DI musim kemarau, siapa yang menanam palawija bisa jadi tidak memetik ubi atau jagung, melainkan seonggok daging. Di Desa Manleten, Kecamatan Tasifoto, Nusa Tenggara Timur, hal tersebut bukan sekadar ungkapan, tetapi betul-betul kejadian. Masalahnya adalah ketiadaan air, yang membuat rumput tak bisa tumbuh. Ternak sapi, yang biasa ditempatkan di padang rumput, oleh yang empunya lalu dilepas agar bisa mencari makan sendiri. Ladang palawija milik orang lainlah yang kemudian menjadi sasaran. Apalagi bila ladang itu tidak di pagar atau ditunggui. Petrus, kepala cabang Yayasan Dian Desa di NTT, sempat menyaksikan betapa rakusnya sapi-sapi itu. Ladang milik yayasan seluas 12 hektar yang ditanami ubi, jagung, dan lamtoro gung ludes karena serbuan sapi yang kelaparan. Pemilik ladang lain pun tak kalah gondok menghadapi masalah tersebut. Musyawarah desa segera diadakan. Pertemuan yang dihadiri kepala desa, petugas koramil setempat, dan wakil dari masyarakat itu menelurkan sebuah putusan. Bunyinya: ternak yang memasuki pekarangan orang lain, halal dibunuh. Si pemilik ladang mendapat bagian 25% dagingnya. Bagian yang sama diperuntukkan kepala desa dan petugas koramil, sedangkan sisanya, 50%, untuk pemilik ternak. Ketentuan itu berlaku sejak diundangkan, Juni 1984 lalu. Sejak saat itu, pemilik ladang merasa mendapat perlindungan. Petrus mengaku, sudah tiga kali menyembelih ternak yang masuk ke ladangnya. Tak ada yang berani protes. Sebab, kata Petrus, "Kalau pemilik sapi protes, kepala desa dan petugas koramil membela saya. 'Kan mereka juga ikut mendapat bagian." Meski senang bisa pesta makan daging, Petrus dalam hati kecilnya merasa tak enak. Ia merasa seperti memakan daging hasil curian. Perasaannya bertambah tak keruan setelah ia menyembelih sapi yang ketiga. Begitu malamnya sapi disembelih, pagi harinya seekor anak sapi berumur tiga bulan seperti mencari-cari sesuatu. Sepertinya dia tahu, sang induk terbunuh di situ. "Saya jadi merinding," tutur Petrus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini