Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Instrumen pasar modal yang bernapaskan syariah kini kian beragam. Ada saham, obligasi, dan reksa dana. Pendek kata, para pemilik uang yang ragu-ragu pada produk bursa konvensional kini punya banyak pilihan. Dari daftar Bapepam yang dirilis pertengahan September lalu, saat ini ada 169 efek syariah jenis saham dan 20 obligasi (sukuk) yang dikeluarkan emiten.
Sejak lima tahun lalu, misalnya, Indosat sudah menerbitkan obligasi syariahnya yang pertama, yakni Obligasi Syariah Mudharabah Indosat 2002. Tiga tahun kemudian, perusahaan telekomunikasi terbesar kedua di Indonesia itu kembali menerbitkan Obligasi Syariah Ijarah Indosat 2005.
Dalam paparan publik pada 18 April lalu, perusahaan yang mayoritas sahamnya kini dikuasai Singapore Technologies Telemedia itu, lagi-lagi, mengumumkan penerbitan Sukuk Ijarah Indosat II Tahun 2007 senilai Rp 300 miliar. Penerbitan obligasi syariah yang ketiga ini berbarengan dengan penerbitan obligasi konvensional senilai Rp 1,7 triliun.
Penerbitan sukuk tahun ini, kata juru bicara Indosat Adita Irawati, untuk belanja modal, khususnya di bisnis seluler. ”Kami menargetkan pembangunan base transceiver station 3.500–4.000 menara tahun ini,” katanya. Indosat tahun ini menargetkan ada penambahan jumlah pelanggan lagi sebanyak enam sampai tujuh juta orang dari 17 juta orang pada tahun lalu.
Selain Indosat, PLN juga telah mengeluarkan sukuk dua kali pada tahun lalu dan tahun ini. Bank Syariah Muamalat dan Bank Syariah Mandiri juga pernah menerbitkan obligasi syariah pada 2003. Selain obligasi, perusahaan-perusahaan dari berbagai sektor industri juga sudah memanfaatkan pasar saham syariah.
Sayangnya, meski pertumbuhan pasar efek syariah meningkat, belum banyak yang memanfaatkan investasi di sektor ini. Padahal, kata Manajer Investasi Recapital Asset Management Ahmad Subagja, ceruk pasarnya masih sangat besar. Investor dari Timur Tengah pun sudah menyatakan minat untuk masuk ke Indonesia. ”Ini karena kurang sosialisasi,” katanya.
Pasar, dia melanjutkan, sebenarnya juga menunggu sukuk yang akan dikeluarkan pemerintah, tapi obligasi itu tak juga meluncur ke pasar karena masih belum ada aturan yang memayunginya. Berikut ini perkembangan beberapa produk efek syariah. Siapa tahu Anda juga tertarik berinvestasi di sini.
Saham Syariah Prinsip-prinsip ketentuan transaksi saham syariah sama dengan ketentuan pasar modal konvensional. Insider trading, memakai informasi orang dalam untuk memperoleh keuntungan, dan menimbulkan informasi yang menyesatkan juga tidak diperkenankan. Yang berbeda adalah margin trading, yakni melakukan transaksi efek syariah dengan pinjaman berbasis bunga untuk menyelesaikan kewajiban, tidak diperkenankan.
Kriteria emiten atau perusahaan publik yang menerbitkan efek maupun jenis usaha, barang, atau jasa yang dihasilkannya pun tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Usaha seperti perjudian atau segala bentuk permainan yang berbau judi, jelas diharamkan.
Lembaga keuangan, termasuk perbankan dan asuransi, yang mengambil riba (keuntungan dari bunga), tidak boleh terlibat dalam transaksi ini. Juga produsen, distributor, atau pedagang makanan dan minuman haram dilarang keras ikut-ikutan. Bahkan melakukan investasi pada emiten yang ketika bertransaksi masih memiliki utang kepada lembaga keuangan ribawi, lebih dominan dari modalnya, juga terlarang.
Emiten dari berbagai sektor industri telah menerbitkan saham syariah. Di sektor pertanian ada Astra Agro Lestari dan London Sumatra, di sektor pertambangan ada Aneka Tambang dan Tambang Batubara Bukit Asam, serta di sektor jasa, perdagangan, dan investasi ada Indofood Sukses Makmur dan Unilever Indonesia.
Dilihat dari sisi kinerja, kinerja saham yang masuk dalam Jakarta Islamic Index tumbuh 55,83 persen, yaitu dari 199,75 di akhir 2005 menjadi 311,28 pada akhir 2006. Kinerja JII itu bahkan jauh lebih baik dibandingkan dengan Indeks LQ45 yang naik 54,55 persen menjadi 393,11 pada akhir 2006. Juga, lebih baik dari Indeks Bursa Jakarta yang pada akhir tahun lalu naik 55,29 persen menjadi 1.805,52.
Obligasi Syariah Obligasi syariah merupakan surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah. Emiten harus membayar pendapatannya kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Di Indonesia terdapat dua skema obligasi syariah, yaitu obligasi syariah mudharabah dan obligasi syariah ijarah. Mudharabah adalah obligasi syariah yang menggunakan akad bagi hasil. Pendapatan investor diperoleh setelah mengetahui pendapatan emiten. Sedangkan ijarah merupakan obligasi syariah yang menggunakan akad sewa, sehingga kupon (fee ijarah) bersifat tetap dan bisa diketahui atau diperhitungkan sejak awal obligasi diterbitkan.
Dibandingkan dengan produk efek lainnya, obligasi syariah tumbuh paling kecil, yakni 6 persen, dan nilai emisinya tumbuh 10 persen. Secara kumulatif, sampai akhir 2006 emiten yang telah mendapat izin dari Bapepam untuk menerbitkan obligasi syariah mencapai 17 perusahaan (10,49 persen dari total emiten), dengan total emisi Rp 2,21 triliun atau 2,15 persen dari total nilai emisi obligasi.
Reksa Dana Syariah Akad antara pemodal sebagai pemilik harta (sahib al-mal/rabb al-mal) dan manajer investasi sebagai wakil sahib al-mal atau antara manajer investasi sebagai wakil sahib al-mal dan pengguna investasi.
Hubungan pemodal dan manajer investasi dilakukan dengan sistem wakalah: pemodal memberikan mandat kepada manajer investasi untuk melaksanakan investasi bagi kepentingan pemodal. Sedangkan hubungan antara manajer investasi dan pengguna investasi menggunakan sistem mudharabah atau qirad: keuntungan yang akan diperoleh nantinya dibagi, sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati kedua belah pihak.
Soal risiko? Pemodal hanya menanggung risiko sebesar dana yang telah diberikan. Begitu pula, manajer investasi sebagai wakil tak menanggung risiko kerugian atas investasi yang dilakukannya sepanjang bukan karena kelalaiannya.
Investasi yang dibolehkan tentu saja adalah instrumen keuangan yang sesuai dengan syariah Islam, misalnya mengalokasikan seluruh dana/portofolio pada saham-saham yang tergabung dalam Jakarta Islamic Indeks (JII), obligasi syariah, dan berbagai instrumen keuangan syariah lainnya.
Pertumbuhan pasar reksa dana syariah sampai akhir tahun lalu paling tinggi dibandingkan produk pasar efek lainnya. Sepanjang 2006, reksa dana syariah tumbuh 35,3 persen dan nilai aktiva bersih tumbuh 29,4 persen dibanding 2005. Hingga akhir 2006 terdapat 23 reksa dana syariah (5,71 persen dari total reksa dana). Sedangkan nilai aktiva bersih per 22 Desember 2006 mencapai Rp 723,40 miliar atau baru 1,40 persen dari total nilai aktiva bersih reksa dana.
Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia BI selaku bank sentral diperbolehkan Dewan Syariah Nasional dan MUI menerbitkan instrumen moneter Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia (SWBI), yang bisa dimanfaatkan bank syariah untuk mengatasi kelebihan likuiditasnya.
Akad yang digunakan instrumen ini adalah untuk giro dan tabungan perbankan syariah. Selain itu, dalam SWBI tidak boleh ada imbalan yang disyaratkan kecuali dalam bentuk pemberian (’athaya) yang bersifat sukarela dari pihak BI. Instrumen ini juga tidak boleh diperjualbelikan.
Data BI menunjukkan, dana yang tersimpan di sertifikat ini pada Agustus 2007 (outstanding) mencapai Rp 982,7 miliar. Sementara itu, aset SWBI pada Agustus tahun ini hanya 3,26 persen dari total aset perbankan syariah.
Grace S. Gandhi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo