SEROMBONGAN helikopter datang pada pukul 8 malam 25 Agustus lalu," tutur Sherif Saadallah pada reporter David Hirst, "dan mereka menjatuhkan gas di kampung kami, Nerva. Banyak orang tewas di sana -- sekitar 120 orang pada desa yang berpenduduk seribuan." Nerva hanyalah sebuah kampung Kurdi di Irak Utara. Sherif adalah salah seorang yang beruntung: selamat dan sempat lari ke Turki. Bertahun-tahun, ia hidup dalam hujan bom dan dalam kancah perang antara tentara Irak dan gerilyawan Kurdi yang berjuang untuk kemerdekaannya. Ia tak bisa kabur, karena itu satu-satunya tempat yang ia kenal. Bom? Apalah bom. Ia masih bisa menemukan gua-gua pegunungan buat berlindung. Tetapi menghadapi gas apa uang bisa dipakai buat berlindung. Sherif pun meninggalkan segalanya, lari pontang-panting ke utara mencari selamat. Sherif hanya seorang di antara ribuan orang Kurdi yang lain. Membentang sepanjang ratusan kilometer di perbatasan Turki-lrak, kelompok demi kelompok pengungsi muncul dari selatan para keluarga dengan anak-anaknya, para lanjut usia, juga para remaja yang tengah mekar-mekarnya. Mereka terpaksa berjalan kaki berhari-hari sebelum mencapai perbatasan. Mengalir dari berbagai tempat di Irak Utara, dari lembah-lembah tempat persembunyian gerilyawan Kurdi. Mampu bertahan menghadapi bom di masa lalu, kini mereka kabur diporak porandakan senjata yang tak ada penangkisnya gas racun. Ya, bukan hanya Sherif. Semua mereka mengadukan nasib mengerikan yang menimpa kaumnya, meratapi mereka yang terpaksa di tinggal mati kelu nun di sana -- sebagian besar menceritakan bagaimana bom gas telah melalap kampung-kampung mereka. "Jahanam itu bagai asap yang menyergap mata kami, tubuh-tubuh kami," kata Siddiq Shakir, gerilyawan Kurdi, pada reporter lain. "Baunya macam bawang busuk, menggigit dan membakar. Di kampung ada 900 orang penduduk, sebagian besar mereka tewas. Begitu juga kambing, keledai, dan kucing." Hanya mereka yang kuat yang bisa kabur dan sampai di perbatasan. Banyak di antara mereka yang luka terbakar, kulit hangus, dan cacat karena gas beracun. Di semua kamp pengungsi, orang-orang bergeletakan. Sebagian mungkin karena disentri, tapi sebagian lain jelas lantaran pengaruh sengatan gas beracun itu. Kesaksian para pengungsi meyakinkan bahwa pemerintah Irak telah menggunakan gas beracun secara sistematis dan besar-besaran di daerah perbatasan, untuk menyapu habis perlawanan orang Kurdi. Dari berbagai daerah terlontar kisah yang sama, bagaimana kampung mereka diserbu. Salah seorang menyebut adanya "lautan gas" yang membentang antara kampung dan lembah tempat persembunyian penduduk. Inilah mungkin pertama kalinya dalam sejarah: pemerintah memakai senjata terkutuk untuk membasmi warganya sendiri. Dan korban, kebanyakan, penduduk sipil. Bukan gerilyawan. Bukan main. Para pengungsi membutuhkan waktu lebih dari seminggu untuk bisa menyeberang. Pemerintah Turki membangun penampungan darurat, tempat mereka mendapat pengobatan ala kadarnya. Aliran pengungsi menurun karena tentara Irak menutup tempat penyeberangan, siapa pun yang mencoba pasti ditangkap atau ditembak. Diperkirakan 50 hingga 150 ribu pengungsi Kurdi memasuki Turki, minggu-minggu itu. Agaknya, sejumlah yang sama telah berada di perjalanan, tapi tak pernah bisa mencapai perbatasan. Dari Turki, dentaman artileri dan bom terus terdengar di sisi perbatasan. Tentara Irak tak henti-hentinya menggempur sisa-sisa Kurdi yang membandel. Pemimpin Kurdi Mas'ud Barzani, sebagaimana dituturkan oleh banyak orang, masih bertahan bersama orana-orangnya terus bertahan habis-habisan. Ketika laporan perang kimia untuk menggempur Kurdi muncul di pers internasional Irak membantah keras. Mereka mengaku tak pernah memakai senjata kimia, sebagaimana yang pernah dilakukan sebelumnya. Sejumlah negara Arab lain membela Irak, dan mengatakan bahwa laporan soal gas beracun itu upaya mengalihkan perhatian dari kebangkitan Palestina. Turki juga. Pada mulanya, Turki pun menyembunyikan kriminalitas perang ini dari perhatian umum. Para pejabat Turki bilang, tak ada tanda bahwa ada gas beracun telah digunakan. Bila para pengungsi luka, kata mereka, itu karena kurang gizi dan iklim yang buruk. Turki punya kepentingan menjaga hubungan baik dengan Irak. Lebih dari itu, Turki pun punya banyak masalah dengan Kurdi di negerinya. Kaum gerilyawan Kurdi bukan hanya ada di Irak, tetapi juga di Turki. Turki dan Irak mengikat perjanjian militer untuk bekerja sama menumpas gerakan Kurdi. Tudingan Kurdi bahwa Irak kembali memakai senjata kimia secara besar-besaran mendapat sambutan dari pihak yang tak diharapkan: Amerika Serikat. Departemen Luar Negeri AS memastikan ada bukti penggunaan gas beracun Irak. Bukti itu secara tak langsung menunjukkan bagaimana ahli-ahli Amerika di Turki berhasil menggaet rahasia militer Irak. Belakangan, Perdana Menteri Turki Turgut Ozal dilaporkan mengutuk penyalahgunaan bahan kimia yang telah menghajar rakyat sipil itu. Protes pun berdatangan dari berbagai penjuru dunia. Namun tak hegitu menolong orang-orang Kurdi. Menlu AS Shultz menyebut peristiwa itu "kejahatan terhadap kemanusiaan." Parlemen Eropa menghadiahkan kutukan keras, dan mengimbau agar negara-negara Barat menyetop ekspor senjata dan bahan kimia ke Irak. Senat AS mengadakan pemungutan suara buat memberlakukan sanksi ekonomi pada Irak. Namun, kemudian, tak satu pun yang dijalankan. Tak satu pun negara Eropa memberlakukan sanksi. Kepentingan ekonomi dan politik terhadap negara kaya minyak itu tampaknya tetap lebih berat ketimbang perhatian mereka pada kejahatannya. Eiarpun tak menekan langsung Irak, pemerintah AS mengusulkan agar PBB mengirim misi untuk menyelidiki penggunaan senjata kimia di Irak Utara. Sejumlah negara Barat lain mendukung gagasan ini. Namun, Irak dengan gampang menolak. Tak ada senjata kimia terpakai, katanya, dan tak ada yang perlu diselidiki. Turki juga menolak misi PBB mengunjungi kamp pengungsi, untuk mengadakan penyelidikan. Hampir tiga bulan berlalu, dan tak ada yang bisa mencegah pemerintah Irak untuk terus mengebom orang Kurdi dengan racun. Lalu, perlahan, dunia pun kembali melupakan Kurdi. Sejumlah Kurdi yang lari ke Turki adalah gerilyawan. Selama bertahun-tahun terakhir, Kurdi Irak terus berjuang untuk apa yang mereka yakini sebagai hak demokrasi mendasar, dan sejumlah tertentu otonomi. Kecil harapan bahwa rezim Saddam Hussein akan mengabulkan tuntutan mereka. Maka, mereka pun bergabung dengan kalangan oposisi Irak, agar rezim itu jatuh. Dalam Perang Teluk, kaum Kurdi menemukan kepentingan yang sama dengan Iran. Mereka pun menjalin kerja sama militer. Dengan pasukan dan logistik dukungan Iran, organisasi Kurdi berhasil menguasai sejumlah besar pegunungan bagian utara Irak. Dataran rendah dan pebukitan kecil tetap dikuasai pemerintah Irak. Namun, di pegunungan yang lebih tinggi, pasukan tank dan persenjataan canggih lain menjadi tak berguna. Orang Kurdi adalah gerilyawan berpengalaman. Dengan jumlah kecil mereka sanggup menguasai lembah-lembah, menggempur tentara pemerintah. Segera setelah "daerah merdeka" dikuasai kaum pergerakan, orang-orang Kurdi dari wilayah kekuasaan pemerintah pun hijrah ke sana. Pemerintah telah menghancurkan ribuan kampung, dan memindahkan penduduknya ke kamp atau kota-kota kecil yang diawasi ketat. Banyak di antara mereka hengkang kembali ke "daerah merdeka", bercocok tanam di sana, atau menjadi gerilyawan. Mereka bergabung bersama para pelajar dan kaum muda lain yang lari dari penangkapan rezim Saddam. Kaum Kurdi juga telah memberi bantuan tak ternilai pada Iran dalam penyerbuan "front" utara. Sebagian besar langkah tentara Iran di Irak Utara adalah berkat dukungan gerilyawan Kurdi. Orang Kurdi menguasai medan dan mereka jagoan perang gerilya. Iran lalu menempatkan orang dan senjata untuk menjaga setiap petak tanah yang dibuka oleh serangan Kurdi. Dapat dimengerti apa yang kemudian dilakukan oleh Irak. Sewaktu Iran akhirnya menyetujui gencatan senjata, tentara Irak bebas untuk berkonsentrasi mengganyang Kurdi. Hari berikutnya, 19 Juli lalu, Saddam mengirim pasukan para-elitenya yang garang, ke utara dan timur laut, untuk menggempur "daerah merdeka". Pemerintah jelas memutuskan untuk memecahkan "masalah Kurdi" sekali pukul agar tuntas. Di tahun-tahun silam, rezim Saddam telah biasa memakai cara brutal buat menghantam Kurdi. Ribuan kampung dihancurkan, semua distrik dibom, dan tak terhitung lagi orang sipil termasuk wanita dan anak-anak -- dibantai. Kali ini, ia melangkah ke tahap lebih lanjut: memerintahkan memakai gas beracun. Setelah melakukan serbuan gas beracun pemerintah Irak membuka pengampunan bagi orang Kurdi yang selamat -- jika mereka menyerah. Orang Kurdi tak percaya "niat baik" Irak itu. Beberapa tahun lalu, sejumlah kelompok Kurdi menyerah, tak lama setelah "pintu pengampunan" dibuka. Namun, orang-orang itu kini "hilang" entah ke mana -- dikhawatirkan semuanya sudah mampus. Maka, sekarang mereka menolak menyerah, dan mengaum ke arah dunia agar menyelamatkannya. Tapi seruan itu tak berarti banyak: tak ada kekuatan asing yang bisa menekan Irak, agar tak melanjutkan pengganyangannya pada Kurdi. Demikianlah senjata kimia telah dipakai buat menghantam Kurdi. Maret lalu, misalnya, kembali 4.000 orang di kota Kurdi Halabja -- dekat perbatasan Iran -- dibunuh dengan gas beracun. Halabja, selama beberapa hari, sempat diduduki Iran yang didukung gerilyawan Kurdi. Iran mengundang para wartawan asing ke Halabja untuk menyaksikan apa yang terjadi. Foto-foto yang mengagetkan pun muncul di depan hidung dunia, memperlihatkan kengerian perang kimia. Hampir semua korban orang sipil. Sebagian besar warga Halabja tewas seketika. Seseorang melihat bagaimana mereka mencoba lari menyelamatkan diri, tapi lalu terjungkal mati. Di antaranya para orang tua yang tetap menggendong anaknya. Busa di mulut mereka memperlihatkan betapa nyerinya kematian yang mengerikan itu. Peracunan Halabja agaknya adalah peringatan Irak buat Iran. Yakni bahwa apa yang terjadi di Halabja bisa juga terjadi di Teheran. Irak mempunyai cukup pesawat untuk menjatuhkar gas yang sama ke ibu kota Iran. Gas pun cukup untuk menyetop semua serangan baru Iran. Iran memahami ancaman itu. Lebih dari perkara lain. ketakutan terhadap senjata mengerikan itu yang mendorong Iran mau membuka genjatan senjata dan berunding dengan "si setan kecil" Saddam Hussein. Toh Irak tetap membantah telah memakai senjata kimia. Sebuah misi PBB yang telah memeriksa korban Halabja menyimpulkan: pemakaian senjata itu tak diragukan. Kendati begitu, tak ada sanksi bagi Irak: baik Uni Soviel maupun negara Barat terus mendukung Irak dalam perang lawan Iran. Bahan kimia yang diperlukan untuk senjata itu tetap dijual pada Irak. Sukses memakai senjata ini di Halabja dapat mendorong Saddam untuk menggunakannya kembali. Kegagalan Barat pendukung Irak untuk menekan rezim itu menjadikan mereka juga harus bertanggung jawab pada kejahatan perang ini. Lepas dari perkara Irak-Kurdi kali ini, senjata kimia mulai dipakai secara luas pada Perang Dunia Pertama. Gas mustard adalah jalan murah buat membunuh banyak tentara musuh. Gas itu membunuh tanpa pilih-pilih: orang atau binatang, tentara atau sipil, tua atau muda. Kengerian pada perang melahirkan larangan senjata jenis itu. Semua pihak setuju, pembunuhan tanpa pandang bulu tak akan pernah terjadi lagi. "Geneva Protocol" tahun 1925, yang ditandatangani banyak negara, melarang keras pemakaian senjata kimia oleh negar2 yang berperang. Setelah itu dunia berkali-kali bertikai. Namun, semua negara masih mematuhi larangan itu -- sampai akhirnya pecah Perang Teluk. Bukan berarti senjata macam itu lenyap. AS, Uni Soviet, dan Prancis telah melakukan banyak riset senjata kimia, dan merekalah yang diketahui memiliki banyak cadangan senjata laknat ini. Sekurangnya 16 negara lain dipastikan punya senjata serupa. Irak, tentu juga Israel, Iran, Syria Mesir, Libya, dan Etiopia. Di kawasan Asia yang tercatat adalah Burma, Muangthai, Vietnam, Cina, Korea Utara dan Selatan, dan Taiwan. Yang lain adalah Kuba dan Afrika Selatan. Senjata kimia kadang disebut "bom nuklir orang miskin". Murah, relatif mudah dibuat, dan efeknya dahsyat. Yang mengkawatirkan, banyak negara mulai membikin bom itu dan memakainya untuk menyelesaikan konflik lokal. Bermula di Timur Tengah dan Asia, tahun ini, "the Geneva Protocol" masih bisa mengontrol bahaya ini. Namun, pemakaian oleh Irak menjadi preseden berbahaya, lantaran tiadanya sanksi yang berarti. Preseden ini akan mempermudah yang lain untuk melakukan hal yang sama. Orang Kurdi telah menjadi tumbal gas beracun. Bagi gerakan Kurdi, petaka ini malah menggumpalkan semangat nasionalnya walaupun mereka tampak terlalu bergantung pada Iran. Mas'ud Barzani, satu dari dua pemimpin paling penting Kurdi, memperlihatkan bahwa sikapnya dan sikap pemerintah Teheran serupa: menggulingkan Saddam Hussein. Dan Barzani mengharap bantuan Iran buat mengukuhkan pemerintahan Kurdi di Irak Utara. Pemimpin Kurdi yang lain, Jalal Talabani, amat skeptis dan kurang percaya pada pemimpin agama di Iran. Ia malah menjalin hubungan dengan kaum oposisi Teheran -- khususnya dengan Kurdi Iran yang memberontak pada Teheran. Namun, pada akhirnya ia bekerja sama pula dengan Iran. Sikap Iran menerima gencatan senjata Irak mengguncangkan orang-orang Kurdi: mereka kini tiba-tiba sendirian lagi, tanpa kawan. Serangan pemerintah Irak telah melemparkan massa Kurdi ke Turki. Semua pengungsi itu berasal dari wilayah kekuasaan Barzani -- daerah yang dikendalikan Talabani yang amat jauh dari perbatasan Turki. Dan dunia tak tahu apa yang persisnya terjadi pada mereka. Pemerintah Teheran, yang merasa punya kewajiban moral pada Kurdi kelompok Barzani, mengundang kaum pengungsi untuk tinggal di Iran. Sebenarnya, apa yang terjadi kali ini adalah pengulangan kisah sedih tiga belas tahun lampau. Pada tahun 1974-75, Kurdi Irak bangkit mengangkat senjata melawan Baghdad. Mulla Mustafa Barzani, ayah Mas'ud, yang memimpin. Mereka punya senjata jauh lebih banyak ketimbang sekarang, dan memilik "daerah merdeka" yang lebih luas. Saat itu, Syah memberikan dukungan yang tanpa batas, lantaran Iran terlibat konflik perbatasan dengan Irak. Syah malah mempertemukan Banani dengan Henry Kissinger yang menjanjikan dukungan CIA. Namun, baik Syah maupun CIA tak tertarik untuk memenangkan Kurdi. Mereka hanya ingin memperlemah pemerintah Baghdad. Maret 1975, Syah mencapai persetujuan dengan Saddam Hussein, lalu menarik seluruh dukungannya pada Kurdi. Pada saat yang sama, tentara Irak memulai penyerbuan musim seminya pada Kurdi di pegunungan. Kaum Kurdi telanjur amat bergantung pada Iran, maka mereka tak mampu melanjutkan perang sendirian: seluruh amunisi dan makanan berasal dari Iran dan mereka hanya punya sedikit persediaan. Mereka hanya punya pilihan, lari ke Iran atau menyerah. Lebih dari seratus ribu orang Kurdi pun lari ke Iran -- tempat mereka tinggal di barak-barak pengungsi. Mulla Barzani, yang diserang kanker, akhirnya wafat di salah satu rumah sakit Amerika -- jauh dari masyarakat yang dipimpinnya. Namun, para pemimpin yang lebih muda tetap hidup dan mengambil alih perjuangan. Sekitar setahun berlalu, gerakan gerilya baru Kurdi lahir di Irak. Ini adalah reaksi penghancuran desa-desa, dan pemindahan paksa penghuninya. Tetapi itu tetaplah gerakan kecil dan tak berarti, sampai kemudian Kurdi berguna lagi bagi Iran dalam Perang Teluk. Sepintas, Perang Teluk menjanjikan sejemput kemungkinan bagi Kurdi untuk membentuk negara terpisah di bagian utara Irak. Tapi perang itu kini telah berlalu, dan Kurdi mendapati lagi dirinya tanpa kawan sejati. Pilihan yang ada hanyalah menyerah, kabur, atau bertempur hingga mati. Dan impian kemerdekaan Kurdistan pun tenggelam dalam lautan gas beracun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini