"Namaku Popie Jopie Senang melawat ke berbagai negeri Dan begitu tiba di suatu ranah Aku spontan mencium tanah." * * * ITULAH sepenggal lirik lagu yang pada pekan pertama Mei silam menempati urutan kelima tangga lagu-lagu pop Belanda. Isinya jelas-jelas suatu sindiran yang nyelekit kepada Paus Johannes Paulus II: popie jopie - suatu ungkapan bahasa Belanda yang bisa punya arti "menjijikkan". Tetapi kata-kata ejekan bukan satu-satunya perlakuan buruk yang diterima Paus ketika mengunjungi Negeri Belanda selama empat hari, Mei yang lalu. Campur tangan Vatikan untuk mendisiplinkan gereja Belanda yang terbiasa bebas telah menyebabkan umat Katolik di negeri itu bersikap memberontak dan tak dapat mengendalikan amarah. Walaupun Johannes Paulus kerap juga menghadapi perlakuan kurang menyenangkan dalam 25 perlawatannya terakhir di luar Italia, kunjungannya di Negeri Belanda terbilang perjalanan paling getir baginya. Poll yang diselenggarakan oleh mingguan liberal Belanda Elseviers, yang kemudian dikutip majalah Time terbitan 13 Mei, menunjukkan bahwa 27% dari umat Katolik negeri itu menentang kunjungan Paus, sedangkan 43% lainnya tidak peduli. Sejumlah organisasi keagamaan telah jauh-jauh hari merencanakan pemboikotan kunjungan itu. Kelompok-kelompok yang bergabung memprotes tidak diikutsertakannya golongan progresif Katolik dalam pertemuan dengan Johannes Paulus merencanakan mengerahkan ribuan demonstran di dekat Den Haag. Di samping itu, sebuah perkumpulan yang beranggotakan 19.675 biarawati dan 8.100 biarawan sepakat tidak menyambut Paus. Ini adalah tindakan protes karena pembatalan rencana pertemuan Paus dengan teolog wanita yang mendukung ordinasi (pentahbisan wanita menjadi petinggi gereja). Para pemimpin gereja Protestan juga membatalkan undangan pertemuan dengan Paus Johannes Paulus, seperti yang juga dilakukan para pemimpin Yahudi Belanda. Pada kunjungan Paus, protes-protes itu telah meningkat menjadi insiden paling buruk. Di Utrecht, protes beralih menjadi vandalisme: jendela kantor komite perjalanan Paus dirusakkan, dan ruangan dalamnya disemprot dengan cat hijau. Di Amsterdam, dua orang muda ditahan karena mengibarkan poster yang menawarkan hadiah uang kontan bagi pembunuhan Paus. Menghadapi sikap permusuhan seperti itu, pemerintah Belanda mengerahkan 12 ribu petugas keamanan. Biayanya, US$ 3 juta, rekor paling tinggi yang pernah dikeluarkan negeri itu bagi pengamanan tamu negara di masa damai. Sekitar 80 polisi disiapkan untuk menjadi pengawal pagar betis bagi Paus. Sejumlah 42 penjinak bom dikerahkan untuk mengamankan gedung-gedung dari bahaya ledakan. Dan sejumlah helikopter diperlengkapi kamera televisi memonitor tindak-tanduk orang-orang yang berkerumun. Keberangan khalayak Katolik Belanda terhadap pusatnya Roma kali ini bukan yang pertama-tama, dan bukan pula Johannes Paulus yang menanggungkannya lebih dulu. Pada akhir 1960-an, Paus Paulus VI sudah sadar akan sikap ekumenik umat Katolik Belanda dan evolusinya ke arah gereja bergaya Protestan. Umat awam yang membangkang bergabung dengan 30 ribu dewan lokal, yang membuat rekomendasi untuk uskup-uskup tentang kebijaksanaan gereja dalam hal peranan wanita dalam tugas kegerejaan, pendidikan seks, dan cara-cara gerejani yang lebih demokratis. Para uskup Belanda mentolerir teologi liberal dalam Katekismus Baru, yang banyak diperbin-cangkan dan mengundang kritik Roma. Pertemuan-pertemuan nasional Dewan Pastor menentang kebijaksanaan Vatikan terhadap pembatasan kelahiran dan perkawinan pastor. Roma tentunya khawatir, konflik-konflik itu akan berkembang ke pemisahan umat Katolik Belanda dari Roma. Pada 1970, Paus Paulus mencoba menekan benih-benih pemberontakan dengan menata kembali hirarki kegerejaan. Ia mengangkat Adrianus Simonis yang konservatif menjadi uskup, dan menolak daftar nominasi yang diusulkan gereja Belanda. Pada 1983, Simonis, kini 53, menjadi uskup tertinggi nasional. Dan setelah kunjungannya, Johannes Paulus mengangkat Simonis menjadi kardinal pada 25 Mei silam. Dalam pengangkatan para uskup pada tahap berikutnya, Roma mengesampingkan usul dari dalam, sambil mengabaikan protes-protes publik dan pastor-pastor terkemuka Belanda. Tindakan ini telah mengubah posisinya, golongan yang setia kepada Roma semakin susut pengikutnya. Sementara itu, kelompok moderat dan liberal semakin dapat angin. Berkata Edward Schillebeeckx, teolog terkemuka di Belanda yang sejumlah karangannya yang tidak-ortodoks dipersoalkan oleh Vatikan, "Orang-orang gereja, yang tadinya dambaan dan harapan, kini dihinakan dan menderita." Paus sadar sekali akan kebencian dan dendam yang dihadapkan kepadanya, lalu ia memperjudikan kehadirannya dalam upaya meraih pengikut yang setia untuk menupang para uskup pilihannya. Para penasihat kepausan beranggapan, permusuhan itu adalah motivasi utama kunjungan Johannes Paulus. "Kami yakin seyakin-yakinnya bahwa ia dapat meningkatkan rekonsiliasi di kalangan gereja," ujar seorang pembantu Paus. * * * Philip Jacobson, yang melaporkan masalah umat Katolik di Belanda dalam The Sunday Times Magazine, 11 Agustus, menilai kunjungan Johannes Paulus II - dibandingkan dengan perlawatannya ke berbagai negeri lain benar-benar suatu bencana. Bahkan kerumunan yang tak begitu besar dan mampu menahan diri dengan lantang menyuarakan protes terhadap kehadiran Paus. Konon, mereka mewakili suara dari perdana menteri Belanda sampai ke buruh kasar dan anggota serikat buruh. Wakil mereka: empat wanita baik-baik dan cantik-cantik mengibarkan kain rentang bertuliskan kata-kata menikam, "Enyah, Johannes Paulus, kami tidak melihat Yesus." Maksudnya, mungkin, mereka tidak menyaksikan Yesus pada diri Johannes Paulus. Rombongan Paus baru bisa bernapas lega ketika memasuki wilayah Luksemburg. Di sana mereka bisa lebih adem ayem. Tetapi di belakang punggungnya, ia meninggalkan lambang perlawanan paling keras terhadap otoritas pribadinya, yang belum pernah dialami Paus pendahulunya dalam abad ini. Di Belanda Selatan, pintu-pintu biara Berne dibiarkan terbuka lebar - seperti yang biasa berlaku di masa lama lampau - bagi para rohaniwan Katolik yang merasa dirinya tidak bersesuaian lagi dengan aturan Roma. Biara itu tegas menyatakan sikap melindungi. "Setelah menimbang dalam-dalam, saya merasa sudah tiba waktunya bagi Berne kembali kepada fungsi lamanya sebagai tempat berteduhnya kaum pelarian," ujar Arthur Baeten, kepala biara berusia 54 tahun. Ia khawatir orang yang dia ajak bicara, Jacobson dari The Sunday Times Magazine, tidak paham benar akan pengertian tempat perlindungan yang ia maksudkan - "bukan tempat suci, lebih mirip tempat bebas" - dan bahwa kesediaannya menampung orang luar tidak berniat membatasi rekan-rekannya sendiri. Di biara yang sejuk dan tenang itu berdatangan juga apa yang oleh Baeten disebut "mereka yang dicabut haknya oleh Vatikan". Kaum homo, lesbian, pasangan bercerai, pasangan yang kumpul kebo, serta mereka yang melakukan pembatasan kelahiran. "Semua mereka, yang oleh para uskup kita ditolak mendapat komuni sucinya, diterima dengan baik di sini. Agar mereka dapat bertobat di gereja yang mereka percayai," katanya. Dulu, seorang pastor setempat menjelaskan, mungkin saja suatu peraturan dilanggar untuk pemberian komuni terhadap kasus-kasus khusus. Misalnya, dengan mengirimkan pasangan tidak-kawin atau bercerai ke jemaat lain yang tidak banyak tanya ini-itu. "Dapat Anda lakukan lain kali pada pastor yang lain. Tapi lalu ada aturan baru dari Roma. Aturan dan peraturan harus berjalan di muka, baru menyusul rasa kepastoran." Jika hal ini mendorong Baeten bertikai dengan hirarki gereja Belanda, sudah tentu perselisihan dengan Vatikan tampaknya tak terelakkan. "Umat Katolik di Belanda tidak lagi merasa nyaman di gerejanya sendiri. Saya sangat cemas akan kerengkahan antara para uskup kami dan umat, yang bisa menjuruskan gereja ke kehancuran." Sebagai biara tertua yang masih berfungsi di negeri itu - didirikan pada 1.134 di lingkungan di Heeswijk - Berne secara tradisional menempati posisi penting dalam Katolikisme Belanda, khususnya di keuskupan s'Hertogenbosch, sebuah kota tua nan cantik. "Telah tujuh abad kami melakukan kegiatan kepastoran di sini," kata Baeten diiringi senyum. "Anda boleh anggap kami kenal benar sikap penduduknya. Kini dari tetua gereja sampai keluarga petani, menentang apa yang ingin diberlakukan Vatikan dalam kehidupan umat Katolik Belanda." Baeten, yang bertubuh besar tapi bersuara lembut, lahir di Provinsi Brabant, pusat pemeluk Katolik di Belanda. Ia anak sulung di antara 13 bersaudara. "Ayahku tukang listrik mandiri, dan kehidupan kami sangat dipersulit oleh jumlah anggota keluarga yang begitu banyak. Namun, suasana rumah penuh kasih sayang. Saya datang ke biara Berne sebagai orang baru dan ditahbiskan enam tahun kemudian. Biara selalu terlibat dalam persoalan sehari-hari penduduk. Tak seorang pun dapat menuding kami pernah menjadi rohaniwan cemar." Setelah memutuskan membuka biara bagi para pendatang, Baeten menulis surat enam halaman kepada rekan-rekannya. Hal itu, katanya, segera melahirkan kegemparan di pers Belanda, dan awak televisi Jerman datang mewawancarainya. * * * Tak jauh dari biara Berne, ada seorang rohaniwan Katolik berdinas lama yang ketika didatangi Jacobson sedang terpaku dalam amarah di depan meja kerja kamar studinya. Joseph Planken, ketua gereja Boxtel, sedang memperbincangkan penugasan Vatikan untuk uskup baru di Keuskupan Den Bosch. "Roma boleh bilang bahwa orang itu uskup kami, tapi kami di sini tidak beranggapan demikian. Bagi kami, harus kukatakan, dia benar-benar orang asing. Kami merasa, musuh telah masuk ke lingkungan kami, seolah-olah kami kembali menjadi anak jajahan". Ketika Planken mengikrarkan pendapatnya itu, awal tahun ini, di depan televisi BBC, Reporter David Jessel yang mewawancarainya menyimpulkan bahwa suasana yang diakibatkan-nya sama guncangnya dengan ketika negeri itu tersentak di bawah kekuasaan Nazi. Planken setuju, "Tapi kata telah diucapkan, dan kata-kata itu akan dipakai berulang kali." "Orang Roma yang dikirim itu" adalah Monsignor Jan ter Schure. Hampir semua pengamat yang berminat agaknya dapat menerima anggapan bahwa ia sengaja dikirim ke Den Bosch untuk menghentikan berkembangnya apa yang oleh Vatikan telek-melek dituding sebagai pohon penyakit teologis yang lagi menjangkiti Belanda. Uskup baru itu, menurut sebagian besar khalayak, adalah penganut garis keras doktrinal yang sengaja dikirim untuk menegaskan kembali supremasi Roma terhadap apa yang disebut Planken menuding "kita Belanda biang kerok, pemikir bebas sejati". Selama 20 tahun, 5-6 juta orang Belanda yang dibaptis sebagai Katolik (hampir 40% penduduk) semakin merasa sulit menjejaki garis yang direntang untuk mereka dari Roma. Semakin berkembangnya sikap tergamang-gamang terhadap "campur tangan asing" - dengan kenyataan cukup banyaknya orang Belanda mengalami pendudukan Nazi mewujud ke dalam menyingkirnya secara dramatis umat dari gereja, jika tidak dari keyakinan beragama itu sendiri. Dalam masa kurang dari dua dasawarsa, kehadiran umat pada kebaktian merosot dari 60% menjadi hanya 20% (sebagian besar orang tua). Jumlah rohaniwan yang melepas tugasnya naik dengan cepat, sedangkan pentahbisan baru merosot lebih tajam. Gereja yang pernah bersatu dan berjuang mati-matian menghadapi pengekangan keagamaan di Belanda - sampai pada akhir abad ke-19 umat Katolik Belanda mengalami diskriminasi di bidang pendidikan, lapangan kerja, dan hak asasi - tampaknya kini harus mengalami perpecahan di bawah tantangan sosial, seksual, dan intelektual dari periode 1960-an dan 1970-an. Penjelasan yang kurang apocalyptic adalah bahwa banyak, mungkin sebagian besar, orang Katolik di Belanda sekarang kurang memiliki waktu untuk soal-soal doktrin penting berkenaan dengan Vatikan. Sebaliknya, mereka lebih menyukai terlibat pada masalah-masalah Dunia Ketiga, kampanye anti-senjata nuklir, dan keterlibatan langsung dengan masyarakat sekelilingnya. Tidak ada jemaat lain yang begitu bergairah melibatkan diri pada konsep gereja radikal dan progresif seperti yang diperlihatkan Dewan Vatikan Kedua pada 1965. Dalam masalah paling peka yang di perdebatkan di kalangan umat Katolik - pembatasan kelahiran dan pengguguran kandungan, perkawinan rohaniwan dan peran lebih menarik bagi wanita di gereja, dukungan bagi pejuang kemerdekaan di luar negeri - orang Belanda yang pembangkang dan berpendirian keras, yang pernah mengirim lebih banyak misionaris ketimbang bangsa lainnya, sedang menerjunkan dirinya ke tengah arus perubahan liberal. Dengan kecemasan yang meningkat, Vatikan menjuluki gereja Katolik Belanda sebagai sebuah "Gereja Rakyat" telah tumbuh. Seorang teolog ternama dalam The Catholic Herald membela Vatikan, "Sebenarnya tidak ada keputusan penting yang diambil tanpa konsultasi dan melalui proses demokratis." Penulis itu mengutarakan pula, tidak ada satu negeri pun di Eropa yang umat Katoliknya begitu aktif terlibat dalam masalah gerejanya kecuali Negeri Belanda. Agaknya memang begitu, Ruud Lubbers, perdana menteri Belanda, sampai-sampai bilang pada Johannes Paulus, "Roma kadang-kadang terasa begitu jauh dari sini." Paus, pada akhir kunjungannya yang kacau itu, boleh jadi telah menimbang sebaik-baiknya pandangan sengit umat Katolik Belanda terhadap pengaruh yang jauh dari keinginan untuk berpatah arang dengan Roma. "Kami hanya ingin mengurus diri sendiri, dan biarkan gereja yang mengatakan bahwa kami benar," kata rohaniwan Belanda. * * * Serangan Vatikan pada Belanda mulai gencar begitu Johannes Paulus menjadi paus. Dilakukan dengan senjata paling ampuh dalam kekuasaan Katolik Roma - kontrol dalam penugasan para uskup. Proses penyusupan ke dalam keuskupan Belanda dimulai sebelum datangnya Uskup Den Bosch, yaitu ketika Monsignor Bluyssen, yang paling dicinta, turun takhta dengan alasan kesehatan. Pengunduran diri itu diikuti penugasan Roma yang paling kontroversial, yaitu pengangkatan Jan ter Schure. Uskup Bluyssen yang digantikan dikenal penganjur paling bernafsu sebuah "gereja bebas". Ia biasanya menerima dengan tangan terbuka semua yang mau mengabdi dan berbakti. Dalam posisi demikian, mayoritas umat, di dalam atau di luar lingkungan keuskupan, berdiri di belakangnya. "Anda tidak usah menjadi orang genius untuk menyadari bahwa Roma berketetapan hati menendang kami ke luar garis," cetus Baeten, sambil mencabut sebatang cerutu Belanda. "Provinsi Brabant adalah batu pondasi Katolikisme di negeri ini, dan Den Bosch salah satu kunci keuskupan di sini. Semua orang tahu, kami akan mendapat seorang konservatif setelah turunnya Bluyssen, tapi kami mencoba menghibur diri dengan berharap semoga bukanlah Ter Schure orangnya. Ia figur yang terlalu kontras." Telah menjadi rahasia umum, tambah Baeten, bahwa Monsignor ter Schure bukan salah satu dari tiga calon yang diajukan para anggota pengurus Keuskupan Den Bosch untuk dipertimbangkan oleh Vatikan. "Kami mendengar penunjukan dia lewat radio pagi hari. Segera timbul gerutuan berkepanjangan di seluruh biara." Dan sebelum uskup baru masuk kantor, pembangkangan sudah mulai disulut. Di Den Bosch dikeluarkan pernyataan resmi yang menolak penempatannya. Uskup Bluyssen, yang baru turun, terang-terangan mengemukakan penyesalannva. Duga pendapat umum (poll) menunjukkan, hanya 5% umat Katolik di sana yang dapat menerima pilihan Roma. Idealnya, orangnya sendiri mestinya buka salam dan unjuk badan, tapi Uskup Ter Schure tampil sangat tidak komunikatif sejak tiba di Den Bosch. Pertemuannya dengan orang bawahan dan kaum buruh berlangsung singkat dan dingin, hal yang berbeda tajam dengan budaya take and give yang sudah melembaga di lingkungan jemaat Den Bosch. Sang uskup juga langsung unjuk tahu bahwa tidak akan ada wawancara dengan pers sebelum ia mempelajari lebih jauh hal ihwal keuskupannya dan orang-orangnya. Jubir resmi pertama Monsignor ter Schure, wartawan muda bernama Ben Speckman, bicara gegabah. Penugasan uskup, kata dia, "provokatif dan malang". Ketika ditanya apakah lazim bagi seorang pejabat senior gereja untuk berbicara miring tentang bosnya, Speckman menjawab, "Yah, orang Belanda selalu jujur dan terbuka, seperti yang juga disimpulkan Paus sendiri. Juga Uskup tahu apa yang kami pikirkan dan saya juga jubir untuk keuskupan secara keseluruhan." Tak lama kemudian, Ben Speckman dipecat dari pekerjaannya di stasiun radio Katolik. Penggantinya mengatakan kepada Jacobson bahwa The Sunday Times dapat membuat permohonan resmi untuk wawancara dengan Monsignor ter Schure. Ditambahkannya, si wartawan juga boleh berharap menerima penolakan, yang juga resmi. "Dapat dikatakan, uskup kami memang orang yang formal." Pada saat Johannes Paulus tiba di Negeri Belanda, "pertempuran" boleh dibilang dirancang dan digerakkan di Den Bosch. Pada hari pertama kedatangannya, Paus justru dibawa ke sana untuk meresmikan pemugaran katedral Gothic/Romanesque St. Jan's yang luas, tepat pada HUT-nya yang ke-800. Polisi setempat disiapkan untuk, kalau perlu, menghadapi 120 ribu orang. Pengamanan luar biasa ketatnya di tengah-tengah sas-sus bahwa kaum hipi dari Amerika merencanakan melakukan protes keras. Tiba waktunya, ternyata hanya 5.000 orang yang datang dan kurang tampak garang ketika Johannes Paulus dan Uskup Ter Schure masuk St. Jan's dengan menggunakan mobil kepausan. "Saya mengalami kesulitan menentukan bagian dari peranan saya di dalam hal ini," ujar Pater Joseph Planken. "Penduduk Brabant menilai dirinya Katolik yang lebih baik ketimbang yang lainnya, tapi juga mereka suka mengemukakan jalan pikirannya, bahkan menurut ukuran Belanda. Anda bisa dengar mereka menggerutu tentang apa yang telah dihadapkan Vatikan kepada kami." Di sana, tak ayal, ada minat besar terhadap apa yang dikatakan Paus tentang huru-hara yang timbul setelah pengangkatan Monsignor ter Schure. Secara formal dan datar hal itu dikemukakan Ter Schure dalam amanatnya di St. Jan's. "Saya ingin mengemukakan bahwa Paus berusaha memahami tata cara yang hidup di gereja setempat dalam penetapan setiap uskup. Ia mengumpulkan informasi dan saran sesuai dengan tata kebiasaan dan hukum gerejawi. Anda tentu memahami bahwa pendapat acap kali saling berbeda, dan pada akhir penganalisaan, Paus yang mengambil keputusan. Apakah ia kemudian harus menjelaskan pilihannya? Kebijaksanaan tak mengizinkan ia melakukannya." Bagi sebagian besar pengecam yang bersuara lantang, itu adalah konfirmasi langsung dari atas (dan yang kini mangkal di Belanda, tentu) sehingga ketaatan kepada kehendak Roma menjadi preseden yang mengatasi semua pertimbangan. "Paus datang, Paus mencium tanah, Paus mengendus bayi, Paus berpaling ke jam dinding, dan kemudian Paus pun pergi lagi," adalah komentar miring Planken. Bagi biara Berne, itu suara yang cukup jelas - "patuh pada tiap kata Roma atau menyuarakan visi gereja Katolik sendiri, dan murni." Berdiri pada pilihan terakhir akan membawa dia langsung terjun ke dalam konflik dengan uskupnya sendiri. Ketika Jacobson dan rekan fotografernya, Aernout Overbecke, melintasi biara menuju ke mobil, Baeten terkenang akan hari-hari awal masa tugasnya di sana. "Saat pertama kali saya bertugas, rohaniwan senior bertambah tua dan kian gemuk, sedangkan yang muda-muda mengerjakan semua tugas." Ia sedih, katanya, menjadi begitu berpisah langkah dengan para atasan, tetapi tidak menyesal akan jalan yang ditempuhnya kini. "Dalam cara yang kupilih sendiri aku merasa bahagia hidup dalam masa ini, ikut ambil bagian dalam gerakan gereja Katolik, penuh tantangan. Aku mendapat surat simpati dari umat Katolik, yang bermukim di sini dan yang berada di luar, yang berkata, 'Anda benar, bicaralah atas nama kami'. Anda tahu, mereka mulai menjulukiku dengan uskup alternatif dari Den Bosch."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini