Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Setelah Buoy Tinggal Kenangan

Alat pendeteksi dini tsunami di Palu tak bekerja normal sejak Mei lalu. Berdampak pada prediksi tsunami.

5 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERADA di pinggir dermaga di Pelabuhan Pantoloan, Palu, bangunan bercat merah itu berdiri tegak. Tulisan “Stasiun Pasang Surut Badan Informasi Geospasial” berhuruf timbul di salah satu dindingnya terbaca jelas. Gempa dan tsunami yang menghantam Kota Palu pada Jumat dua pekan lalu tak -mampu meluluhlantakkannya. Padahal, tak jauh dari bangunan itu, alat berat -seperti crane dan kontainer terguling di tepi laut.

Zulfikar, Manajer Pelayanan Kapal Pelindo IV di Pelabuhan Pantoloan, mengatakan bangunan itu jarang dikunjungi petugas Badan Informasi Geospasial (BIG)—lembaga yang memasok data tentang posisi suatu obyek di atas dan di bawah permukaan bumi. “Mereka kadang datang enam bulan sekali,” katanya kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Di dalam bangunan itu terdapat tide gauge, alat pengukur ketinggian air laut. Kepala Pusat Jaringan Kontrol Geodesi dan Geodinamika BIG Antonius Wijanarto mengatakan tide gauge memasok data mutakhir untuk Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melalui sambungan sinyal general packet radio -service (GPRS). “Data itu kemudian digunakan untuk mendeteksi tsunami,” ujar Antonius kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Menjelang tsunami menghampiri Kota Palu dan sekitarnya, alat itu malah mogok. Menurut Antonius, gempa berskala magnitudo 7,4 yang terjadi pada pukul 18.02 Waktu Indonesia Tengah memutus sinyal GPRS. Tanpa sinyal itu, data tak bisa dikirim ke BMKG. “Gempa membuat komunikasi di Palu lumpuh,” ujar Antonius. Kepala Bidang Mitigasi BMKG Tiar Prasetya membenarkan kabar bahwa lembaganya tak mendapat data apa pun dari tide gauge di Stasiun Pantoloan.

Meskipun sinyal sempat terputus, tide gauge masih dapat bekerja merekam data. Sayangnya, data tersebut baru terkirim lima hari setelah gempa. Andai saja tide gauge itu berfungsi, enam menit setelah gempa atau pukul 18.08, tanda-tanda tsunami sudah bisa diprediksi. Sebab, saat itu ketinggian air laut di Pantoloan surut drastis hingga 2,04 meter dari level yang seharusnya. Penurunan drastis itu, kata Antonius, merupakan tanda-tanda tsunami bakal tiba.

Dua menit berselang atau pukul 18.10, terjadi tsunami pertama. Data dari tide gauge di Pantoloan menunjukkan tinggi tsunami mencapai 1,77 meter. Lima menit kemudian, gelombang surut hingga 3,3 meter dari level normal. Semenit kemudian, muncul tsunami kedua dengan ketinggian gelombang 1,5 meter. Tiga menit berselang atau pada pukul 18.19, tinggi air laut surut 1,15 meter.

Nyatanya, gangguan komunikasi tide gauge di Pantoloan terhenti bukan hanya saat gempa. Analis geodesi BIG, Bayu Triyogo, mengatakan sinyal alat itu sudah byar-pet sejak Mei lalu. Tapi Bayu mengatakan lembaganya tak bisa berbuat banyak mengatasi naik-turunnya sinyal. Masalahnya klasik: anggaran tak mencukupi.

Alat pendeteksi surut air laut yang dipasang di bagian bawah bangunan stasiun pasang-surut di Pelabuhan Pantoloan, Palu. -TEMPO/Husein Abri

Menurut Bayu, BIG, yang berada di bawah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, tahun ini hanya mendapat dana sekitar Rp 9 miliar untuk merawat 138 tide -gauge yang tersebar di berbagai wilayah. “Padahal kami mengajukan sekitar Rp 20 miliar,” katanya. Tak hanya anggaran cekak, personel untuk merawat alat tersebut juga terbatas. BIG kerap merekrut penduduk di sekitar lokasi untuk menjaga tide gauge.

BIG menolak disalahkan ihwal deteksi dini tsunami yang tak efektif. Menurut Bayu, BIG menggunakan tide gauge hanya untuk menyajikan referensi data pemetaan, seperti menentukan garis pantai. “Kalau ada tsunami, bukan tugas kami teriak. Itu tugas BMKG,” ujarnya.

BMKG mengeluarkan peringatan dini lima menit setelah gempa atau pukul 18.07. Menurut Tiar Prasetya, diperkirakan gelombang tiba 20 menit setelah lindu menerpa atau pada pukul 18.22. Perkiraan itu berdasarkan hasil penghitungan sistem pemodelan atau perangkat lunak yang digunakan lembaga tersebut. “Kami punya 18 ribu sistem pemodelan,” ucapnya. Sistem tersebut memprediksi gelombang tsunami di bagian barat Kabupaten Donggala mencapai 0,58 meter.

Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG Dar-yono mengatakan lembaganya tak memiliki data monitoring permukaan air laut di Palu—karena tide gauge di Pantoloan tak berfungsi. “Kami benar-benar buta terhadap kondisi di Kota Palu,” ujar Daryono. BMKG pun berusaha memastikan kondisi tsunami dengan menghubungi staf yang bertugas di sana. Tapi mereka tak bisa dihubungi. “Kami tidak bisa menelepon mereka,” katanya. Setelah waktu prediksi kedatangan tsunami di Teluk Palu terlampaui atau melewati pukul 18.22, BMKG mencari konfirmasi dari tempat lain, yaitu Mamuju.

Menurut Tiar Prasetya, data pasang-surut air laut dari stasiun di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, menunjukkan tsunami di sana mencapai ketinggian enam sentimeter. Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono mengatakan data dari Stasiun Mamuju itu menunjukkan tsunami terpantau surut. Berdasarkan data ini, BMKG mengakhiri peringatan tsunami pada pukul 18.36. “Kami nyatakan berakhir agar jika ada korban bisa segera ditolong,” ujar Rahmat.

Menurut Daryono, berakhirnya peringatan itu juga untuk menghindari perisakan. “Daripada di-bully seperti di Lombok atau Padang,” katanya. “Ternyata, setelah peringatan itu diakhiri, video tsunami bermunculan.”

Sesungguhnya tide gauge bukan satu-satunya alat yang dapat mendeteksi tsunami. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi mengelola 22 buoy atau pelampung yang juga berfungsi menangkap tinggi gelombang tsunami. Sebagian di antaranya merupakan hibah dari Amerika Serikat, Jerman, dan Malaysia. Tapi alat ini tinggal kenangan. Deputi Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam BPPT Hammam Riza mengatakan, sejak 2012, alat ini sudah tak beroperasi. Alasannya, banyak buoy yang hilang dicuri. “Ada yang rusak juga karena tertabrak kapal,” ujar -Hammam.

Seperti tide gauge, buoy pun membutuhkan biaya perawatan yang tak sedikit. “Miliaran rupiah,” kata Hammam.

DEVY ERNIS, RAYMUNDUS RIKANG (JAKARTA), ANWAR SISWADI (BANDUNG), HUSSEIN ABRI YUSUF DONGORAN (PALU)


 

Detektor Gempa dan Tsunami

 

Seismograf

Pengelola: Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika

Fungsi: Mengukur getaran yang terjadi pada permukaan bumi

Jumlah: 175 unit

 

 

Buoy

Pengelola: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

Fungsi: Mengukur gelombang air laut

Jumlah: 22 unit

 

 

Tide Gauge

Pengelola: Badan Informasi Geospasial

Fungsi: Mengukur pasang-surut air laut

Jumlah: 138 unit

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus