TATKALA saya belajar sejarah Perang Salib, ketika masih duduk di bangku SMP, di Belanda, saya mengenal nama Saladin. Seorang pahlawan Islam legendaris yang sangat dihormat dan dipuji oleh musuh-musuhnya dari Barat. Saladin itu adalah Salahaddin Al-Ayyubi, yang melahirkan dinasti Al-Ayyubi di Mesir. Teryata, ia seorang Kurdi. Salahaddin berjaya mendirikan negara. Tetapi ia tak pernah berpikir akan adanya negara Kurdi -- di abad X Masehi konsep kebangsaan begitu belum ada. Dasar negaranya Islam. Orientasi masyarakatnya pada Salahaddin dan dinastinya. Bukan pada bangsa dan daerah kelahirannya. Di kemudian hari, Irak pun memanfaatkan nama Salahaddin. Pada tahun 1970-an, sewaktu menghadapi gerakan nasional Kurdi, pemerintah Irak berusaha menjadikan nama Salahaddin simbol Kurdi non-nasionalis. Sejumlah orang Kurdi direkrut menjadi tentara bayaran untuk memerangi saudara sebangsanya. Pasukan itu diberi merek "farsan Salahaddin". Bagi kaum Kurdi nasionalis, pasukan bayaran itu tak lebih dari pengkhianat. Mereka mencacimaki pasukan itu dengan sebutan "jasy" "anak keledai". Repotnya, Salahaddin yang tak salah pun kini ikut dilaknat. Kebanggaan yang begitu tebal pada tokoh itu kini berangsur luntur. Bagi sejumlah orang Kurdi, sekarang ia hanyalah "seorang Kurdi yang menjual diri kepada para Arab." Memang, banyak yang telah berubah pada kehidupan orang Kurdi. Orang-orang Kurdi bertetangga dengan Arab, Persia, dan Turki. Para tetangga punya tanah air sendiri-sendiri, tempat budaya mereka tumbuh dengan leluasa. Tapi orang-orang Kurdi? Tak ada negara bagi mereka kendati mereka telah memperjuangkannya lebih dari seabad. Di setiap negeri tempat mereka menumpang hidup, orang-orang Kurdi hanyalah warga negara kelas dua. Saya kira, terlalu sedikit orang Indonesia yang mengenal Kurdi. Namun di sini, siapa umat Islam yang tak mengenal kitab "Barzanji"? Kitab yang banyak dibaca di masjid-masjid, di pesantren itu, karangan Ja'far bin Hassan Barzinji. Ja'far adalah seorang ulama Kurdi dari keluarga yang sangat terkenal di Irak -- keluarga Barzinji. Kalau ingin melihat gerakan nasional Kurdi abad ini, keluarga Barzinji tak boleh dilupakan. Dari lingkungan keluarga itu, Syaikh Mahmud Barzinji terbilang yang paling terkenal. Ia bukan saja syekh tarekat Qadiriyah, tetapi juga seorang nasionalis Kurdi tulen. Ketika Inggris menduduki Irak (sejak 1917), ia berulang kali memberontak dan berusaha mendirikan negara Kurdi yang merdeka. Pada tahun 1922 Syaikh Mahmud tampil. Didukung oleh mayoritas orang Kurdi di Irak, ia menyatakan diri sebagai Raja Kurdistan. Inggris berang. Angkatan udara Inggris mengebom ibu kota Sulaimaniyah habis-habisan. Pasukan elite Gurkha pun menyerbu lewat darat. Sedang Syaikh hanya punya tentara dari suku-suku di pelosok. Memang mereka terampil dalam perang antarsuku, tetapi apa yang bisa dilakukan serdadu kampung menghadapi sebuah pasukan canggih? Hanya beberapa bulan pertempuran, pertahanan Syaikh pun koyak-moyak. Syaikh dan pejuang-pejuangnya yang setia terpaksa mundur ke perbatasan Iran. Untuk beberapa tahun mereka masih berusaha bergerilya, tetapi tidak ada artinya. Pada tahun 1927, Syaikh menyerah pada pemerintahan pusat Baghdad -- yang ketika itu dikuasai Inggris. Namun, gerakan Kurdi telah menjadi bara dalam sekam: berkali-kali meletup berulang-ulang dipadamkan. Syaikh Mahmud jelas seorang nasionalis. Tapi di zaman Ja'far Barzinji, dua abad sebelumnya, nasionalisme Kurdi belum ada. Tokoh-tokoh Kurdi di masa lampau lebih dikenal sebagai ulama, internasionalis, atau ahli komunikasi antarbangsa. Mereka asli Kurdi, tetapi hidup di kawasan yang berbudaya Arab, Persia, dan Turki. Mereka menguasai tiga bahasa terpenting bagi umat Islam, bahkan acap berperan sebagai penerjemah. Banyak ulama Kurdi, seperti halnya Ja'far, tinggal di Madinah atau Mekah. Mereka adalah guru bagi murid-murid dari seluruh dunia, termasuk Indonesia. Menjelang akhir abad ke-19 mulailah nasionalisme Kurdi berkembang. Muia-mula hanya terbatas kepada kalangan elite tradisional dan kaum intelek. Pada waktu itu, Timur Tengah terbagi menjadi dua bagian saja: negara Utsmani yang berpusat di Turki dan negara Iran. Kurdistan demikian panggilan wilayah yang dihuni oleh orang Kurdi -- dibagi oleh kedua negara ini. Tiga perempat takluk kepada Utsmani, sisanya pada Iran walaupun orang Kurdi sebagian besar bukan Syii melainkan Suni -- bermazhab Syafii. Selain Kurdi, masih banyak kelompok etnis lain di kedua negara itu. Di negara Utsmani, misalnya, ada Turki, Arab, Yunani, Armeni, dan puluhan bangsa yang lebih kecil. Nasionalisme, ideologi, dan gerakan politik yang lahir di Eropa pertama-tama menyentuh kelompok etnis yang beragama Kristen. Yunani dan Armeni, misalnya, lebih langsung dipengaruhi oleh perkembangan di Eropa. Bukan kebetulan kalau para pelopor nasionalisme Arab juga orang Arab Kristen. Dirangsang oleh agitasi Inggris dan Uni Soviet, dimulai dengan orang Yunani kemudian bangsa-bangsa Slavia di Eropa Timur, mereka memisahkan diri dari Utsmani. Maka, berdirilah negara nasional masing-masing. Bangsa-bangsa yang muslim Turki, Arab, dan Kurdi -- karena agama mereka, lebih lama merasa terikat kepada negara Utsmani. Lebih tepatnya kepada Sultan Utsmani yang sekaligus " khalifah ". Kalangan awam tetap loyal kepada Sultan. Tetapi para birokrat, cendekiawan, dan bangsawan berniat melepaskan diri dari Kesultanan Utsmani yang semakin korup, tidak efektif, dan menindas. Bisul itu meletus ketika negara Utsmani terlibat dalam Perang Dunia Pertama (1915-1918). Utsmani menjadi sekutu Jerman. Pasukan Utsmani ternyata kalah total, dan sebagian wilayah negara itu diduduki tentara Inggris, Prancis dan Uni Soviet. Dengan merangsang nasionalisme Arab, Inggris berhasil menggerakkan pemberontakan Arab melawan Utsmani. Itulah yang mempermudah pembelahan tanah Arab menjadi negara-negara baru: Syria (termasuk Libanon) di bawah kontrol Prancis Palestina, Yordania, dan Irak di bawah Inggris. Pendirian orang Kurdi selama perang berbeda dengan pendirian orang Arab. Hampir semuanya tetap taat kepada Sultan, yang telah memproklamasikan jihad. Mereka masih lebih menekankan identitas mereka sebagai muslim daripada dasar etnis. Tetapi setelah Kesultanan Utsmani ambruk, orang Kurdi pun membantu Turki Muda yang dipimpin oleh Kemal Ataturk. Waktu itu, tahun 1919, Kurdi, yang membantu menyelamatkan sisa-sisa wilayah Utsmani, ikut mengusir pasukan Yunani, Italia, dan Prancis dari anak benua Asia Kecil. Namun, setelah Ataturk menang (1923) muncul lagi persoalan. Reformasi Ataturk dianggap anti-lslam, dan anti-Kurdi. Kekhalifahan dihapuskan, madrasah-madrasah ditutup, orang Kurdi dibuang dan diusahakan agar "diturkikan". Saat itulah timbul reaksi keras dari orang-orang Kurdi. Secara masal mereka mulai menuntut kelahiran negara Kurdi yang mandiri. Kurdi boleh berkutat. Tetapi mereka tetap terombang-ambing oleh permainan internasional. Adapun kuncinya, dari dahulu hingga sekarang, adalah minyak. Di Kurdistan Selatan wilayah Kerkuk di Provinsi Mosul yang kini masuk Irak Utara -- terdapat sumber-sumber minyak yang sangat kaya. Itu sebabnya mengapa Inggris menduduki tempat itu. Untuk menahan sumber minyak itu, Inggris berusaha keras merangsang nasionalisme Kurdi. Mereka memanas-manasi pemimpin Kurdi yang pro-Inggris, agar memisahkan diri dari Turki. Inggris bahkan menjanjikan hendak menolong orang-orang Kurdi mendirikan negara yang independen. Tetapi akhimya, tahun 1926, Provinsi Mosul malah diserahkan pada Irak. Selama beberapa tahun Irak sempat dikuasai Inggris. Kemudian lahirlah kerajaan dengan raja yang tetap di bawah pengaruh Inggris. Sumber minyak tetap dikuasai konsorsium perusahaan Inggris, sampai akhirnya dinasionalisasikan oleh Saddam Hussein pada tahun 1972. Dengan itu Saddam mengusir orang-orang Kurdi, dan menggantikan mereka dengan orang Arab dari Selatan. Selama tahun 1920-an, di mana-mana terjadi pemberontakan Kurdi yang berusaha mendirikan Kurdi merdeka. Tetapi semua pemberontakan itu terbatas pada satu wilayah negara saja Turki, Iran, atau Irak -- yang dengan mudah dapat ditumpas oleh pemerintah pusat. Kesempatan untuk mendirikan negara Kurdi yang bersatu dan independen telah lewat, seiring dengan berlalunya Inggris dari bumi Timur Tengah. Setelah itu, Kurdistan tercabik di antara empat negara. Hampir separuh Kurdistan sekarang menjadi bagian dari Turki -- tempat permukiman 7 hingga 10 juta orang Kurdi. Angka yang tepat tak ada karena sensus penduduk tak membedakan etnis Kurdi dengan Turki. Di Iran, setidaknya terdapat 4 sampai 5 juta orang Kurdi. Kebanyakan mereka hidup di bagian barat laut. Sedang di Irak, seperempat jumlah penduduk -- sekitar 4 juta -- adalah Kurdi. Mereka mendiami bagian utara dan timur laut Irak. Angka yang cukup besar juga tercatat di Syria. Di sana bercokol setengah hingga satu juta orang Kurdi. Sebagian dari mereka pelarian dari Turki. Tentara Turki sudah menindas mereka dengan kejam, setelah pecah pemberontakan Kurdi pada tahun 20-an dan 30-an. Di luar empat negara itu, orang-orang Kurdi berserakan di banyak negara. Sebagian di Libanon, lainnya di Uni Soviet. Ada yang menjadi "pekerja tamu" di Eropa Barat. Kalau disatukan, jumlah orang Kurdi keseluruhannya ditaksir antara 15 dan 20 juta orang. Situasi Kurdi di setiap negara amat beragam. Dari sudut hak budaya, di Turki terbilang yang paling sulit. Orang Turki tak pernah mengakui keberadaan Kurdi secara resmi. Mereka juga disebut orang Turki -- "Turki pegunungan" atau "Turki Timur". Pemakaian bahasa Kurdi sama sekali dilarang di luar lingkungan keluarga. Mengaku diri Kurdi dan berbicara tentang "bangsa Kurdi", apalagi menuntut hak-hak politik berdasarkan kekurdian, adalah tindak pidana. Hak-hak politik, kesempatan untuk mencapai kedudukan tinggi yang sama dengan warga negara lain, baru diberikan kalau mengaku orang Turki. Sebaliknya di Irak, keberadaan etnis Kurdi diakui. Bahasa Kurdi dipakai untuk bahasa pengantar di SD dalam lingkungan Kurdi. Ada pula penerbitan berbahasa Kurdi. Malah sejak 1974, sebagian dari Kurdistan -- tidak termasuk yang kaya minyak, tentu -- dinyatakan sebagai daerah otonom Kurdi. Tetapi orang Kurdi tetap mengeluh, terutama mengenai teror negara. Apalagi setelah Partai Baats Saddam Hussein berkuasa, sejak 1968 hingga sekarang. Barangkali tak seorang pun Kurdi Irak yang tak kehilangan salah seorang saudaranya lantaran dibunuh pemerintahan Saddam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini