Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENYAKSIKAN liputan penanganan gempa bumi dan tsunami Palu di televisi, Bambang Darmono masygul. Nyaris tak putus-putusnya ia memelototi layar kaca sejak bencana menerpa Sulawesi Tengah pada Jumat dua pekan lalu. Tapi, menurut Bambang, tak sekali pun ia melihat helikopter tersorot kamera. “Dari kejauhan, saya menduga ada respons tanggap darurat yang keliru,” kata Bambang, Kamis pekan lalu.
Bambang, 67 tahun, adalah Komandan Satuan Tugas Bantuan Tentara Nasional Indonesia dalam penanggulangan gempa dan tsunami yang melanda Aceh pada akhir 2004. Tentara waktu itu mendapat perintah langsung dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang sedang mengikuti perayaan Natal di Papua, untuk mengendalikan operasi tanggap darurat.
Endriartono Sutarto, Panglima TNI 2002-2006, menunjuk Bambang sebagai komandan di lapangan. Bambang diberi misi mengevakuasi korban yang masih hidup serta menyalurkan logistik secepat-cepatnya. “TNI yang paling siap terjun karena punya pasukan,” ujar Endriartono.
Menyadari seluruh infrastruktur di Aceh lumpuh, tentara membuat jalur komando operasi udara Jakarta-Medan-Aceh. Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma di Jakarta menjadi basis komando utama. Dari Jakarta, pesawat diarahkan singgah di Bandar Udara Polonia, yang menjadi pangkalan transit.
Plot operasi tanggap darurat itu dianggap berhasil bila Bandara Sultan Iskandar Muda, Aceh, kembali beroperasi. Waktu itu, menara kontrol yang berfungsi memandu lalu lintas pesawat dan helikopter di Sultan Iskandar Muda rebah oleh lindu. Setelah melobi sana-sini, TNI dipin-jami mobile air traffic control oleh tentara Singapura. “Sejak dipinjami alat, lalu lintas penerbangan naik drastis dari 10 pesawat menjadi 130 pesawat per hari,” ujar Bambang. Distribusi logistik ke Aceh pun mulai lancar.
Setelah akses ke Aceh bisa ditembus, muncul masalah baru. Bantuan logistik dan obat-obatan malah menumpuk di hanggar bandara. Helikopter menjadi satu-satunya moda yang sanggup mendistribusikan berton-ton barang itu. Masalahnya, jumlah pesawat angkut dan helikopter yang dimiliki TNI terbatas. Tentara cuma punya dua unit Hercules C-130 yang berstatus layak terbang, sebagaimana jumlah helikopter.
Pemerintah kemudian meminjam helikopter dari militer asing. “Helikopter adalah moda paling krusial pada fase tanggap darurat bencana,” tutur purnawirawan jenderal bintang tiga itu.
Korps Marinir TNI Angkatan Laut juga mengerahkan helikopter untuk menjangkau desa-desa yang terisolasi dan memindahkan penduduk ke penampungan. Operasi udara tersebut berlangsung sampai kira-kira pekan ketiga pascabencana. Bersamaan dengan penyaluran logistik, Korps Zeni TNI Angkatan Darat menyapu puing-puing yang melintang di jalan raya.
Tantangan TNI menjalankan operasi tanggap darurat bukan hanya keterbatasan sarana. Ketika gempa dan tsunami terjadi, Aceh berstatus darurat sipil. Organisasi Gerakan Aceh Merdeka masih belum tunduk. Endriartono, mantan Panglima TNI, menyampaikan pesan kepada petinggi GAM bahwa pasukannya datang ke Aceh untuk misi kemanusiaan, bukan untuk perang. “Jika ada tentara GAM yang memprovokasi, TNI tak segan membalas,” kata Endriartono.
Taktik Bambang lain lagi. Ia mengatakan kepada GAM bahwa operasi tanggap darurat di Aceh mendapat liputan yang luas dari media internasional. Menurut dia, bila pasukan GAM memulai baku tembak dengan TNI, dunia akan mengecam tindakan kelompok tersebut. “Saya memainkan tekanan psikologis saja,” ujar Bambang.
Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang menjadi Kepala Badan Koordinasi Nasional, juga mengeluarkan sejumlah kebijakan. Malam setelah tsunami, Kalla terbang ke Aceh dengan pesawat pribadi. Ia menggelar rapat dadakan malam itu juga.
Dalam rapat, Kalla meminta gudang-gudang beras milik Badan Urusan Logistik dibuka. Saat itu, hari Ahad, ketika air bah dari laut merangsek ke daratan, petugas gudang logistik mengunci fasilitas tersebut. Tak mau kelak bantuan terlambat, Kalla menyuruh anak buahnya membongkar gembok gudang. Perintah yang sama berlaku untuk gudang obat di Jakarta. “Tak ada pilihan dalam situasi darurat selain mengambil keputusan dengan cepat,” kata Sofjan Wanandi, anggota staf ahli Wakil Presiden Jusuf Kalla saat ini.
Malam itu juga beras dikirim ke Banda Aceh. Problem lain muncul. Persediaan alat masak dan bahan bakar kosong. Kalla langsung meminta toko-toko dan tangki bahan bakar terdekat menyalurkannya ke Banda Aceh.
Beres urusan logistik, Kalla menerima pertanyaan soal penanganan ribuan jasad. Ia meminta semua jenazah dikuburkan. Tapi relawan meminta kejelasan mengenai tata cara pemakaman. Padahal, dalam kondisi serba darurat waktu itu, mereka kesulitan menemukan ulama.
Kalla menjawab dengan menerbitkan perintah. Ia menulis pada secarik kertas bahwa korban gempa dan tsunami Aceh bisa dikuburkan secara massal dan disalati bersama-sama.
Setelah masa tanggap darurat selesai, Presiden Yudhoyono membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh pada April 2005. Otoritas yang dipimpin mantan Menteri Pertambangan, Kuntoro Mangkusubroto, ini diberi tanggung jawab membangun kembali Aceh.
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut bergotong-royong mengangkut bantuan di Pelabuhan Ujong Karang, Meulaboh, Nanggroe Aceh Darussalam, Januari 2005. -DOK. TEMPO/ Hariyanto
Bekas Deputi Bidang Kelembagaan BRR, Sudirman Said, menjelaskan ada pekerjaan rumah yang diwarisi dari fase tanggap darurat meski tahap rekonstruksi sudah dimulai. Lembaganya harus mencari cara membuang dan mengolah puing-puing yang bergelimpangan akibat tersapu tsunami.
BRR kemudian bekerja sama dengan Badan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), misalnya melatih warga Aceh mengolah puing-puing kayu menjadi bahan dasar bangunan dan kerajinan. “Ada nilai tambah dan usaha untuk menggerakkan kembali roda ekonomi rakyat,” kata Sudirman.
Yang juga penting, BRR merancang tahapan rekonstruksi rumah penduduk yang remuk. Sampai menjelang akhir fase tanggap darurat, pengungsi menginap di tenda. Pemerintah memberikan satu tenda untuk tiap keluarga.
Berangsur-angsur pemerintah membangun hunian sementara. Bentuknya seperti rumah panggung karena pengungsi sudah tak betah tinggal di tenda. Satu rumah sementara tersebut dihuni lima keluarga. “Penghuni lama-lama tak betah karena antarkeluarga bisa muncul konflik,” ujar Sudirman, yang belakangan menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral di Kabinet Kerja.
Pada tahap akhir, BRR membangun rumah permanen. Jumlahnya mencapai 22 ribu. Agar masyarakat betah, pemerintah mendirikan rumah persis di atas tanah tempat tinggal mereka sebelum bencana datang. “Ketika sudah punya rumah, masyarakat bisa tenang dan membangun lagi kehidupannya,” kata Sudirman.
RAYMUNDUS RIKANG
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo