SEORANG jaksa kembali dituding tertuduh. Ini memang bukan yang pertama kali. Peristiwa yang langsung terjadi di sidang pengadilan pada HUT Kejaksaan, Rabu pekan lalu, itu melibat seorang ibu berusia 44 tahun. Azizah Alwi, tiba-tiba meraung-raung dan berguling-guling di lantai ruangan sidang Pengadilan Negeri Jakarta Utara, begitu dituntut hukuman 2 tahun 6 bulan penjara, karena kasus penggelapan. "Jaksa pembohong, jaksa pemeras, Jaksa Asnawi Naim menipu saya," jeritnya. Ia mengaku telah memberi uang Rp 600 ribu kepada oknum jaksa agar mendapat tuntutan bebas. Ternyata, tuntutan jaksa berbeda dengan janji semula. Jaksa Asnawi, entah mengapa, pada hari itu digantikan oleh rekannya, Nawawi Latief. Ibu tiga anak itu sejak tahun lalu diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dengan tuduhan bekerja sama dengan Wan Ang alias Liem Wan Soeng, seorang pedagang emas, menggelapkan uang dan perhiasan milik bekas Wali Kota Medan, Saleh Arifin dan istrinya, Djuminah, senilai Rp 200 juta lebih. Karena tidak merasa melakukan kejahatan itu, ketika dipanggil Jaksa Asnawi pertama kalinya, ia meminta agar jaksa tidak memojokkannya. "Tolonglah saya diperiksa sejujurnya, Pak. Bapak tidak usah membela, asal melakukan yang sebenarnya sudah cukup bagi saya," ceritanya kepada TEMPO. Tapi ketika ia akan meninggalkan kantor kejaksaan, tuturnya, ia ditemui lagi oleh Asnawi. "Bu, Bu, bisa nggak nyariin duit Rp 2 juta, saya butuh uang, mau ganti mobil. Nanti saya akan kembaliin perkara Ibu ke polisi," kata Azizah menirukan jaksa itu. Sesampainya di rumah, katanya, ia merundingkan permintaan jaksa itu dengan suaminya, yang bekerja sebagai pegawai teknik di Garuda. Terkumpullah uang Rp 200 ribu. Bersama seorang adiknya, ia mengantarkan uang itu kepada Asnawi di Hotel Raden Saleh, Jakarta Pusat. Beberapa waktu kemudian, Azizah, yang terkena wajib lapor dari kejaksaan, menemui Jaksa Asnawi untuk menandatangani surat tanda apelnya. Tapi Asnawi, rupanya, marah dan tidak mau memberikan tanda tangannya. Bahkan jaksa itu mengancam akan menahan Azizah, kecuali jika wanita itu bisa menyediakan uang Rp 800 ribu lagi. Azizah bersama keluarganya kembali sibuk mencari uang. Suaminya terpaksa menjual sepeda motor satu-satunya seharga Rp 275 ribu, sementara wanita itu menjual cincinnya. Suaminya terpaksa pula meminjam di kantor tempat ia bekerja. Tapi Asnawi, yang kecewa dengan jumlah itu, malah mengusirnya. "Tahu tidak, uang sekolah saya untuk menjadi jaksa ini banyak," cerita Azizah, menirukan Asnawi. Keesokan harinya Asnawi ternyata menghubungi Azizah dengan pesan di balik kartu namanya agar wanita itu menemuinya di Hotel Raden Saleh: Kembali Azizah memenuhi permintaan jaksa itu dan menyetorkan uang yang Rp 400 ribu itu. Kali ini pemberiannya diterima Asnawi. Tapi entah kenapa, sehari sebelum sidang dimulai, 19 Oktober 1986, Jaksa Asnawi datang ke rumahnya. Dengan alasan kasihan kepada Azizah, yang sampai menjual harta bendanya, Asnawi menyerahkan kembali uang Rp 400 ribu yang pernah diserahkannya itu. Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, Santoso Wiwoho, yang kaget mendengar ulah anak buahnya itu berjanji akan menindak Asnawi bila tuduhan itu terbukti. Sayangnya, Asnawi yang tinggal bersama istrinya -- juga jaksa, di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat -- di sebuah kompleks kejaksaan di Jakarta Selatan tidak bersedia dihubungi. Tapi kata seorang anggota tim pemeriksa di Kejaksaan Tinggi Jakarta, Asnawi memang mengaku telah menerima uang dari Azizah. Hanya saja, kata Asnawi kepada pemeriksanya, uang itu diserahkan kembali kepada wanita itu sehari kemudian. "Ia jelas salah, tapi tidak seberat jaksa yang menerima suap di kasus judi. Sebab itu, ia hanya akan dipindahkan ke luar Pulau Jawa," kata pemeriksa itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini