Kings of Leon</font> di Gurun Yudea

Perluasan permukiman Yahudi di Tepi Barat adalah pangkal terbesar rintangan perdamaian Israel-Palestina. Kecaman keras dunia internasional tak sedikit pun menyurutkan langkah Israel untuk terus membangun di wilayah yang dicaploknya pada 1967 itu. Perundingan pun macet. Mengapa permukiman begitu penting bagi Israel? Akhir Februari lalu wartawan Tempo Purwanto Setiadi—melalui program Australia-Israel & Jewish Affairs Council—mengunjungi sejumlah tempat di Israel, termasuk permukiman di Yerusalem timur. Laporannya—dari situasi terbaru Israel—menjawab sebagian pertanyaan di atas.

5 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pompa bensin di Almog itu bagaikan oasis di tengah gurun. Lokasinya sekitar 10 kilometer dari King Hussein Bridge (atau Allenby Bridge), yang menghubungkan Tepi Barat di bawah Israel dengan Yordania. Fasilitas di lingkungan tandus Gurun Yudea ini merangkap sebagai tempat peristirahatan. Selain pompa bensin, ada kedai kopi, minimarket, toko penjual kosmetik berbahan khas lumpur Laut Mati, juga arena bermain anak anak; di dekat jalan masuk dua ekor unta di­tambatkan. Di emperan bangunan utama digelar lapak kebab, suvenir, serta buah dan makanan khas setempat.

Menjelang tengah hari yang terik orang mulai butuh pengganjal perut dan keperluan lain di tengah perjalanan. Dan pompa bensin itu luar biasa sibuk. Kedai kopi, toko penjual kosmetik, minimarket, juga penjaja kebab di emperan, semua harus melayani pembeli yang silih berganti. Dari tiang bubungan, pengeras suara stereo menyelinapkan Kings of Leon, band rock pemenang Grammy Award dari Nashville, Amerika Serikat, yang ­meratap dalam irama reggae dengan Sex on Fire....

”Wow... menyenangkan bisa mendengar lagu ini di sini,” kata Noam, anak muda yang kebetulan mampir untuk menggunakan toilet dan mencari kopi. ”Rasanya bebas.”

Dia sudah bergegas kembali ke dalam mobil yang ditumpanginya sebelum sempat menjelaskan maksudnya. Tapi, sebenarnya, siapa pun akan bisa menafsirkan kata ”bebas” itu. Hanya satu: tak ada penjagaan ketat (paling tidak yang terlihat berseragam), tiada ketegangan, serta orang dari berbagai kalangan dan kelompok bisa berbaur tanpa hambatan apa pun.

Atmosfer di pompa bensin itu—sebuah kehidupan normal di negara yang dalam keadaan berperang sejak dideklarasikan—sesungguhnya bisa dira­sa­kan di banyak tempat di Israel, sepanjang jauh dari titik titik yang eksplosif. Di perbatasan, ekspektasi orang sebenarnya bisa saja lain. Tapi pompa bensin itu ”hanya” dekat dengan perbatasan Yordania, yang sejak 1994 sudah berbaik baik dengan Israel.

Dalam kenyataannya, King Hussein Bridge merupakan jalur hilir mudik orang yang terhitung sibuk antara Israel dan Yordania. Jembatan ini merupakan satu dari tiga pintu perbatasan yang ada. Banyak turus yang melin­tasinya. Biasanya mereka menumpang sherut (taksi atau minibus) atau kendaraan carteran, dari Damascus Gate di Muslim Quarter, kawasan Kota Tua, Yerusalem, atau beberapa tempat dan hotel di Amman. Tujuan utama mereka biasanya Yerusalem, mampir sebentar di Laut Mati tak jauh dari situ. Lama perjalanan sekitar enam jam.

King Hussein Bridge populer di kalangan pelancong. Di sinilah orang bisa menghindari ”stigma stempel Israel”—stempel imigrasi pada paspor tanda adanya kunjungan ke Israel, yang dilarang di setidaknya 19 negara. Untuk itu, biasanya stempel imigrasi di­terakan pada secarik kertas yang diselipkan di dalam paspor. Dengan begini, tanpa harus membawa bawa kertas itu, pemilik paspor tetap bisa berkunjung ke negara negara yang melarang masuk pembawa paspor berstempel imigrasi Israel.

Namun kehidupan normal itu sebe­narnya mudah goyah, kalau bukan ringkih....

l l l

Gush Etzion berada di tenggara Yerusalem, sekitar 20 kilometer, di bagian utara Gunung Hebron. Kondisi tanah kawasan di belahan selatan Tepi Barat ini cenderung gersang. Di musim dingin, seperti akhir Februari lalu, dengan angin yang kerap bertiup kencang, suhu bisa perlahan lahan menggigit. Tapi inilah kawasan permukim­an Yahudi yang ”dihidupkan” kembali seusai perang enam hari pada 1967, setelah Israel berhasil merebut dan menduduki sejumlah wilayah dari Mesir, Yordania, Libanon, dan Suriah.

Asal usul Gush Etzion bisa dilacak kembali ke masa 1920 an. Kala itu ada setidaknya empat kali usaha untuk mendirikan desa desa pertanian di sana, sebagian merujuk pada ayat dalam Kitab Kejadian. Tapi, karena perekonomian sulit, juga kemudian pecah perang dengan negara negara Arab, desa desa ini tak bertahan lama. Baru setelah 1967, atas desakan sejumlah organisasi dan tokoh Yahudi, termasuk beberapa pejabat, pemerintah Israel memberikan lampu hijau bagi pembangunan kembali permukiman di Gush Etzion.

Salah satu permukiman itu bernama Neve Daniel. Di sinilah Linda Friedburg tinggal. Perempuan asal New Jersey, Amerika, ini lulusan Jurusan Politik Ekonomi di Barnard College dan memperoleh gelar MBA bisnis internasional dari Baruch College, keduanya di New York. Sempat bekerja untuk Federal Reserve Bank di New York, pada 1988 dia memutuskan untuk melakukan aliyah (berimigrasi) ke Israel. Dia bertemu jodohnya, Ze’ev, asal Bobruisk, Belarusia, pada 1992. Kini mereka tinggal di rumah tiga lantai bersama enam anak.

”Silakan masuk. Silakan duduk,” katanya pagi itu. Dia mempersilakan tamunya mencicipi biskuit di meja. Suami dan anak anaknya sedang tak ada di rumah.

Bergaya vila dengan dinding batu, luas rumah itu sekitar 250 meter persegi. Di lantai bawah, rak berisi buku buku dalam bahasa Ibrani menyita sebagian dinding ruang yang menyatukan dapur dengan ruang keluarga. Selain itu, ada meja makan dan satu set sofa. Semuanya bagaikan berebut tempat. Sepe­rangkat piano dan gitar di dekat jendela di ruang keluarga mengisyaratkan bagaimana penghuni rumah mengisi sebagian waktunya—tentu tidak dengan kecemasan bertubi tubi. ”Kami biasa berkumpul di sini, bermain musik, dan bernyanyi,” kata Linda, yang beribu seorang soprano profesional.

Dalam sejarah Israel, aliyah merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam pembentukan negara. Israel bahkan aktif berusaha meningkatkan imigran—barangkali satu satunya nega­ra di dunia yang melakukannya. Di kabinet, ada yang bertugas untuk itu, yakni Kementerian Imigrasi dan Absorpsi. Kenyataannya, berkat aliyah, yang sudah berlangsung bahkan sebelum ­zio­nisme digaungkan pada akhir abad ke 19, lebih lebih karena ia didoktrin­kan sebagai panggilan agama, ­Israel bisa menghimpun salah satu unsur sua­tu negara—yakni rakyat—dan, pada saatnya, menikmati buah dari unsur itu.

Tanpa menyebut kata ”aliyah”, Dan Senor dan Saul Singer menyediakan satu bab dalam buku Start Up Nation: The Story of Israel’s Economic Miracle (Twelve, 2009) untuk membahas peran imigran Yahudi di balik kemajuan pesat ekonomi Israel. Sebagai negara kecil tanpa sumber daya alam, hanya dalam setengah abad Israel bisa berdiri sejajar dengan sebagian besar negara maju pendiri Organization for Economic Co operation and Development. Ukuran ekonominya, berdasarkan angka produk domestik bruto, mencapai US$ 202,6 miliar (pada 2008), dengan pendapatan per kapita US$ 28.474. Dan hingga tahun lalu Israel merupakan negara dengan jumlah perusahaan baru terba­nyak kedua setelah Amerika.

”Kaum imigran memainkan peran penting di balik keajaiban ekonomi Israel,” kata Saul Singer, kolumnis dan mantan redaktur Jerusalem Post, saat berbicara di hadapan wartawan Indonesia di Yerusalem.

Dari sisi jumlah, statistik mengenai laju imigrasi sejak 1948, ketika negara Israel dideklarasikan, menunjukkan angka yang berlipat lipat. Pada 1948 itu penduduk Israel hanya 806 ribu orang. Kini jumlahnya sudah melampaui tujuh juta orang. Sekitar tiga juta orang Yahudi berimigrasi ke Israel sepanjang 62 tahun itu. Jika dibandingkan, kaum pendatang lebih dari sepertiga total penduduk, hampir tiga kali rasio pendatang dengan penduduk asli di Amerika.

Senor dan Singer mengutip David McWilliams, ekonom Irlandia yang tinggal dan bekerja di Israel pada 1994, soal metode untuk memberikan ilustrasi data imigrasi itu: ”Di seluruh dunia, Anda bisa mengatakan seberapa beragam penduduk dengan aroma makanan di jalanan dan pilihan menu menunya. Di Israel, Anda bisa makan hampir setiap masakan khas, dari Yaman hingga Rusia, dari Mediterania sejati hingga bagel. Kaum imigran memasak dan itu persis yang dilakukan oleh gelombang demi gelombang kaum Yahudi miskin ketika mereka tiba setelah ditendang dari Bagdad, Berlin, dan Bosnia.”

Lebih dari sekadar keragaman, satu hal penting yang melekat pada kaum imigran itu adalah sikap ”melihat bukan pada apa yang bisa hilang, melainkan apa yang bisa dimenangkan”. Imi­gran tak pernah takut memulai dari nol—satu semangat dasar kewirausahaan. Imigran, dalam kata kata Gidi Grinstein, mantan penasihat Perdana Menteri Ehud Barak (1999 2001) dan pendiri Reut Institute, yang dikutip Senor dan Singer, ”secara definisi, adalah kaum pengambil risiko”. Dengan kata lain, sebagai negara imigran, Israel adalah juga negara kaum wirausaha.

Tapi peran yang signifikan itu sebenarnya mahal ongkosnya: pemerintah Israel, lebih daripada tindakan tindakan lain dalam proses absorpsi kaum pendatang, harus mengakomodasi pesatnya laju kebutuhan akan tempat tinggal—di luar sebab sebab alamiah. Konsekuensinya, permukiman harus terus dibangun. Di sinilah masalah­nya. Permukiman merupakan isu sensitif dalam proses penyelesaian konflik dengan Palestina, yang sebagian besar warganya menjadi pengungsi sejak Israel berdiri ataupun karena beberapa invasi belakangan. Pa da isu permukim­anlah wilayah Palestina dan keutuh­annya sebagai negara berdaulat tergantung.

Selama ini, permukiman tiada ­henti dibangun, sebagian besar di wilayah wilayah yang dianeksasi di Tepi Barat, Yerusalem timur (yang menurut Reso­lusi Dewan Keamanan ­Perserikatan Bangsa Bangsa Nomor 242 harus di­kembalikan kepada Palestina), dan Dataran Tinggi Golan. Di Tepi Barat saja, menurut data yang dipublikasikan Pa­lestine Israel Journal, hingga akhir tahun lalu jumlah pemukim Yahudi sudah melampaui setengah juta orang, 200 ribu di antaranya di Yerusalem timur.

Karena perkembangan itulah perundingan macet. Ketidakpercayaan me­nguat. Situasi begini sangat mudah memutar siklus kekerasan secara ajek. Ziad Abu Zayyad, mantan anggota Dewan Legislatif Palestina dan Menteri Luar Negeri Otoritas Palestina, dengan tangkas meringkaskan apa yang selalu dilakukan Israel dalam kaitan itu: ”Talk, talk. Bomb, bomb. Talk, talk. Build, build.”

Israel selalu punya dalih. Misalnya seperti dikemukakan Ehud Yaari, ko­lumnis dan komentator Channel Two. Menurut dia, Israel sebenarnya selalu mengajukan tawaran yang lebih baik setiap kali berunding, termasuk ihwal permukiman. ”Tapi tak pernah ditanggapi,” katanya. Atau, sebagaimana dikatakan Shani Abrams Simkowitz, Direktur Gush Etzion Foundation, yang berimigrasi dari Brooklyn, New York, pada usia 16, bahwa fasilitas fasilitas umum bagaimanapun tetap diperlukan meski pembangunan permukiman dihentikan. ”Dan itulah yang dilakukan,” katanya.

Tentu saja, keputusan Israel memulai pembangunan 1.600 rumah baru di Ramat Shlomo, Yerusalem timur, tiga pekan lalu menepis dengan telak dalih dalih itu. Langkah ini membuat berang Presiden Amerika Serikat Barack Obama, yang hendak menghidupkan lagi perundingan. Tapi bahkan itu pun tak mengubah pendirian Israel. Perdana Menteri BenjaminNetanyahu menegaskan bahwa ”tak satu pun pemerintahan Israel yang membatasi pembangunan di sekitar Yerusalem” dalam 40 tahun terakhir.

l l l

Sore belum terlalu tua di akhir pekan itu. Jam makan siang baru lewat separuh. Restoran seafood Benny Hada­yag (Benny Sang Nelayan) di kawasan Tel Aviv Port masih sibuk. Sangat sibuk, malah. Semua meja terisi; kalaupun ada yang kosong, segera tamu lain yang baru datang mengambil alih. Para pelayan berseragam hitam mon­dar mandir, menanyakan dan mencatat pesanan atau membawakan masakan yang sudah matang ke meja pemesannya. Sang maitre d’, penyambut tamu, seorang perempuan berkulit putih dan berperawakan langsing, menggoyang goyangkan tubuhnya di pintu masuk, mengikuti dentuman bas dan entakan drum dalam 99 Luftballons.

Entah apakah perempuan itu tahu bahwa lagu yang dipopulerkan Nena, one hit wonder dari Jerman, pada 1983 1984 itu merupakan lagu protes di era Perang Dingin. Andaipun dia tahu, barangkali dia juga tak menyadari benar betapa ganjilnya mendengarkannya dalam konteks konflik di Timur Tengah, khususnya antara Israel dan Palestina.

Tapi Tel Aviv, seperti pompa bensin di Almog itu, adalah kawasan dengan kehidupan normal. Paling tidak begitulah yang tampak. Kalaupun orang punya perhatian, bahkan kecemasan, terhadap situasi keamanan, semuanya tak terlihat atau terwujud, secara tak langsung, dalam aneka instalasi fisik—ke­cuali, barangkali, wajib militer dua hingga tiga tahun yang berlaku bagi laki laki dan perempuan berusia 18 tahun.

Lain halnya di Tepi Barat. Di wilayah ini, sepanjang tak kurang dari 400 kilometer, ada tembok beton setinggi hingga delapan meter yang memisahkan wilayah Israel dan Palestina. Israel mengklaimnya sebagai pelindung bagi warganya dari serangan bom bunuh diri, yang eskalasinya meningkat di masa intifada kedua, pada 2000. Sebaliknya, bagi Palestina, ”tembok apartheid” itu memperburuk kesengsaraan warga di sekitarnya. ”Mobilitas ekonomi mereka menjadi terbatas,” kata Munjid, kelahiran Kamp Pengungsian Aida di Betlehem yang bekerja di lingkungan Otoritas Palestina. Israel juga dituduh menyerobot tanah dengan bersembunyi di balik alasan keamanan.

Atau, contoh lain, di Sderot, kurang dari dua kilometer dari Jalur Gaza. Di kota berpenduduk sekitar 20 ribu orang yang sepi ini, bungker ada di hampir setiap rumah, di jalanan berupa halte bus, dan aneka bangunan di taman, bahkan berupa pusat penitipan anak di salah satu sudut kota. Semua beton itu didirikan demi melindungi warga kota terhadap serangan roket dari wilayah Gaza. Sistem sirene juga dipasang, yang bila aktif, memberi warga kurang dari 15 detik untuk berlindung.

Dengan kata lain, kehidupan normal yang ada, diakui atau tidak, sesungguhnya bersifat semu. Kelangsungannya sangat bergantung pada posisi para politikus yang berkuasa, yang bisa terombang ambing antara pandangan moderat yang melihat perdamaian adalah niscaya serta bisa dicapai dan pandangan garis keras yang yakin perdamaian hanyalah ilusi. Sebagian faktor yang bisa menggoyang arah kebijakan penguasa, apa boleh buat, berkaitan dengan isu permukiman. Dan, dengan begitu, juga kompleksitas isu mengenai aliyah—satu hal yang, sejak awal, substansial bagi eksistensi Israel.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus