Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Hilangnya Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi

Problem kebebasan berekspresi terwujud lewat penguasa yang antikritik. Memakai hard dan soft power untuk membungkam kebebasan.

28 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA yang kita ingat dari sepuluh tahun pemerintahan Joko Widodo dalam hal kebebasan berpendapat dan berekspresi? Menurut Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Jokowi antikritik dan tak mendengarkan rakyat. Sikap antikritik ini terlihat dari serangkaian teror dan intimidasi terhadap orang-orang yang kritis terhadap pemerintahan. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia menyebutkan terjadi praktik penghancuran demokrasi dan negara hukum dalam pemerintahan Jokowi. Setara Institute pun menilai jaminan kebebasan berekspresi, bersama pemenuhan hak atas tanah, merupakan hal terburuk dalam kepemimpinan Jokowi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kemunduran demokrasi pada era Jokowi juga ditandai dengan ancaman represi serta kriminalisasi terhadap kemerdekaan berkumpul, berpendapat, dan berekspresi warga negara yang menyerukan kritik atas berbagai penyimpangan yang terjadi. Pendapat itu tak tunggal karena para pendukung, organisasi penyokong, dan akademikus memuji Jokowi bahwa kondisi kebebasan saat ini lebih baik daripada sebelumnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saling tanding narasi, termasuk untuk hal yang seharusnya sudah jelas, seperti pelanggaran hukum dan hak asasi manusia, mencerminkan adanya masalah dalam kebebasan berpendapat. Para korban dan orang yang melakukan advokasi tak mudah memberitahukan adanya pelanggaran kebebasan dalam pemerintahan Jokowi. Perbedaan persepsi tentang pemerintahan Jokowi itu menjelaskan bahwa citra politik bukan hal baru karena sudah tercatat sejak era Homer dan Hesiod pada masa sebelum Masehi. Pada masa itu, seperti ditulis Roger Brock dalam Greek Political Imagery from Homer to Aristotle, citra politik dicapai dengan dasar yang sudah diterima atau cukup dikenal dan masuk akal sehingga publik dapat dibujuk untuk mendukungnya.

Cakupan kebebasan berpendapat sesungguhnya cukup luas karena mengacu pada instrumen hak asasi manusia nasional dan internasional yang telah menjadi hukum Indonesia. Pertama, hak untuk berpendapat tanpa campur tangan, termasuk pendapat politik, ilmiah, moral, ataupun keagamaan. Pelecehan, intimidasi, dan stigma, termasuk penangkapan, penahanan, persidangan, atau pemenjaraan karena pendapat, merupakan pelanggaran terhadap hak ini. Kedua, hak berekspresi, termasuk mencari, menerima, dan memberi informasi ataupun gagasan. Cakupannya, mengekspresikan dan menerima komunikasi dalam semua bentuk, termasuk wacana politik, komentar pribadi ataupun urusan publik, penyelidikan, diskusi HAM, jurnalisme, ekspresi budaya dan artistik, wacana dan pengajaran keagamaan, serta iklan komersial. Semua bentuk ekspresi dan penyebarannya dilindungi, seperti lisan, tulisan, bahasa isyarat, serta ekspresi nonverbal, misalnya gambar dan benda seni. Pers atau media yang bebas, tidak disensor, dan tanpa hambatan penting untuk memastikan kebebasan berpendapat dan berekspresi ini.

Masalah kebebasan berekspresi dan berpendapat selama sepuluh tahun Jokowi berkuasa mencakup beragam kasus serta kebijakan. Laporan berbagai organisasi non-pemerintah secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam kasus yang menggunakan hard dan soft power. Hard power antara lain penangkapan disertai kekerasan, penahanan, pemburuan, kriminalisasi, serta pengawasan, termasuk pembuntutan, intimidasi, dan teror. Soft power adalah peretasan akun (pribadi, organisasi, dan grup-grup komunikasi), wawancara palsu, doxing, persekusi online, penggunaan buzzer alias pendengung untuk mengecilkan atau menyimpangkan masalah serta merusak kredibilitas penyampai pesan, juga bentuk-bentuk baru sensor, seperti penghapusan mural atau konten media sosial. Pengendalian institusi pendidikan termasuk kategori ini, seperti tekanan melalui relasi kuasa rektor kepada dosen, dosen kepada mahasiswa, atau guru kepada murid, termasuk memerintahkan untuk ikut ujian saat momen penting penyampaian pendapat di muka umum. 

Siapa korbannya? Mengidentifikasi korban menjadi hal menarik karena akan membawa kita ke tujuan pelaku penghambat kebebasan berekspresi dan berpendapat. Kriminalisasi yang terjadi pada 2015 berpusat pada kasus Cicak versus Buaya, ketika pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mengalami kriminalisasi setelah menetapkan status tersangka pemimpin Kepolisian Republik Indonesia. Puluhan orang yang menyampaikan dukungan kepada KPK juga menjadi tersangka.

Pada 2016, sebanyak 26 aktivis—yang mayoritas pemimpin serikat buruh—mengalami kriminalisasi karena memprotes aturan pengupahan. Kriminalisasi terhadap aktivis dan pembela demokrasi terus terjadi pada tahun-tahun berikutnya, seperti penolakan revisi Undang-Undang KPK dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (2019), pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (2020), serta pelanggaran terhadap kelompok oposisi dan pengkritik penyelenggaraan pemilihan umum yang terindikasi curang (2019 dan 2024).

Kebijakan pemerintah untuk mengecilkan ruang demokrasi tak berhenti di situ. Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perpu Ormas) pada 2017 serta surat telegram Kapolri pada 2 Oktober 2020 yang secara vulgar memerintahkan personel kepolisian menghalangi penyampaian pendapat di muka umum. Pemerintah juga terlibat dalam dua revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik serta pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berisi pasal-pasal yang mengancam kebebasan. Pemerintahan Jokowi menunjukkan permainan kuasa dalam kemunculan kebijakan ini.

Dalam Perpu Ormas, sikap publik terbelah karena pemerintah menggunakan narasi intoleransi. Regulasi itu dikeluarkan untuk memberangus Hizbut Tahrir Indonesia yang dinilai bertentangan dengan Pancasila. Para ahli hukum bahkan tersihir lantas percaya bahwa perpu yang kemudian disahkan menjadi undang-undang itu hanya ditujukan untuk satu kelompok.

Demikian pula dengan kemunculan virtual police. Program ini dikritik banyak pihak karena menimbulkan berbagai pelanggaran kebebasan berpendapat dan berekspresi, termasuk dalam penyampaian pendapat di muka umum. Kemudian Jokowi dalam pidatonya mengecilkan persoalan tersebut hanya pada kebebasan di ranah digital.

Kasus pelanggaran kebebasan berekspresi dan berpendapat ini sesungguhnya mencakup beberapa isu saja. Di antaranya pelemahan komisi antikorupsi, penyempitan demokrasi, penolakan atas pembangunan, dan kritik terhadap kekuasaan, termasuk terhadap Jokowi sendiri. Kasus tersebut merupakan fenomena yang mencerminkan bahwa hasrat kekuasaan telah menghambat kritik, menepis partisipasi publik dalam proses legislasi, dan mengendalikan narasi publik.

Hasrat kekuasaan itulah yang juga menghambat kebebasan berkumpul dan menyampaikan pendapat di muka umum. Seusai Reformasi 1998, baru pemerintahan Jokowi yang membuat sebagian besar demonstrasi di Jakarta tak berhasil mencapai area depan Istana. Aksi itu hanya berhenti di sekitar Patung Kuda, dekat Monumen Nasional. Hal tersebut merupakan simbolisasi kuat atas mundurnya demokrasi, mengingat salah satu undang-undang yang dibentuk pasca-Reformasi 1998 adalah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Aturan itu berlaku pada 26 Oktober 1998—lima bulan setelah Soeharto, yang berkuasa selama 32 tahun, mundur. Cara pemerintah menghambat unjuk rasa menjadi penanda munculnya pemerintahan otoritarian dalam sistem demokrasi.

Jokowi secara konsisten menyampaikan di ruang publik perihal jaminan konstitusi terhadap kebebasan berpendapat, berserikat, dan berkumpul. Dia bahkan mengatakan iklim demokrasi di Indonesia saat ini makin liberal, yang ditandai dengan kebebasan berpendapat yang makin bebas.

Apa yang bisa dimengerti dari fenomena kebebasan berpendapat dan berekspresi di era Jokowi ini? Mari kita ingat kembali kasus, kebijakan, korban, serta pola-pola yang ada dalam pelanggaran kebebasan berpendapat dan berekspresi. Hilangkan identitas 10 tahun pemerintahan Jokowi dari dia dan hanya lihat perbuatan dan korbannya. Apa yang tampak? Wujudnya bagi saya adalah seorang penguasa yang tidak segan-segan menggunakan kekerasan, melanggar hukum bahkan konstitusi, dan mengatakan hal yang bertolak belakang dari kenyataan secara berulang-ulang tanpa berkedip. Penguasa yang tidak mau mendengar kritik publik, tak mau mendapat pengawasan, dan tidak peduli hukum. Itulah yang perlu kita ingat dari pemerintahan Jokowi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus