Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Persekutuan Jokowi-Luhut Pandjaitan terbuhul sejak 2008 ketika keduanya berkongsi bisnis.
Bagi Jokowi, Luhut menjadi pemandu masuk ke pergaulan politik nasional. Bagi Luhut, Jokowi menjadi politikus dengan citra merakyat yang layak.
Persekutuan Jokowi-Luhut memicu legalisme otokratis yang membusukkan mutu demokrasi Indonesia.
PRESIDEN Joko Widodo terjun ke kancah politik nasional pada 2014 dengan citra “merakyat” sebagai pemimpin yang berbudi luhur dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Banyak klaim yang menyebutkan kepemimpinan pengusaha mebel dari Solo, Jawa Tengah, ini menumbuhkan zaman budaya politik “pasca-Jawa” yang demokratis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagian besar akademikus kurang jeli mengkaji kepemimpinan Jokowi selama dua periode, 2014-2024, khususnya titik balik yang mempercepat pertumbuhan karier politiknya dan pemusatan kekuasaan dari persekutuannya dengan Luhut Pandjaitan, jenderal tentara kolega bisnis yang ia angkat menjadi menteri paling dipercaya, sejak 2008.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persekutuan Jokowi-Luhut melejit dalam ikatan kepemilikan saham Rakabu Sejahtra, gabungan CV Rakabu milik Jokowi dan Toba Sejahtra milik Luhut, pada 2009. Sebagai Wali Kota Solo, Jokowi mendapatkan perlindungan dan pengetahuan Luhut tentang percaturan elite politik Jakarta. Sementara itu, bagi Luhut, persekutuannya dengan Jokowi mendiversifikasi risiko politik dan “menanamkan saham” dalam karier politik Jokowi.
Dengan demikian, mereka bisa “menjual” citra populis dan merakyatnya Jokowi sebagai keunggulan kompetitif dalam memikat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan hingga memenangi pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2012 dan pemilihan presiden 2014. Dari buku festschrift politik Luhut (2023), saya menilai Luhut tampak lebih andal menjadi “patron” Jokowi ketimbang Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Sebab, sejak awal mendiang Taufiq Kiemas, suami Megawati, ragu akan prospek politik dan kesetiaan Jokowi terhadap partainya.
Setelah terpilih menjadi presiden pada Juli 2014, Jokowi menghadapi “buah simalakama” karena para pembesar partai dan pendukung koalisi politiknya tidak ingin memberikan posisi di level kabinet kepada Luhut. Jokowi lalu menerapkan politik “Kuda Troya” dengan melantik Luhut memimpin Unit Staf Kepresidenan pada 31 Desember 2014 (Nababan, 2021).
Dalam waktu kurang dari dua bulan, ia menggemukkan fungsi lembaga ini dan mengubahnya menjadi Kantor Staf Presiden. Luhut pun bisa naik ke “puncak kekuasaan” (apex of power) tanpa menjadi menteri. Baru pada Agustus 2015, Jokowi mengangkatnya menjadi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, lalu pada Juli 2016 menjadi Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, yang mengembangkan kementeriannya menjadi “pusat negara” sebagai pengendali strategis proyek pemerintah.
Penelitian saya menunjukkan Luhut sebagai pemecah masalah politik utama atau “key political fixer” (Mulholland dan Sanit, 2020; Mulholland; 2016; 2015). Jeffrey Winters (2013; 2021) telah menangkap gejala demokrasi prosedural yang memunculkan banyaknya elite menjadi penguasa sekaligus pengusaha atau diistilahkan sebagai “Penguasaha” (Wibisono, 2010) atau “Peng-peng” (Ramli, 2016). Namun Winters mengabaikan persekutuan Jokowi-Luhut. Marcus Mietzner dalam kajian koalisi presidensialisme (2023; 2015) mengakui persekutuan ini, tapi tidak menjelaskan lebih dalam inti sari “deskripsi pekerjaan” Luhut sebagai “perdana menteri informal” yang secara berlebihan diandalkan Jokowi.
Selama masa kepresidenan Jokowi, secara konsisten Luhut menjalankan “deskripsi pekerjaan” tersebut sehingga meningkatkan ruang gerak politik Jokowi terhadap para pembesar partai koalisi pemerintahan, termasuk Megawati, dalam kontestasi intra-elite. Selain itu, ia dipercaya mengemban banyak jabatan sementara yang penting di kabinet dan penugasan nonstruktural. Persekutuan Jokowi-Luhut lebih mencerminkan “hubungan informal” dan “rasa saling percaya” dibanding “sistem organisasi aparatur negara”.
Sebagai pemecah masalah politik dan koordinator kebijakan investasi, yang memandang “negara sebagai pasar politik” (state as political marketplace), Luhut mencermati dan mengatur aliran pendanaan kebijakan dan proyek nasional (Dick dan Mulholland, 2018). Karena itu, ia berperan penting mengendalikan perusahaan-perusahaan negara, termasuk PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dan Mining Industry Indonesia (MIND ID). Luhut memimpin negosiasi dan kesepakatan divestasi saham asing di Freeport serta Vale. Saking luasnya kewenangan Luhut, Pertamina merelokasi kantor pusatnya ke Menara Sopo Del milik Toba Sejahtra.
Ada banyak contoh Luhut mengendalikan kebijakan dan program pemerintah, antara lain mobilisasi dukungan untuk Ibu Kota Nusantara dengan mendirikan Otoritas Investasi Indonesia. Luhut juga “memproyekkan” bidang infrastruktur (misalnya jalan tol Trans Sumatera), transportasi (kereta cepat Jakarta-Bandung-Surabaya), manajemen krisis kesehatan (pandemi Covid-19), pariwisata (Danau Toba, Sumatera Utara), pertanian (lumbung pangan dan impor sapi), serta komunikasi dan informatika (Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik dan Starlink).
Jokowi mendelegasikan kebijakan mineral pemerintah, termasuk pengadaan kendaraan listrik, kepada Luhut. Akibatnya, Indonesia melarang ekspor nikel dengan dalih penghiliran. Jaringan kekuasaan Luhut beroperasi pada pusaran industri tersebut. Sekutu terdekat Luhut, purnawirawan tentara Sintong Panjaitan, adalah komisaris utama kelompok Bintang Delapan yang bermitra dengan Tsingshan dari Tiongkok untuk menguasai Kawasan Industri Morowali di Sulawesi.
Di hilir, bisnis kendaraan listrik Toba Sejahtra, Electrum, dikelola keponakan Luhut, Pandu Sjahrir. Tanpa perlawanan politik dari Menteri Keuangan Sri Mulyani, Luhut membentuk kebijakan fiskal dan keputusan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara seperti subsidi kendaraan listrik. Pakar ekonomi Indonesia, Faisal Basri, mengecam konsep hilirisasi nikel ini karena lebih berpihak kepada kepentingan elite dibanding menghasilkan dampak positif bagi industrialisasi dan kesejahteraan sosio-ekonomi masyarakat Indonesia.
Untuk melindungi kekuasaan dan kekayaan yang makin menumpuk, persekutuan Jokowi-Luhut memperparah tren politik legalisme otokratik. Tren itu muncul dalam pelemahan lembaga-lembaga pengawas sehingga melegitimasi kesewenang-wenangan politik tapi terlihat legal. Komisi Pemberantasan Korupsi berubah menjadi senjata politik dan sasaran perebutan kekuasaan yang meningkatkan kontestasi intra-elite yang makin merendahkan mutu demokrasi prosedural di Indonesia.
Meski Jokowi dan Luhut mengklaim KPK berfungsi dengan baik, tingkat korupsi menurun, dan pemerintah tidak mengintervensi lembaga ini, faktanya intervensi mereka terlihat dalam pelindungan sekutu politiknya, mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Golkar, Setya Novanto, dalam korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik. Untungnya, intervensi ini ditolak Ketua KPK (2015-2019) Agus Rahardjo dan wakilnya, Saut Situmorang.
Setelah revisi Undang-Undang KPK 2019 yang melemahkan lembaga ini, Jokowi dan Luhut bersaing dengan Megawati dan “orang kepercayaannya”, Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan, berebut kendali atas KPK. Meski awalnya dekat dengan Budi, Ketua KPK Firli Bahuri makin mengakomodasi persekutuan Jokowi-Luhut. Pendekatan antikorupsi Firli bias dan amburadul.
Dengan Dewan Pengawas KPK yang tidak efektif, Firli mengedepankan dalih pencegahan korupsi di permukaan sambil tutup mata terhadap konflik kepentingan dan korupsi politik yang terkait dalam persekutuan Jokowi-Luhut. Firli mengabaikan dugaan kasus penyelundupan bijih nikel dan upaya pelindungan investor Tiongkok oleh Luhut serta konflik kepentingan proyek ketenagakerjaan dan pariwisata Danau Toba yang dikerjakan Institut Teknologi Del dan PT Toba Tenun Sejahtra. Firli juga tak mengusut kepemilikan manfaat (beneficial ownership) Luhut atas laboratorium uji PCR dalam masa krisis Covid-19, konsesi pertambangan emas bekas Freeport di Blok Wabu, serta dugaan pencucian uang oleh anak-anak Jokowi, Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep.
Firli justru menyasar rival politik Jokowi dan Luhut, terutama jaringan kekuasaan Surya Paloh, Jusuf Kalla, dan Megawati. Hal ini memicu eskalasi konflik yang memecah koalisi politik yang berkuasa dan berujung pada efek bumerang dengan eskalasi konflik di antara dua jenderal polisi, Firli dan Kepala Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya Karyoto. Pada akhir 2023, Jokowi terpaksa memecat Firli, meski tidak mengembalikan independensi dan kekuasaan KPK sebelumnya yang sudah dikebiri melalui revisi Undang-Undang KPK.
Secara keseluruhan, persekutuan Jokowi-Luhut telah menjadi poros ekonomi-politik Indonesia dalam satu dekade terakhir (Mulholland, 2024). Pemerintahan yang populis dan sarat persekongkolan ini telah memicu pembusukan mutu demokrasi. Prabowo Subianto, presiden terpilih yang berpasangan dengan anak Jokowi, mungkin tak akan memprioritaskan pembalikan tren tersebut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo