Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEKAN-pekan ini adalah hari yang sibuk buat Sulaiman Arif Arianto. Sebagai orang yang ditugasi mengawal proses akuisisi Bank Jasa Arta, Sulaiman mesti memelototi dokumen satu per satu. ”Dokumen-dokumen itu masih ada yang harus dilengkapi,” kata Direktur Usaha Mikro Kecil dan Menengah Bank Rakyat Indonesia itu Kamis pekan lalu.
Pria ini ikut repot karena BRI punya agenda mustahak. Tak sekadar mengakuisisi Jasa Arta, bank yang lebih dari satu abad dicap sebagai ”banknya orang desa” itu akan mengubah bank tersebut menjadi bank umum syariah. Karena itu, setelah akuisisi kelar, BRI akan melapor ke Bank Indonesia untuk mengkonversi Jasa Arta. Proses konversi terhadap seluruh aset Jasa Arta ditargetkan rampung sebelum tutup tahun. ”Sehingga bisa beroperasi awal Januari 2008,” kata Sulaiman menambahkan.
Niat mengakuisisi Jasa Arta dan mengubahnya menjadi bank umum syariah itu resmi diumumkan bulan lalu, setelah rapat umum pemegang saham luar biasa BRI memberikan lampu hijau. Rapat juga menyetujui penyertaan modal Rp 500 miliar untuk bank syariah tersebut. Adapun kocek yang mesti dirogoh untuk menggenggam Jasa Arta sekitar Rp 61 miliar.
BRI kesengsem mendirikan bank umum syariah karena pasarnya masih terbuka lebar. ”Potensinya sangat besar,” kata Sofyan Basir, Direktur Utama BRI. Itu sebabnya BRI mendirikan anak usaha biar lebih berfokus dalam merambah bisnis syariah.
Demi mewujudkan rencana tadi, BRI akan melebur semua unit usaha syariahnya ke dalam bank yang sudah dikonversi. Dengan begitu, bank umum syariah ini akan memiliki 51 cabang, yang berasal dari 45 cabang unit usaha syariah BRI dan 6 cabang bekas Jasa Arta. Total asetnya Rp 1,8 triliun. Sofyan berharap anak perusahaan BRI itu bisa tumbuh 20-25 persen per tahun.
Sejak lima tahun lalu, BRI sesungguhnya punya unit usaha syariah. Tapi labanya kecil ketimbang unit syariah bank lain. Per Juni tahun ini, total aset unit usaha syariahnya Rp 1,14 triliun. Dana yang disalurkan ke pembiayaan Rp 1,1 triliun. Adapun dana pihak ketiga yang mengalir Rp 376 miliar dengan laba bersih Rp 2,7 miliar. Bandingkan dengan unit usaha syariah BII, yang asetnya cuma Rp 213 miliar, tapi labanya menembus Rp 5,5 miliar. Laba terbesar unit syariah digenggam Bank Niaga, dengan pencapaian Rp 10,4 miliar.
BRI bukan satu-satunya yang berikhtiar mendirikan bank syariah. Sejak Mei lalu, niat Bank Central Asia membentuk bank syariah juga berembus kencang. BCA bahkan sudah melakukan penjajakan dengan empat bank kecil. Dana yang disiapkan untuk akuisisi Rp 200 miliar.
Bank swasta terbesar di Indonesia itu mematok target, tahun depan sudah punya bank syariah. Masalahnya, ”Setiap BCA melamar, mereka minta maskawin berlian seribu karat,” kata Jahja Setiaatmadja, Wakil Presiden Direktur BCA. Itu sebabnya BCA belum menemukan jodoh karena harga yang diminta kelewat tinggi.
Tak mau ketinggalan dengan BCA, Bank Lippo terjun ke bisnis yang sama dengan membentuk unit usaha syariah. Dengan fulus Rp 5 miliar, unit usaha yang dinamai Lippo Bank Salam itu ditargetkan beroperasi bulan depan. ”Pembukaan unit usaha syariah ini untuk mengantisipasi perkembangan bisnis perbankan syariah di masa depan,” kata Leo Stacey Suryoputro, juru bicara Bank Lippo.
Sebagai langkah awal, Lippo Bank Salam akan lebih berfokus ke pembiayaan retail dan usaha kecil-menengah, tapi tidak menutup kemungkinan memberikan modal kerja nasabah ataupun investasi dengan konsep murabahah (jual beli) Sedangkan di sektor konsumer, Lippo Salam hendak mencurahkan dananya ke sektor perumahan serta kendaraan bermotor dengan konsep murabahah dan waad murabahah.
Dengan aset 1,7 persen dari total aset perbankan nasional, ceruk bisnis perbankan syariah memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Apalagi Bank Indonesia punya cetak biru, pangsa pasar perbankan syariah akhir tahun depan harus mencapai 5 persen, dan 10-15 persen pada 2015. Artinya, hingga tahun depan, bank-bank ini akan memperebutkan 3,3 persen pangsa pasar yang belum tergarap. ”Dengan total aset perbankan Rp 1.700 triliun, periuk bisnis yang diperebutkan setara dengan Rp 56 triliun,” kata Jahja.
Potensi bisnis itulah, kata Adiwarman Karim, Presiden Karim Business Consulting, yang melandasi bank-bank besar, seperti HSBC, terjun ke bisnis syariah. ”Mereka melihat Indonesia sesungguhnya pasar yang dahsyat,” ujarnya. Ujung-ujungnya jelas perkara duit. ”Bukan soal keimanan akan prinsip syariah.”
Kepada Tempo, Ramzi A. Zuhdi, Direktur Direktorat Perbankan Syariah BI, menambahkan, berlomba-lombanya bank masuk ke perbankan syariah karena mereka tak ingin kehilangan nasabah. ”Juga jangan sampai ketinggalan kereta karena tren dunia mengarah ke sana,” kata Ramzi. Apalagi, belakangan, tidak ada inovasi baru dalam bisnis perbankan konvensional.
Hingga Agustus lalu, ada 135 lembaga yang menggeluti perbankan syariah, terdiri atas 3 bank umum syariah, 24 unit usaha syariah, dan 108 bank perkreditan rakyat syariah. Jumlah itu terus membengkak. Bukan hanya karena ada BCA dan Lippo, tapi juga karena masih ada sepuluh bank yang antre mengajukan izin pendirian, baik berupa bank maupun unit syariah. Di antaranya Bank Victoria dan BTPN.
NYATANYA, semarak bank-bank terjun ke perbankan syariah, serta label negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, belum bisa menggelembungkan kue bisnis perbankan syariah Indonesia hingga bisa melampaui negara lain. Bahkan dengan negara bukan berpenduduk muslim sekalipun.
Di Malaysia, misalnya, peran bank syariah sudah mulai mengimbangi bank konvensional. Per Desember 2006, aset bank syariah di negeri jiran itu tercatat 63 miliar ringgit. Bila dirupiahkan, itu setara dengan Rp 189 triliun. Nilai itu mencapai 53 persen dari total aset perbankan Malaysia.
Inggris bahkan memproklamasikan diri sebagai pusat keuangan syariah dunia. Di negeri itu, undang-undang pajak diubah agar tidak terjadi pajak ganda. Yang paling anyar, di negeri Ratu Elizabeth itu pun berkembang sejumlah standar kebijakan keuangan syariah. Salah satunya kualifikasi keuangan syariah, Islamic Finance Qualification, yang diluncurkan Securities and Investment Institute.
Lambatnya pertumbuhan aset perbankan syariah Indonesia, kata Ketua Asosiasi Bank Syariah Indonesia Riawan Amin, disebabkan oleh adanya pengenaan pajak ganda dalam transaksi murabahah (jual-beli). Padahal transaksi murabahah per Agustus lalu mencapai 59,94 persen dari total pembiayaan perbankan syariah.
Penarikan pajak pada transaksi jual-beli itu terjadi sejak era Hadi Purnomo, Direktur Jenderal Pajak sebelum Darmin Nasution. ”Padahal dulu-dulu transaksi murabahah bukan merupakan subyek pajak,” katanya.
Ketentuan ini berbeda dengan di Malaysia, yang secara tegas menyatakan bahwa produk-produk perbankan syariah tidak dikenai pajak ganda. Pengenaan pajak pada transaksi murabahah itu bisa menciptakan keengganan bagi perbankan dalam mengembangkan bisnis syariah.
Laju pertumbuhan perbankan syariah juga tersendat karena bank-bank syariah mengerem penerimaan dana pihak ketiga dalam beberapa bulan terakhir. Pengereman ini terjadi karena bank syariah tidak bisa serta-merta melemparkan dana yang masuk dalam bentuk pembiayaan. Usaha bagus yang layak didanai memang makin sedikit. Nyaris sama dengan yang terjadi di perbankan konvensional. ”Akibatnya, terjadi kelebihan likuiditas,” kata Adiwarman.
Padahal instrumen pasar uang yang tersedia buat perbankan syariah hanya Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI), yang bagi hasilnya cuma 3 persen. Nilai itu tidak cukup buat membayar bagi hasil nasabah bank syariah, yang mencapai 8-10 persen.
Itu sebabnya praktisi perbankan syariah meminta bank sentral segera mengeluarkan instrumen baru, misalnya SBI syariah. Sehingga, kalau ada kelebihan likuiditas, bisa ditaruh di situ. Tapi sebelum SBI syariah diterbitkan, Riawan Amin meminta SWBI juga dibenahi. ”Apa salahnya kalau bagi hasilnya dinaikkan sama dengan SBI sehingga tercipta lahan bermain yang seimbang buat perbankan syariah,” kata Riawan, yang juga Direktur Utama Bank Muamalat.
Riawan menilai bank konvensional selama ini diuntungkan Sertifikat Bank Indonesia. Dengan adanya SBI, bank konvensional bisa memompa aset tanpa harus repot mencurahkannya ke sektor riil. ”Sehingga semua dana masyarakat bisa mereka lahap,” katanya.
Kelebihan likuiditas itu dipandang berbeda oleh bank sentral. Menurut Ramzi Zuhdi, keengganan bank syariah menerima simpanan masyarakat—terutama dalam jumlah besar—karena bank-bank tersebut belum memiliki tenaga andal yang bisa menyalurkan pembiayaan ke industri yang membutuhkan dana besar, seperti pertambangan dan pembangkit listrik.
Segmen pembiayaan yang digarap bank syariah pun tidak banyak berubah. Kalau tidak ke sektor jasa dunia usaha, pembiayaan bank syariah itu mengalir ke perdagangan, restoran, dan hotel. Sedangkan penyaluran pembiayaan perbankan syariah (financing to deposit ratio) sudah melebihi 100 persen.
Pembatasan penerimaan dana pihak ketiga itu menyebabkan pertumbuhan perbankan syariah tidak sekencang tahun-tahun sebelumnya, yang bisa mencapai 60 persen. ”Kini pertumbuhannya 30-40 persen,” kata Ramzi.
Adapun jumlah nasabah yang loyal kepada perbankan syariah baru 14,1 persen. Nasabah yang taat kepada bank konvensional 24,7 persen. Sisanya adalah nasabah yang suka pindah-pindah demi mencari keuntungan jumbo.
PRAKTISI perbankan syariah sebenarnya bisa sedikit tersenyum setelah pemerintah berencana menghapus pajak ganda. Semangat itu tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Pajak yang tengah dibahas DPR. ”Penghapusan itu langkah positif,” kata Dawam Rahardjo, cendekiawan yang ikut merintis pendirian Bank Muamalat pada 1991.
Hanya, Dawam berpendapat, semangat mengembangkan perbankan syariah tidak boleh diiringi dengan pemaksaan. Misalnya, tidak boleh warga muslim wajib menjadi nasabah syariah atau hanya yang muslim yang berhak menjadi nasabah bank syariah.
Pilihan terhadap perbankan syariah, kata dia, harus bersifat sukarela. Apalagi perbankan syariah hanyalah salah satu produk ekonomi. Itu sebabnya, empat tahun lalu, ia menentang fatwa Majelis Ulama Indonesia yang menyatakan bunga bank konvensional haram. ”Jangan masukkan unsur politik ke dalam bank syariah,” katanya, ”karena bank syariah itu bukan ideologi.”
Yandhrie Arvian, Retno S., Dianing Sari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo