Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Efek Besar Geliat Sesar

Gempa berkekuatan magnitudo 7,4 pada Jumat dua pekan lalu membawa petaka dahsyat di pesisir barat Sulawesi Tengah. Gelombang tsunami yang ditimbulkannya menyapu kawasan Donggala dan Teluk Palu. Guncangan juga memicu tanah ambles yang membuat enam desa di Kota Palu dan Kabupaten Sigi porak-poranda tergulung aliran tanah.

5 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAPORAN Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menyebutkan aktivitas gempa yang tergolong dangkal ini ternyata dipicu gerakan mendatar (strike-slip) sesar Palu-Koro. Titik sumber gempa berada di kedalaman 10 kilometer. “Tepatnya di darat pada jarak 25 kilometer timur laut Donggala,” kata Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG Daryono, Selasa pekan lalu.

Rekahan batuan di dalam bumi ini “membelah” Sulawesi menjadi dua bagian dari Selat Makassar hingga ke bagian utara Teluk Bone. Dengan bentang hingga 500 kilometer, sesar Palu-Koro adalah patahan terpanjang kedua di Indonesia, setelah Sesar Sumatera—yang terentang sejauh 1.900 kilometer.

Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Eko Yulianto mengatakan Kota Palu terletak tepat di atas sesar Palu-Koro. “Sesar Palu-Koro ini aktif dan menjadi perhatian para peneliti,” ujar Eko, Senin pekan lalu.

Beberapa menit seusai gempa, tsunami setinggi hingga tiga meter menggulung Teluk Palu. Menurut peneliti geofisika dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Nugroho Dwi Hananto, gerakan sesar mendatar sebenarnya kurang efektif memicu tsunami. Biasanya tsunami disebabkan oleh gerakan vertikal di dasar laut, seperti yang terjadi ketika gempa besar memicu tsunami di Aceh pada 2004.

Meski demikian, kata Nugroho, ada kemungkinan pergerakan sesar Palu-Koro itu memicu deformasi vertikal di dasar laut. Perubahan drastis inilah yang menghasilkan tsunami. “Ada kemungkinan longsor akibat tebing bawah laut runtuh karena gempa,” ujarnya.

Masifnya gelombang tsunami ternyata juga dipengaruhi kondisi geografi Teluk Palu. Menurut Nugroho, kawasan Teluk Palu hingga Donggala berbentuk seperti kanal tertutup dengan dasar laut curam. “Jika ada massa air laut datang, gelombangnya lebih tinggi dan cepat,” katanya.

Proses analisis potensi tsunami seusai gempa di Palu sempat terganjal setelah BMKG tidak mendapatkan informasi lebih mendetail. Sensor pendeteksi gelombang (tide gauge) yang terpasang di Palu gagal mengirim data karena jaringan komunikasi putus setelah gempa.

Menurut Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, alat itu masih bisa melakukan pembacaan, tapi tidak bisa mengirimkan sinyal. Akhirnya, BMKG memakai data dari sensor yang berada di Mamuju, Sulawesi Barat, 237 kilometer dari Palu.

BMKG kemudian merilis peringatan dini tsunami pada pukul 18.07 Waktu Indonesia Tengah (Wita). Sekitar 30 menit kemudian, BMKG mengakhiri peringatan itu setelah mempertimbangkan data, termasuk hasil pengukuran air di Pelabuhan Pantoloan, yang tingginya 30 sentimeter. Dwikorita meyakini keputusan yang diambil timnya sudah tepat karena tsunami memang telah berakhir. Sebab, kata dia, jika ada tsunami susulan, awak BMKG yang melakukan pengukuran bisa tersapu gelombang.

Peneliti tsunami dari Institut Teknologi Bandung, Hamzah Latief, mengatakan tsunami di daerah teluk lebih berbahaya ketimbang di kawasan pesisir terbuka jika dipicu gempa dari lokasi dan kekuatan yang sama. Gelombang yang masuk ke teluk akan lebih besar. “Terakumulasi energinya,” ujar Hamzah.

Faktor lain yang memperkuat gelombang tsunami adalah bentuk dinding teluk. Aliran air yang masuk hingga ke kepala teluk akan terdorong kembali dan bertemu dengan gelombang baru yang datang sehingga kian besar. Situasi kian runyam ketika terjadi longsoran batuan sedimen di bawah laut. Runtuhnya blok batuan yang meluncur ke dasar laut bisa membuat efek gelombang tsunami meningkat. “Lokasi longsornya belum ketahuan, tapi terlihat airnya kotor, berarti ada yang ambrol di dalam teluk,” tuturnya.

Lindu juga memicu fenomena likuefaksi alias peluluhan tanah di sejumlah area di Palu, terutama di Balaroa dan Petobo. Akibatnya, lebih dari 1.700 rumah ambles dan hancur serta ribuan korban diperkirakan tertimbun tanah.

Ahli geologi ITB, Imam A. Sadisun, mengatakan likuefaksi adalah perubahan karakter material atau endapan padat menjadi seperti cairan. Potensi kejadiannya makin besar jika material penyusun tanah berupa sedimen lunak dan pasir. Getaran gempa mengakibatkan tanah menjadi tak stabil. “Bayangkan material benda padat solid berperilaku seperti air,” ujarnya.

Getaran gempa membuat rongga di antara butiran-butiran tanah merenggang, yang kemudian terisi air. Gempa juga memicu tekanan air di rongga-rongga itu naik melebihi kekuatan endapannya. Akibatnya, lapisan bisa seperti melayang dan terdorong di antara cairan. Kondisi ini membuat lapisan tanah sangat mudah bergeser. “Kalau posisi endapan ada di kemiringan, secara gravitasi sudah pasti bergerak membawa apa pun di atasnya ke bagian lereng yang lebih rendah,” kata Imam.

Keparahan tingkat likuefaksi membawa efek yang berbeda-beda. Jika kekuatan gesek tanah masih besar, sementara tekanan air yang naik cukup tinggi, hanya akan muncul retakan di tanah dan air yang membawa material pasir. Kondisi ini banyak dijumpai pascagempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Efek likuefaksi paling parah terjadi saat kekuatan geser tanah terlampaui oleh tekanan air yang diakibatkan gempa. Dalam kondisi ini, menurut Imam, tanah bisa “mencair” dan “menelan” rumah atau bangunan di atasnya. “Kondisi terburuknya seperti kita tenggelam ke dalam air.”

Potensi terjadinya likuefaksi di Palu sebenarnya sudah diprediksi dalam riset yang dibuat Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 2012. Studi itu memuat peta zona bahaya di area Palu dan sekitarnya. Seluruh zona Kota Palu, termasuk Bandar Udara Mutiara SIS Al-Jufri, yang sempat lumpuh setelah gempa, ternyata berada di kawasan dengan potensi likuefaksi sangat tinggi.

Eko mengatakan fenomena alam yang memicu gempa dan tsunami di Palu patut diperhatikan lebih serius untuk meningkatkan pengetahuan mitigasi bencana. Apalagi Indonesia berada di kawasan pertemuan empat lempeng tektonik, yang membuatnya rawan dihantam gempa.

GABRIEL WAHYU TITIYOGA, ANWAR SISWADI (BANDUNG)


 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus