SIANG itu pada sebuah hari di bulan April 1979 aku dan Kak Rahim menyantap makan siangnya berupa roti Kurdi dan keju kambing dengan segelas teh kental pahit. Kak Rahim adalah orang yang akan mengantarkan aku menyeberangi perbatasan Irak. Biasanya mendekati 60 tahun. Ia seorang peshmerga (dalam bahasa Kurdi berarti siap untuk mati" ) -- sebutan mereka buat gerilyawan. Kak Rahim belum pernah ditugaskan menyusup jauh ke Irak. Tapi ia bisa menjadikan dirinya berguna: sebagai kurir. Ia menungguku di kampung Kurdi di wilayah Iran. Tempat itu aku capai dengan lori - mengikuti saran kawanku. Lepas kampung itu, kami harus berjalan kaki lantaran tak ada kendaraan. Untung, Kak Rahim membawa bagal (sejenis keledai), hingga kami bisa menungganginya. Perjalanan yang harus kami tempuh amat panjang. Sepanjang hari mendaki puncak bukit di depan perbatasan. Selama perjalanan Kak Rahim mengisahkan pengalamannya sebagai peshmerga. "Itu sebetulnya bukan pilihanku," katanya. Sebelumnya, Kak Rahim adalah seorang petani. Ia lebih suka bekerja di ladang daripada memikirkan politik. Tahun 1974, kampungnya dibom. Ia dan keluarganya lari ke "daerah merdeka" -- tempat gerakan Kurdi berkuasa. Istri dan anak tirinya, seorang perempuan, mengungsi ke barak pengungsi di Iran. Kak Rahim dan dua anak laki-lakinya menjadi peshmerga. Perang kemudian memisahkan, Kak Rahim dengan kedua anak laki-lakinya. Ia tak pernah tahu apa yang terjadi pada anaknya: mungkin mereka telah dibunuh. Maret 1975, sewaktu gerakan Kurdi ambruk, Kak Rahim lari ke Iran. Ia mencoba mencari istrinya. Tapi orang Iran malah memasukkannya ke barak dan tak mengizinkannya keluar. Sewaktu Kak Rahim mendengar pemerintah Irak mengampuni pengungsi-pengungsi Kurdi yang mau balik ke kampung halaman mereka, ia memutuskan untuk pulang. Soalnya sederhana saja: ia petani tak berpendidikan. Yang menyenangkannya: ia bersua kembali dengan istri dan anak tirinya. Ia menggarap lagi lahannya. Tiba-tiba, suatu hari di tahun 1977, tentara Irak datang ke kampung Kak Rahim dan mengumumkan bahwa mereka semua harus pindah. Setelah itu, tentara membuldoser rumah rumah penduduk, dan penghuninya dinaikkan ke lori untuk dibawa ke barak dekat Arbil. Pohon-pohon buah ditebang, sumur ditimbuni dengan batu untuk mencegah penduduk kembali tinggal di sini. Kak Rahim dan keluarganya menerima sejumlah uang dari pemerintah. Namun, tanpa tanah dan kerja. Lalu, mereka menjual dua ekor kambing milik mereka. Tak lama setelah dideportasikan istri Kak Rahim meninggal. Mungkin lantaran demam yang menyerangnya hari itu, mungkin juga serangan jantung. Kak Rahim merasa tak ada lagi yang tertinggal pada dirinya selain kemarahan kepada pemerintah. Suatu hari, Kak Rahim meninggalkan barak dan berjalan menuju ke daerah yang dikenalnya sebagai markas Talabani, tempat yang kutuju sekarang ini. "Kukira aku akan tetap seorang peshmerga sampai mereka membunuhku juga," ucapnya. Aku tak tahu bagaimana harus menanggapinya: aku ingin menghibur, tapi terasa jengah. Apa prospek bagi seorang laki-laki macam Kak Rahim? Apa prospek yang telah dimiliki gerakan Kurdi? Aku telah berjumpa dengan banyak orang yang bernasib seperti Kak Rahim. Tahun 1975, aku berada di "daerah merdeka" Kurdi dalam bulan-bulan terakhir pemberontakan Mulla Mustafa Barzani, dan aku ikut lari ke Iran bersama puluhan ribu peshmerga dan keluarga petani. Paspor Belanda membuat aku bebas bepergian di seluruh Iran -- aku telah mengunjungi banyak tempat permukiman sementara dan mewawancarai penghuninya. Ketika itu, ada sekitar 200.000 pengungsi Kurdi membanjiri Iran. Mereka kebanyakan tinggal di barak, diawasi ketat oleh polisi rahasia Syah Iran, SAVAK. Mereka dipisahkan dari para pemimpin-pemimpin Kurdi, yang diberi rumah di Karaj, dekat Teheran. Mereka dipecah dalam kelompok kecil dan disebarkan ke seluruh negeri dalam upaya mengasimilasikan mereka. Seorang pengamat dari Komisi Tinggi Urusan Pengungsi PBB, yang mengikuti mereka lebih lama ketimbang aku, mengatakan bahwa Iran memperlakukan sebagian besar pengungsi Kurdi itu sebagai pekerja paksa. Mendapati situasi Iran tak memberi harapan, banyak yang lebih suka kembali ke Irak sewaktu ada pengampunan. Namun, tak banyak yang seberuntung Kak Rahim -- bisa pulang ke kampung sendiri. Mereka sebagian dipaksa untuk bermukim di lingkungan orang-orang Arab, di daerah selatan Irak, sebagai usaha mengasimilasikan mereka. Sebagian dari mereka, kendati "diampuni", ada yang ditahan. Kendati orang-orang Kurdi itu tak pernah protes tinggal di barak penampungan, mereka tetap tak aman. Banyak di antara mereka "hilang" di waktu malam. Ini terjadi di tahun 1983, dan menimpa 8.000 orang Kurdi dari puak Barzani -- termasuk anak dan menantu Barzani, yang juga tinggal di barak dan tak lagi berpolitik. Sebagai balasan kerja sama Mas'ud Barzani dengan Iran, mereka semua disuruh naik truk militer dan dibawa pergi. Tak seorang pun tahu apakah mereka tetap hidup. Dikhawatirkan, mereka telah dibunuh. Setelah banyak yang kecewa pada Barzani, karena terlalu tergantung Iran, orang-orang mulai menyebut Jalal Talabani lagi. Talabani, di tahun 1960-an, pernah mengalami konflik dengan Barzani, dan berbaik lagi pada 1970. Sejak itu Talabani bersikap merendah, tak mengambil bagian dalam pemberontakan yang lewat dan tetap menjaga jarak dengan pemerintah pusat. Talabani adalah orang yang kutuju bersama Kak Rahim. Kami mulai menuruni lembah Nawzeng. Tak ada pos perbatasan Iran, dan tak ada desa di kedua sisi tapal batas tersebut. Di lajur 10 hingga 15 kilometer masuk ke perbatasan, Irak telah menghancurkan seluruh desa dan mengangkut penduduknya pergi. Itu daerah terlarang. Tantara Irak akan menembak siapa pun yang terlihat di sana. Ketentuan itu tak menghalangi gerak peshmerga. Mereka melalui daerah tersebut pada malam hari. "Tentara Irak lebih takut pada kami ketimbang kami pada mereka," kata Kak Rahim. Ia menambahkan, tentara Irak hanya berani datang dengan helikopter yang tak begitu berguna di waktu malam hari. Mereka jarang berpatroli dan berusaha untuk tidak ketemu peshmerga. Garnisun tentara Irak terdekat hanya beberapa kilo saja dari Nawzeng. Beberapa hari kemudian, aku ikut peshmerga berpatroli ke daerah tak berpenghuni sampai ke tempat yang bisa digunakan untuk melihat garnisun dengan jelas. Dengan teropong kami melihat mereka mondar-mandir. Tampaknya mereka melihat kami juga, dan aku sedikit cemas. Seorang peshmerga menertawakan ketakutanku. "Mereka tak akan menyerang, kecuali mendapat instruksi khusus," katanya. Lalu, kami melewati sejumlah kampung yang dirusakkan. Karena tentara Irak tak bisa membawa buldoser ke tempat yang tinggi ini, sejumlah tembok rumah masih tegak, sekalipun sudah hangus dibakar. Namun, sumur-sumur telah diuruk dan pepohonan telah ditebangi. Lembah Nawzeng curam, sempit, dan membujur sejajar dengan perbatasan Iran. Hampir tak mungkin pesawat Irak mengebomnya. Sebuah tempat ideal buat markas Kurdi. Setelah menuruni lembah, kami melewati pasar terbuka. Sejumlah laki-laki dan wanita Kurdi membawa dagangan dengan kuda dan bagal. "Mereka itu penyelundup," kata Kak Rahim. "Mereka membawa rokok murah dan wiski dari Irak, dan menukarkannya di sini dengan radio dan berbagai kemewahan Barat dari Iran." Para penyelundup itu juga melintasi daerah larangan. Mereka tak memikirkan bahaya yang mengancam, sekalipun banyak yang terbunuh ditembak tentara. Penyelundupan adalah profesi tua di Kurdistan. Tak seorang pun menilai itu salah. "Bukan orang Kurdi yang bikin perbatasan," kata seorang penyelundup. "Kedua sisi perbatasan adalah Kurdistan." Talabani mengatakan padaku bahwa ia menarik pajak dari para penyelundup yang lewat Nawzeng, dan itu sumber utama dana partainya. Bukan hanya Talabani yang bermarkas di Nawzeng. Juga kekuatan lain. Maka, tempat itu disebut "lembah partai-partai". Malam pertama kulewatkan di tenda Partai Sosialis Kurdistan. Ada juga perwakilan berbagai kelompok Kurdi Turki. Setelah terjadi kudeta militer, lebih banyak lagi pemimpin Kurdi dari Turki datang di Nawzeng. Itulah taktik khas Talabani -- selalu berupaya membentuk koalisi besar dan tetap menjadi tokoh sentral. "Kami akan membuat Kurdistan sebagai pusat revolusi di Timur Tengah," bual Talabani. Ia seorang nasionalis Kurdi, tapi selalu bicara soal kerja sama dengan kaum Arab revolusioner. Pemimpin yang amat dikagumi dan dijadikannya model bagi dirinya adalah Mendiang Presiden Gamal Nasser, Ketua Organisasi Pembebasan Palestina Yasser Arafat, dan Presiden Syria Hafez al-Assad. Talabani sebenarnya juga seorang pragmatis. Namun adalah kejutan besar ketika Talabani dan Barzani mengumumkan kerja sama pada musim gugur 1986. Persekutuan mereka bukan semata didorong Teheran, juga didorong oleh kekejaman Irak. Di pelbagai bagian Irak, orang-orang yang bersimpati pada gerakan Kurdi ditangkap dianiaya, atau dieksekusi. Di Kota Sulaimaniyah ratusan anak-anak Kurdi diambil dari rumah mereka, dan kemudian dibantai. Belum lagi kematian yang diakibatkan oleh serangan gas beracun yang dilakukan tentara Irak. Kapan penderitaan orang Kurdi berakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini