Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Barbie Tak Sekadar Boneka Koleksi

Para kolektor Barbie punya cara tersendiri mengungkapkan kesukaan kepada boneka plastik tersebut. Barbie menjadi media berkarya.

23 Juli 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Yan Mahmud Fau menggunakan Barbie sebagai media berkarya fotografi. 

  • Cut Auzola kerap membuat konten mengenai tutorial makeup ala Barbie.

  • Asa Laily menjadikan boneka Barbie sebagai bahan konten di media sosial.

Di hari pertama film Barbie the Movie tayang, Yan Mahmud Fau mengajak sesosok perempuan langsing, berambut pirang, dan mengenakan dress mini berwarna dominan pink ke bioskop. Figur perempuan itu hampir sama tingginya dengan wadah popcorn yang mirip dengan kotak kemasan Barbie. Ya, perempuan yang diajak Yan sebagai teman menontonnya itu adalah salah satu koleksi boneka Barbie miliknya. "Aku sudah siapin Barbie yang akan aku bawa untuk movie date ke bioskop. Sudah aku dandanin," kata Yan kepada Tempo, Rabu, 19 Juli lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yan begitu antusias menyambut penayangan film Barbie live action pertama itu. Dokter estetika di salah satu klinik kecantikan di Yogyakarta tersebut sudah jauh-jauh hari membeli tiket nonton secara online dan membeli sejumlah merchandise bertemakan Barbie, seperti kotak popcorn yang tersedia di XXI.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yan mengaku cukup kesulitan memilih koleksi Barbie yang akan dibawanya untuk menonton film. Pada Selasa malam, ia mengadakan siaran langsung di akun Instagram-nya untuk meminta saran. Penontonnya rata-rata anggota komunitas doll lovers. Pilihan Yan akhirnya jatuh pada Barbie seri jadul karena penampilan, karakter, dan cetakan wajah (face mold) yang dapat memancarkan kesan ikonik dari Barbie itu sendiri.

Kegemaran Yan mengoleksi Barbie terjalin sekitar lima tahun lalu. Aktivitas ini bukan sekadar mengumpulkan boneka sebanyak-banyaknya, lalu memainkannya seperti anak kecil pada umumnya. Bagi Yan, boneka justru bisa menjadi media berkarya. Salah satunya di bidang fotografi. 

Awalnya, Yan tertarik pada dunia fotografi dan melakoninya sebagai hobi. Ia membeli kamera profesional dan bergabung dengan komunitas. Berbagai genre foto pun dijajalnya, tapi tak satu pun yang cocok dengan seleranya. Sampai akhirnya ia menemukan sebuah akun Instagram yang menampilkan foto boneka memakai kebaya. "Setelah mencari tahu, ternyata itu miniatur kebaya Anne Avantie. Aku terpesona banget," ujarnya.

Kolektor Barbie, Yan Mahmud Fau membawa merchandise bertemakan Barbie di XXI. Dok Pribadi

Yan mengaku terkesima karena boneka tersebut bisa berpose natural layaknya manusia. Sejak saat itu, pria berusia 34 tahun ini mulai mengulik tentang doll photography dan membeli berbagai boneka dengan human look, termasuk Barbie. Koleksi boneka buatan Mattel itu kini sudah mencapai ratusan di rumahnya. Ada yang tersusun rapi di rak, ada juga yang tertumpuk di kontainer. Harganya pun dari puluhan ribu hingga puluhan juta rupiah.  

Barbie menjadi boneka favorit Yan karena mewakili unsur keberagaman. Sementara sebelumnya hanya ada Barbie dengan kulit putih, rambut pirang, dan mata biru, kini penampilannya lebih variatif. "Ada yang tinggi banget, ada yang pendek. Ada yang slim, bahkan ada yang curvy. Skin tone juga macam-macam, dari yang terang sampai gelap." 

Koleksi Barbie-nya kini kerap ia jadikan model dalam sesi pemotretan. Yan menggunakan teknik-teknik tertentu yang ia pelajari dari sesama doll lovers agar Barbie bisa berpose seperti manusia sungguhan. Misalnya, ia menggunakan tusuk sate atau benda di sekitar rumah sebagai penyangga agar Barbie bisa berdiri. Ia juga membagikan tip mengenai cara pengambilan gambar agar boneka terlihat realistis.

Dalam fotografi boneka, Yan menuturkan Barbie jenis Made to Move menjadi salah satu yang cukup mudah diatur posenya. Sebab, figurnya memiliki banyak sendi yang bisa ditekuk. Untuk Barbie seri terdahulu, figurnya memang lebih kaku. Namun di sinilah letak tantangannya. Yan menilai kemampuan dalam membuat pose boneka terlihat natural adalah bagian dari seni fotografi boneka.

Di sisi lain, Yan kerap menerima stigma tentang laki-laki yang bermain boneka. Padahal, menurut dia, orang dewasa bisa menikmati bermain boneka dengan cara berbeda dan produktif hingga menghasilkan karya. "Karya itu tidak ada batasan gender," ucapnya. Yan menilai boneka selama ini diberi label identitas untuk menaikkan nilai jualnya. Apalagi di komunitas doll lovers, Yan mengatakan justru lebih banyak pria yang menggeluti hobi ini dan ikut kompetisi fotografi boneka. "Bahkan kompetisinya ada level internasional," kata pria asal Nias, Sumatera Utara, itu.

Kolektor Barbie, Cut Auzola. Dok pribadi

Inspirasi dari Barbie Menambah Kepercayaan Diri

Cut Auzola punya cara berbeda dalam mengekspresikan kegemarannya mengoleksi Barbie. Fashion dan riasan pada wajah Barbie menginspirasi Auzola dalam berpenampilan. Hal itu membuat dia, yang tadinya berkepribadian tertutup, menjadi lebih percaya diri. Apalagi film-film animasi Barbie juga mengandung pesan moral, seperti memotivasi agar tidak mudah menyerah.

Di akun Instagram-nya, Auzola kerap membuat konten mengenai tutorial makeup ala Barbie. Terkadang, ibu satu anak ini juga bermain cosplay Barbie, seperti yang ia lakukan ketika datang ke Barbie Dream House di salah satu pusat belanja di Jakarta, pekan lalu. Auzola tampil dengan pakaian serba pink dan tak ketinggalan wig pirang seperti rambut Barbie. Taman bermain tematik itu hadir sejak 7 Juli dalam rangka menyambut pemutaran film Barbie the Movie.

Perempuan berusia 30 tahun asal Jakarta ini mengoleksi Barbie sejak kanak-kanak. Paras Barbie yang cantik, dengan rambut yang halus dan baju-baju fashionable, membuat Auzola terpincut untuk mengoleksi benda-benda yang dipakai boneka itu. Misalnya kaus, tas, serta sepatu yang dijual produsen Barbie. Pernak-pernik ini pun sampai sekarang masih ia buru. "Masih suka mengoleksi lipgloss-nya. Kemarin juga sempat membeli tasnya," kata beauty blogger tersebut.

Kolektor Barbie, Cut Auzola menunjukkan foto saat masa anak-anak yang sedang bermain boneka barbie. Dok Pribadi

Auzola sempat vakum bermain boneka itu setelah beranjak dewasa dan khawatir digosipkan teman-temannya. Tapi setelah menikah dan hendak pindah rumah, Auzola menemukan Barbie yang ada di lemarinya. Saat membongkarnya, ia pun bernostalgia dan kembali memainkannya di sela waktu luang.

Menurut Auzola, koleksi bonekanya kini mencapai 200 buah. Tapi tak semua koleksinya dipajang. Beberapa Barbie mendapat ruang di dua rak buku. Sisanya ada di lemari dan kotak kontainer. Dari total koleksinya itu, Barbie Playline yang paling banyak jumlahnya dibanding seri koleksi. 

Playline merupakan seri yang diproduksi massal dan bisa dimainkan anak-anak. Terakhir, seri Playline yang dibelinya seharga Rp 500 ribu. Untuk seri koleksi, Auzola belum lama ini membeli Barbie 60th Anniversary. Ia mendapatkannya dengan harga yang terjangkau karena tergiur promo. "Cuma Rp 350 ribuan. Aslinya lebih mahal," kata dia.

Asa Laily. Dok Pribadi

Dari Koleksi Barbie Menjadi Kreator Konten Mainan

Kisah Asa Laily lain lagi. Kegemaran bermain Barbie sejak kecil menjadi salah satu alasannya kini berprofesi sebagai kreator konten mainan. Asa mengaku tak sengaja terjun di bidang perkontenan lantaran bisnisnya bangkrut pada awal masa pandemi Covid-19. Ia pun membuat akun TikTok dan merekam koleksi-koleksi bonekanya. Konten Asa rupanya mendapat reaksi positif dari audiens. 

Selain anak-anak, orang dewasa menyenangi konten Asa. Banyak dari mereka berkomentar tidak kesampaian membeli Barbie. Dengan melihat konten Asa mengulas Barbie, cukup membuat mereka bahagia.

Perempuan asal Banjarmasin ini masih ingat betul perasaannya begitu senang ketika pertama kali menerima Barbie dari orang tuanya. Tapi, karena tidak paham cara merawatnya, rambut Barbie tersebut ia gunting dan dikeramasi. Koleksinya juga tidak banyak semasa kecil. Asa mengingat jumlahnya tidak lebih dari 10 boneka. Di masa itu, kata Asa, orang tuanya harus pergi ke Pulau Jawa untuk membeli Barbie. "Dulu juga mahal banget. Jadi, orang tua tidak bisa sering-sering beli. Kalau aku mendapat ranking (di sekolah), baru dibeliin," katanya.

Asa Laily, creator content mainan gemar mengoleksi boneka Barbie sejak SD. Dok Pribadi

Sejak 2016, ketika sudah bisa mencari uang sendiri, Asa mulai mengoleksi Barbie dan jenis boneka lain. Ia juga memiliki lemari khusus untuk menyimpan benda favoritnya itu. Di antara koleksinya, ada dua Barbie edisi terbatas, seperti seri Black Widow dan Barbie Style. Harga keduanya di atas Rp 1 juta. Bahkan boneka seri Barbie the Movie juga ia pesan jauh hari di situs web Amazon, sebelum barangnya beredar di Indonesia. 

Semakin dewasa, Asa mengoleksi Barbie bukan sekadar dimainkan. Ia pun tertarik dengan bidang fotografi boneka. Jadi, Asa kerap membeli boneka yang bisa ditekuk agar lebih mudah membuat pose. Bagi Asa, Barbie kini tak lagi identik dengan sosok boneka perempuan berambut panjang, pirang, berkulit putih, tinggi, dan langsing.  "Semakin ke sini merepresentasikan perempuan di seluruh dunia. Kita enggak perlu insecure lagi," ujar dia. 

Barbie sebagai Ikon Budaya Populer

Barbie merupakan boneka plastik yang dibuat pertama kali pada 1959 di Amerika Serikat. Arsitek utama di balik pembuatan Barbie adalah Ruth Handler, salah seorang pendiri perusahaan mainan, Mattel, Inc. Dalam perjalanannya, Barbie kerap dikritik para orang tua dan kelompok feminis. Pasalnya, bentuk asli boneka itu menggambarkan tubuh perempuan yang tidak realistis, meski telah melewati modifikasi selama bertahun-tahun.

Bentuk tubuh baru boneka Barbie yang dirilis Mattel pada 28 Januari 2016. Reuters

Mulai 2016, perusahaan Mattel meluncurkan Barbie dengan bentuk tubuh baru, yakni mungil, jangkung, dan sintal. Boneka baru ini juga memiliki berbagai jenis warna kulit, aneka warna mata, serta model rambut, baju, dan aksesori baru.

Menurut sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Syaifudin, sejak pertama kali diluncurkan, Barbie telah berkembang menjadi ikon budaya masyarakat. Bertahannya eksistensi ini, kata Syaifudin, tidak lepas karena masih banyaknya peminat dan fanatisme di masyarakat.

Sebagai ikon budaya konsumerisme, Barbie tidak hanya diminati anak-anak, tapi juga mampu menjamah konsumen dewasa. Syaifudin menuturkan Barbie kini tak identik dengan kelompok anak di bawah umur dan mediator berkomunikasi dalam imajinasi yang dimiliki anak-anak pada umumnya. "Barbie juga dapat memberi makna estetika yang sesungguhnya bagi kaum wanita dewasa."

Barbie juga dipandang sebagai peranti yang menggerakkan dan mengendalikan komponen-komponen pikiran wanita dewasa, dengan menjajali pemaknaan dunia sesuai dengan tujuan dan standar yang dimiliki perempuan. Syaifudin melanjutkan, fantasi nilai kecantikan tertinggi bagi perempuan menjadikan Barbie sebagai kiblat bagi hampir semua perempuan dunia.

Syaifudin juga memandang Barbie sebagai ikon rasisme, seksisme, konsumerisme, dan materialisme. Maka tidak mengherankan jika eksistensi Barbie hingga saat ini masih melekat dalam kehidupan di masyarakat. Bahkan tidak hanya kaum perempuan yang berfantasi terhadap ikon standar kecantikan pada boneka Barbie, kaum laki-laki juga terkonstruksi pengaruh standar cantik yang ada pada Barbie. "Jadi, meski ada kontra pada Barbie, bagaimanapun Barbie sudah menjadi ikon yang hidup dalam masyarakat."  

FRISKI RIANA | ANTARA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus