BERBEDA dengan biasanya, sekali ini seorang lurah mengadukan
warganya kepada DPR-RI. Awal Mei kemarin Lurah Desa Pandu
Kecamatan Cerme (Kabupaten Gresik) mengutus sebuah tim terdiri
dari 3 orang Jasipan, penduduk desa bersangkutan, diadukan
sebagai telah menguasai tanah seluas 3,5 hektar secara tidak
sah. Sampai pekan lalu persoalannya masih ramai.
Bermula adalah Sastrosumitro Sukri, Lurah Desa Pandu, awal 1950-
an menggarap tanah penduduk, Djojoasmorais. Pada 1955 ada
verifikasi tanah. Tanpa pengetahuan Djojo tanah tadi dicatat
menjadi atas nama Lurah.
Beberapa waktu kemudian Djojo meninggal dunia. Sastro
menyerahkan tanah itu kepada Ariokacing. Dia ini hanya anak
angkat dari Djojo. Tapi lantaran Djojo tidak mempunyai anak, dia
dianggap ayah sebagai pewaris.
Masalahnya kemudian tanah itu rupanya masih tercatat dalam buku
verifikasi tanah sebagai harta kelurahan. Maka ketika Ariokacing
terakhir mewariskan pula tanah itu kepada anaknya Jasipan,
pewaris terakhir ini tidak otomatis bisa menggarapnya Malah
dalam lampiran Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur tentang
pengesahan Lurah Pandu Slamet (1966) tanah itu disebut dalam
status intil-intil dan suguh dayuh -- pokoknya milik desa.
Persoalan sampai di pengadilan setelah di satu pihak Jasipan
berusaha menggarap tanah itu di lain pihak Lurah Slamet
mengklaimnya. Pengadilan Negeri Gresik, dalam putusannya pada
1973 memenangkan Jasipan. Pengadilan Tinggi sebaliknya. Jasipan
meneruskan pengaduan sampai ke Mahkamah Agung. Putusan MA
pertengahan tahun lalu membenarkan putusan Pengadilan Negeri
Gresik.
Yang Penting
Lurah Slamet tidak puas, sekalipun secara hukum persengketaan
itu sudah final. Tapi dengan alasan hukum pula bahwa dalam salah
satu SK Gubernur Jawa Timur tanah yang semula dipersengketakan
itu disebut-sebut dalam status intil-intil dan suguh dayuh,
Lurah Slamet melakukan berbagai aksi. Mulai dari minta
perlindungan camat atas tanah tadi, sampai kepada melaporkan
Jasipan kepada Kodak X sebagai telah "menyalah gunakan keputusan
Mahkamah Agung."
Berbagai instansi berusaha menyadarkan Slamet akan kewenangan
Mahkamah Agung memberikan putusan final sesuatu peradilan.
Slamet tetap tidak puas. Sampailah akhirnya 5 Mei lalu ia
mengutus 3 orang penduduk desa Pandu ke DPR-RI di Jakarta.
Sebelumnya, 1 Mei, ia telah pula menulis surat kepada Menteri
Kehakiman. Isinya menuntut agar tanah itu dikembalikan menjadi
milik desa.
Tim utusan Slamet dipimpin Hadi Sukamto, juru tulis desa.
Kepada Soekardjono dari Fraksi Karya ia mengatakan: "terserah
mau diapakan tanah itu oleh pemerintah, yang penting bisa
dimanfaatkan bersama."
Bisakah? Siapa pun tahu kewenangan Mahkamah Agung. Tapi,
Soekardjono rupanya mengkhawatirkan terjadinya kerusuhan fisik.
Setelah menerima delegasi Desa Pandu tadi ia meminta agar DPRD
Jawa Timur menyelesaikan persoalan ini. Ketua DPRD Blegoh pun
memahami maksud Soekardjono. Kepada Gubernur ia meminta agar
mengambil langkah-langkah prefentip. "Kalau memang terdapat
kesalahan admimstrasi seperti tercantum dalam besluit yang
diterima Slamet, saya minta kepada (lubernur untuk mengadakan
pembetulan," ujar Blegoh kepada TEMPO.
Belum jelas betul apakah dalam besluit yang disebut-sebut itu
memang ada kekeliruan. Namun menurut Bupati Gresik Wasiadji SH
instruksi Gubernur untuk mengatasi sengketa itu sudah
diterimanya. Yakni tahap pertama antara Lurah Slamet dan Jasipan
akan diusahakan bermusyawarah mengenai nasib ikan milik Slamet
yang kini tersebar di sawah yang disengketakan. Tapi tahap
kedua, putusan Mahkamah Agung memang harus dilaksanakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini