Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kepuasan dan klimaks tiap kali orang berjalan ke puncak gunung adalah ekspresi perasaan mistik serta kekaguman kepada yang transenden.
Ketika berada di puncak, kita menjadi tahu: bukan kejayaan yang ada di sana, melainkan diri sendiri.
Gunung bukanlah sebuah area atau kawasan yang bisa kita jadikan budak di bawah tujuan-tujuan eksistensial dan kebebasan kita, persis karena gunung juga memiliki kebebasan intrinsik yang mesti kita hargai.
MENGAPA orang naik gunung? Bersusah-susah membawa tubuh, menanggung beban, menempuh jarak, mencapai ketinggian dengan risiko kematian, hanya untuk meluncur kembali ke dasar dalam kelelahan yang sia-sia? Filsafat menyediakan setidaknya tiga pandangan untuk menjawab pertanyaan ini: transendental, antroposentrisme, dan diri-ekologis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam sudut pandang transendental, orang naik gunung karena ingin menemukan yang Ilahi di alam. Di Amerika Serikat, pandangan ini dimulai dari tradisi Unitarian Harvard Divinity School yang mengalir ke pandangan panteisme Ralph Waldo Emerson. Bagi mereka, alam adalah sarana pengungkapan dan jembatan memandang yang Ilahi. Tuhan merealisasi diri-Nya ke pelbagai wujud alam, dari rumput hingga mahkluk hidup lain yang serba kompleks. Kepuasan dan klimaks tiap kali orang berjalan ke puncak gunung adalah ekspresi perasaan mistik serta kekaguman kepada yang transenden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pandangan lain mengatakan orang naik gunung justru untuk menemukan diri sendiri, bukan yang Ilahi. Pelopor pendakian Everest, George Mallory, mengatakan kita mendaki gunung semata-mata karena ia “ada di sana”. Gunung itu yang menantang serta mengundang, lalu kita menjawab dengan mendakinya. Ketika berada di puncak, kita menjadi tahu: bukan kejayaan yang ada di sana, melainkan diri sendiri.
Gunung sering dipandang sebagai kawasan yang murni dari intrusi cela sosial manusia. Kemurnian gunung sering dikontraskan dengan “dunia” sehari-sehari, dengan kota, perang, dan industri. Jean-Jacques Rousseau yang romantis membayangkan “wandering in the forests, without industry, without speech, without domicile, without war and without liaisons, with no need of his fellow-men, likewise with no desire to harm them” (Rousseau dalam Rebecca Solnit, hlm 56) .
Ketika gunung dianggap menyediakan “kemurnian sosial”, kita tak memerlukan sesama sekaligus tidak punya niat menyakitinya. Itu sebabnya Rousseau begitu mencintai berjalan melintasi alam sendirian. Berjalan baginya adalah “mode of being”, modus untuk mengada di dunia—orang berada di dunia sekaligus terpisah dari dunia. Karena itu, bagi Rousseau, tiap kali melintasi alam, orang akan menemukan otonomi diri dan kemampuan untuk self-sufficient.
Lebih jauh dari Rousseau, banyak juga orang yang berpandangan bahwa para pendaki sejati semestinya para penyendiri, pencari kebebasan yang solipsistik. Mereka mendaki untuk lari dari keriuhan. Bagi mereka, masyarakat sehari-hari penuh dengan racun, kotor, dan merusak. Alam adalah obat dan puncak gunung semacam antiseptik paling mujarab untuk membersihkan diri dan menyembuhkan borok-borok sosial individu.
Woodrow Wilson Sayre, filsuf dan keponakan Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson, yang mendaki Everest pada 1962, mengumpamakan masyarakat seperti selai dalam stoples yang rusak oleh jamur. Bagi dia, ide “kebersamaan” sudah merusak masyarakat, laksana jamur merusak selai. Karena itu, orang mesti menemukan kesendirian yang solitude supaya bisa hidup dengan sehat.
Sayre mendaki Everest melalui jalur Tibet karena ingin menemukan jalur yang belum dipakai pendaki lain. Sayre memandang masyarakat sebagai monster yang selalu ingin menerkam tiap individu. Mendaki gunung akan memutus hubungan kita dengan masyarakat dan menyediakan kebebasan paripurna yang sementara. Bagi Sayre, yang memuja individualisme, perayaan kebebasan sejati hanya mungkin ada di gunung.
Cara pandang invidualisme radikal Sayre ini tecermin dalam falsafah Reinhold Messner, pendaki Italia yang menjadi manusia pertama yang mencapai puncak Everest tanpa tabung oksigen. Ia mengatakan mendaki gunung pada hakikatnya adalah soal kebebasan, untuk melampaui segala aturan dan mengambil kesempatan mengalami hal-hal baru... Imajinasi lebih penting ketimbang otot. (National Geographic UK, 3 Agustus 2009). Bagi Messner, peluang kebebasan ada dalam keberanian menghadapi yang tidak diketahui. Karena itu, ia selalu mendaki gunung melalui jalur baru yang ia jelajahi sendiri. Hanya dengan itu pendakian menyediakan misteri dan petualangan. Sebab, bagi Messner, tanpa kemungkinan kematian, petualangan itu mustahil.
Lepas dari pujian, para filsuf ini memposisikan gunung sebagai sosok di luar diri. Area istimewa yang menyediakan kolam pemurnian dari masyarakat sehari-hari yang kotor. Bagi mereka, gunung adalah sarana memenuhi kebutuhan eksistensial, medium mengalami kebebasan. Dari segi ini, bahkan metafora Sisifus yang dibayangkan Albert Camus untuk menjelaskan absurditas ikut serta memposisikan gunung sebagai sarana dasar bagi kemungkinan eksistensial manusia.
Absurditas eksistensi manusia dalam takdir kekal adalah mendaki dan mendorong batu untuk kemudian menggelindingkannya lagi. Yang membedakan Camus dengan Sayre ada dalam cara pandang mereka. Bagi Camus, gunung adalah lambang kutukan dan nasib tragis, sementara Sayre melihat gunung sebagai satu-satunya kesempatan mengalami kebebasan. Meski demikian, baik Camus, Sayre, maupun Rousseau sama-sama melihat gunung dari sudut pandang antroposentrisme yang berfungsi memperluas “ego-self” manusia.
Sejarah menunjukkan salah satu pangkal klaim keunggulan antroposentrisme berawal sekitar empat juta tahun lalu, ketika manusia mulai memiliki kemampuan berjalan tegak dengan dua kaki (bipedal). Ada yang bilang kemampuan itu sebagai respons manusia akibat krisis ekologi purba yang mendorong mereka berjalan jauh untuk mendapatkan makanan. Kemampuan manusia itu kemudian mendorong mereka menjelajahi alam, dan secara unik menjadikan gunung serta alam yang semula bersamanya sebagai obyek pandangan serta destinasi kedua kakinya. Dari segi ini, kedua kaki manusia secara ironis menjadi simbol yang melambangkan ketersesatan akan asal-usul kebersatuannya dengan alam.
Pandangan antroposentris ego-self tidak bisa kita jadikan patokan lagi. Sebab, kini gunung sudah tidak bisa kita perlakukan sebagai “pojok” yang mistis, murni, dan solitude lagi. Gunung kini menjadi ruang yang telah terindustrialisasi dan menderita berat. Cara pandang ego-self yang memposisikan gunung sebagai obyek kebebasan telah menambah penderitaannya.
Untuk menolak pandangan antroposentris terhadap gunung, kita bisa memulai dari penyair Amerika Serikat, Henry David Thoreau. Thoreau mencintai gunung karena di ketinggian ia mengalami perjumpaan yang khaostis. Dalam The Maine Woods ia mengatakan, saat orang menuju puncak, seluruh akal-budinya luruh, samar, makin tipis, subtil laksana udara yang menguap. Alam yang gergasi menyergapnya dalam kesendirian dan mencuil dimensi keilahian dari manusia.
Menurut Thoreau, alam, batu, jurang, dan puncak adalah elemen yang terus berubah, menjadi, tak pernah final. Perjumpaan dan konfrontasi dengan gunung adalah rendezvous dengan “primal chaos”, di mana akal dan cakrawala transenden justru rontok. Itulah sebabnya perjumpaan dengan gunung senantiasa mengejutkan bukan karena pesona tremendum et fascinosum yang dibayangkan kaum transendental, melainkan lantaran rasa kebaruan yang tak habis-habis. (Christopher Sutch, Journal of Historical Sociology, 2014). Thoreau memposisikan gunung sebagai subyek otonom yang berhadap-hadapan dengan subyektivitas manusia.
Deskripsi Thoreau mengantar kita pada pandangan “diri-ekologis” (eco-self) Arne Næss, yang melihat “self” hanya satu bagian bersama “self-self” lain dalam ecosphere yang lebih luas dan kompleks. Setiap makhluk memilik hak untuk sama-sama merealisasi diri dalam semesta ini, termasuk gunung, pohon, dan segala makhluk di dalamnya.
Gunung bukan semata obyek pikiran kita yang diam dan bisu. Gunung bukanlah sebuah area atau kawasan yang bisa kita jadikan budak di bawah tujuan-tujuan eksistensial dan kebebasan kita, persis karena gunung juga memiliki kebebasan intrinsik yang mesti kita hargai. Berhadapan dengan gunung sama-setara saat kita berhadapan dengan sesama manusia. Di sini prinsip yang berlaku adalah kalau tindakanmu akan berakibat pada penderitaan makhluk lain, sebaiknya kamu jangan bertindak! Gunung memang tidak mampu meneriakkan sakit dan menyuarakan penderitaannya. Karena itu, satu-satunya cara menghargainya adalah berhenti melakukan tindakan yang mengakibatkan risiko penderitaan baginya.
Dalam cara pandang diri-ekologis, individualitas dan otonomi setiap makhluk harus dihargai. Pada saat yang sama, segala demarkasi antroposentris yang menempatkan “ego-self” manusia sebagai “self” yang istimewa dan berada di puncak hierarki makhluk hidup digugurkan. Manusia tidak lebih berhak hidup dibanding binatang, hutan, dan gunung.
Dengan cara pandang tersebut, berjalan atau mendaki secara ekologis tidak pernah bersifat individual karena dalam tiap pendakian kita selalu sedang mendaki bersama gunung itu sendiri. Bukan kita yang pertama-tama memandang dan memikirkan gunung, melainkan gunung yang memikirkan kita. Kita mendaki sebagai praktik berbagi kebebasan dengan alam dari kekangan waktu. Dengan mendaki, kita menunda dan melampaui rezim waktu dan kecepatan. Itu sebabnya pendakian tidak boleh menjadi perlombaan. Hakikat dan kekuatan mendaki hanya bisa ditemukan dalam tiap langkah episodik yang mempersatukan kaki, derap jantung, dan paru-paru kita dengan gunung.
Dalam perjalanan ke Everest, seorang porter di Himalaya berkata, “Semua gunung bisa didaki, asalkan kita melangkah dengan perlahan tapi terus. Jangan pernah memandang dan mencari di mana puncaknya. Pandang saja langkah di hadapanmu, maka gunung yang akan membawamu ke puncaknya.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo