SERSAN Satu Anteredeses Situmorang siang itu sedang makan nasi. Suap pertama baru saja dimulai, sekonyong di luar rumah kosnya itu terdengar ada ribut-ribut. "Saya lihat kotoran manusia berceceran di dinding dan halaman rumah, termasuk di atap kandang ayam," kata Kapolsek Aek Toba, Kisaran, itu pada Burhan Piliang dari TEMPO. Yang membuat ia makin berang, di atas menara air, tak jauh dari rumah itu, dilihatnya ada anak-anak berdiri, bugil, dengan posisi menantang. Beberapa hari lalu mereka memang sudah diingatkan agar tak ngintip wanita mandi. Tetapi karena larangan itu, Anteredeses diejek -- dan kini dinding rumah dan halamannya mereka lempari dengan tinja. Lalu ia bertekad menangkap para bocah tak tahu aturan itu. Mula-mula, Arif Rahman Simangunsong, 14 tahun. Lalu Hakimuddin Siahaan, 12 tahun, dan Alamsyah Putra. "Kami dipaksa menjilat tahi yang berserakan di tanah. Rasanya asin," kata Arif polos. Tak ada pilihan lain baginya kecuali menuruti kemauan polisi yang sudah kehabisan kesabaran itu. "Saya memang menyuruh mencium setelah mereka mengaku membuang tahi itu. Tapi bukan menyuruh mereka menjilati tahi," cerita Anteredeses. Setelah itu, mereka diharuskan minta maaf ke pemilik rumah. Urusannya jadi berekor. Ketiga orangtua anak-anak itu menganggap perlakuan tersebut tak manusiawi. Anteredeses diadukan ke Provost Polres Asahan, awal Juli lalu. Namun, atas saran Kapolres, kasus tersebut diselesaikan secara kekeluargaan. Sebagai tanda perdamaian Anteredeses diharuskan membayar Rp 15 ribu kepada tiap-tiap anak. Tak urung, sebagai tanda ikut prihatin, lurah setempat menyumbang Rp 10 ribu. Hakimuddin sejak kejadian itu mengaku jera. Lalu ia sengaja menggunduli kepalanya. "Buang sial," katanya, terkakah-kakah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini