Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rina termasuk nasabah setia bank syariah. Enggak percaya? Intip saja laci almari di rumahnya. Di sana, tersimpan dua buku tabungan bersampul Bank Muamalat dan Bank Syariah Mandiri. Ini belum termasuk dua sertifikat deposito dari dua bank itu.
Rupanya, kesetiaan ibu satu anak itu menyimpan duit di bank syariah sudah berlangsung belasan tahun. Sejak masih berstatus mahasiswa Universitas Padjadjaran pada 1998, ia sudah tercatat sebagai nasabah bank syariah tertua di Indonesia itu. Lima tahun terakhir, ia menjadi nasabah Bank Syariah Mandiri.
Perempuan 31 tahun itu merasa lebih sreg menitipkan pundinya di bank jenis ini ketimbang di bank konvensional. Alasannya, tidak ada bunga—yang dikenal sebagai riba—dalam keyakinannya. ”Lebih save, lebih bersih dari bunga,” ujarnya mantap. Hal yang sama terjadi pada Sik Sukmaedi, yang sejak SMA sudah jadi nasabah Bank Muamalat.
Menurut Direktur Syariah Bank Internasional Indonesia Ventje Rahardjo, Rina dan Sukmaedi adalah contoh nasabah bank syariah yang punya kaitan secara emosional. Keduanya memilih bank syariah lebih karena menghindari bunga atas simpanan yang biasa diberikan bank-bank konvensional.
Namun, di luar mereka, ada juga nasabah rasional yang melihat perbankan syariah sebagai alternatif. Seperti kutu loncat, mereka menaruh dan menarik dananya dari bank konvensional ke bank syariah, atau sebaliknya. Pada saat suku bunga bank rendah seperti sekarang, misalnya, mereka banyak menclok ke bank syariah.
Nasabah BII, kata Ventje menambahkan, tidak sedikit yang berperilaku seperti kelompok kedua ini. ”Kelompok masyarakat yang seperti ini banyak, tapi sulit diukur berapa besarannya,” katanya. Persoalannya, kalau mereka tidak dilayani, BII khawatir mereka justru dengan cepat hinggap ke bank lain yang memberikan penawaran lebih baik.
Di tengah tingkat suku bunga perbankan konvensional yang terus menurun belakangan ini, bank-bank syariah memang bisa menjadi pilihan investasi yang menarik. Hal itu dikatakan oleh anggota Dewan Syariah Nasional, Adiwarman Azwar Karim. Menurut dia, selain berperan dalam menegakkan hukum Islam, nasabah syariah juga bisa mendapatkan bagi hasil lebih tinggi. ”Ada yang 10 persen.”
Mari kita perbandingkan perolehan bunga dengan bagi hasil bank syariah. Cara menghitung bagi hasil di bank syariah memang agak ribet dibandingkan dengan menghitung bunga pada bank biasa. Misalnya, seorang nasabah menyimpan duit Rp 100 juta. Jumlah itu merupakan 0,1 persen dari total dana pihak ketiga, yang mencapai Rp 100 miliar. Bank menentukan nisbah bagi hasil 40 : 60.
Jika bank tersebut meraih laba pada bulan itu misalnya Rp 20 miliar, jatah untuk seluruh nasabah adalah 40 persen atau sekitar Rp 8 miliar. Sisanya, yang 60 persen (Rp 12 miliar), menjadi bagian bank. Maka pada bulan itu penyimpan dana sebesar Rp 100 juta tersebut akan memperoleh bagi hasil 0,1 persen dikalikan Rp 8 miliar, yakni Rp 8 juta.
Angka ini jika dibandingkan dengan bank konvensional memang akan lebih tinggi. Perhitungannya mengacu pada suku bunga patokan alias BI Rate. Pada saat BI Rate 8,25 persen seperti sekarang, bunga bank konvensional berada di bawah itu, 6-7 persen. Artinya, bila duit si nasabah Rp 100 juta, dengan bunga 7 persen, dia hanya mengantongi tambahan Rp 7 juta.
Masalahnya, bagi hasil bank syariah bisa naik-turun setiap bulan, tergantung laba dan total dana pihak ketiganya. Ada pula risiko yang secara langsung dirasakan penyimpan bila terjadi masalah di sisi pembiayaan. Misalnya jika terjadi kredit macet atau peminjam default. Kalau itu yang terjadi, laba bank akan turun, dan bagi hasil untuk nasabah pun mengecil. Lagi-lagi, kuncinya terletak pada pemilihan bank yang tepat dan aman.
Retno Sulistyowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo