Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETENGAH bergurau, Abdullah Makhmud Hendropriyono mengungkapkan alasan dia tidak memenuhi tiga kali undangan Tim Pencari Fakta Kasus Pembunuhan Munir. Hendropriyono adalah Kepala Badan Intelijen Negara saat Munir diracun arsenik dalam penerbangan dari Jakarta menuju Amsterdam, Belanda, pada 7 September 2004. "Saya tidak mau dipanggil orang yang tidak dikenal. Nanti saya datang, tahu-tahu diracun," katanya sambil tertawa kepada Tempo, Selasa dua pekan lalu.
Menurut Hendropriyono, seharusnya Tim Pencari Fakta yang justru mendatanginya. Purnawirawan jenderal bintang empat TNI Angkatan Darat ini mengatakan menolak dipanggil sebelas tahun lalu itu karena merasa tidak bersalah. Seharusnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menghubunginya untuk urusan ini. "Saat itu, presidennya saja tidak ada masalah," ujarnya. "Kalau saya salah, ditegur dong."
Mangkirnya Hendropriyono untuk diperiksa TPF itu memantik kecurigaan bahwa BIN hendak memutus keterkaitannya dengan Pollycarpus Budihari Priyanto. Apalagi, menurut temuan tim ini, Pollycarpus terdeteksi pernah melakukan komunikasi dengan Deputi V Bidang Penggalangan BIN saat itu, Muchdi Purwoprandjono. Pilot Garuda Indonesia itu juga disebut memiliki kedekatan dengan satu agen madya BIN. "Koneksi Pollycarpus dengan BIN tidak secara monolitik ke Muchdi. Bisa saja dikembangkan ke Hendropriyono atau ke deputi lain," kata Usman Hamid, mantan Sekretaris TPF.
Sudah 12 tahun sejak Munir meninggal, penegak hukum baru bisa menyeret pelaku lapangannya. Mereka adalah pilot dan Direktur Utama Garuda Indonesia saat itu, Pollycarpus dan Indra Setiawan, yang sudah divonis bersalah. Muchdi sempat menjadi pesakitan. Tapi ia divonis bebas sampai tingkat kasasi karena hakim menilai jaksa tidak bisa membuktikan bahwa dia yang memerintahkan pembunuhan Munir. Sejak itu, kasus kematian misterius aktivis hak asasi manusia ini menguap.
Karena pengusutan kasus Munir jalan di tempat, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menggugat ke Komisi Informasi Pusat meminta hasil pemeriksaan TPF dibuka ke publik. Senin tiga pekan lalu, Komisi Informasi Pusat mengabulkan gugatan itu.
Keganjilan kembali terjadi karena dokumen asli TPF lenyap di kantor Sekretaris Negara. Padahal temuan dalam laporan tersebut bisa menjadi petunjuk keterlibatan sejumlah mantan petinggi lembaga telik sandi itu.
Dalam laporan akhir TPF disebutkan bahwa operasi yang dilakukan Pollycarpus dan melibatkan Muchdi tidak mungkin tidak diketahui Hendropriyono. Meski belum ditemukan fakta yang menunjukkan keterlibatan Hendropriyono, dalam sistem kompartementasi yang dijalankan BIN, janggal sebuah operasi tidak diketahui Kepala BIN. Apalagi lalu lintas telepon Pollycarpus dengan Muchdi sangat intens saat itu.
Dalam lampiran ke-25 dokumen TPF Munir yang diperoleh Tempo, tercatat waktu serta durasi komunikasi antara Pollycarpus dan nomor yang digunakan Muchdi. Telepon seluler Pollycarpus beberapa kali juga pernah berkontak dengan nomor telepon ruang Deputi V Penggalangan di markas BIN.
TPF menemukan komunikasi lewat telepon sebanyak 27 kali pada 17 November 2004 antara nomor Pollycarpus dan nomor telepon seluler Muchdi. Komunikasi Pollycarpus melalui nomor yang sama dengan kantor Deputi V Penggalangan BIN juga tercatat sebanyak lima kali, pada 17, 22, dan 25 November 2004. Telepon dari rumah Pollycarpus ke nomor telepon seluler Muchdi juga tercatat dalam lampiran itu.
Catatan telepon itulah yang kemudian dijadikan dasar bagi TPF untuk menunjukkan kaitan pembunuh Munir Said Thalib dengan BIN. "Bisa saja tidak diketahui deputi lain, tapi pimpinan pasti tahu," ucap Usman. Dalam sejumlah kesempatan, Muchdi mengatakan sudah menjelaskan tuduhan itu di persidangan kasus Munir. "Tanya saja pengadilan," ujarnya.
Namun dokumen TPF tidak sampai menyajikan fakta keterlibatan Hendropriyono karena sulitnya memeriksa sang Jenderal. Menurut mantan anggota TPF, Rachland Nashidik, tidak pernah datangnya Hendropriyono saat diundang TPF membuat ada cerita yang terputus. "Kami kesulitan mengetahui yang sebenarnya terjadi," katanya.
Hendropriyono menegaskan tidak pernah memberi instruksi untuk merencanakan atau membunuh Munir. Namun ia mengatakan mungkin saja sebuah operasi tidak diketahui pimpinan. "Tapi, saya perhatikan, tahap demi tahap hukum membuktikan tidak," ujarnya. Ia mengaku sudah melakukan pengecekan ke jajaran di bawahnya dan tidak menemukan keterlibatan BIN dalam operasi pembunuhan Munir.
Soal sistem kompartementasi, Hendropriyono menilai bukan tidak mungkin dalam implementasi sebuah kebijakan di lingkungan BIN terjadi pelanggaran yang dilakukan jajaran di bawahnya. Tapi ini bukan berarti dia terkait dengan penyimpangan itu. "Misalnya, menteri bikin kebijakan, pimpinan proyek nyolong. Kalau bisa dibuktikan menteri korupsi, ya, tidak apa-apa," katanya.
Dugaan keterlibatan Hendropriyono juga merujuk pada kesaksian Kolonel Budi Santoso. Kepada penyidik, Budi sempat menceritakan soal pertemuan informal yang dihadiri Hendropriyono. Dalam pertemuan itu, Munir dicurigai memiliki data untuk "menjual negara" sehingga perlu dicegah ke luar negeri. Muchdilah yang diduga menerjemahkan kekhawatiran Kepala BIN dengan menghabisi Munir. Ketika dimintai konfirmasi, Hendropriyono meminta hal itu diklarifikasi kepada Budi. "Tanya Budi," ujarnya.
Selain Hendropriyono, ada satu agen madya BIN yang belum dapat diperiksa selama masa kerja TPF berjalan. Dalam dokumen TPF, agen ini kenal dengan Pollycarpus. Keduanya sempat ke Banda Aceh dan Lhokseumawe pada 14 Mei 2013. Tim menemukan bahwa Pollycarpus mengenalnya sebagai sesama anggota Persatuan Menembak Sasaran dan Berburu Seluruh Indonesia (Perbakin).
Dalam dokumen TPF, Muchdi mengaku merekrut pria itu sebagai agen BIN sejak 2002. Pengakuan ini tercatat dalam berita acara pemeriksaan Muchdi kepada penyidik pada 18 Mei 2005. Tapi Tim menemukan fakta, sebelum direkrut Muchdi, teman dekat Pollycarpus ini sudah menjadi agen BIN dan pernah menjadi Kepala Pos Wilayah BIN Kalimantan Selatan.
Rachland mengatakan, selama proses investigasi oleh TPF, sosok agen itu sangat misterius. TPF menemukan informasi bahwa dialah yang menjadi otak skenario operasi pembunuhan Munir. Rachland menyebutkan, selain Hendropriyono, agen madya ini merupakan tokoh sentral yang perannya harus kembali didalami. "Dia adalah orang yang layak diperiksa. Informasinya terlibat betul," ujarnya.
Jalan mencari kaitan antara pembunuhan Munir dan sejumlah petinggi di BIN semakin terjal saat Muchdi divonis bebas pada Desember 2008—kendati, kata Rachland, celah meneruskan penyelidikan keterlibatan BIN dapat dilakukan dengan menindaklanjuti sejumlah temuan TPF, khususnya tentang pemeriksaan Hendropriyono dan seorang agen madya.
Menurut dia, urgensi dibukanya dokumen TPF ke publik saat ini adalah untuk melanjutkan pekerjaan rumah yang belum selesai, yaitu pemeriksaan Hendropriyono serta agen madya BIN itu untuk mencari bukti baru. "Urusannya itu sekarang bukan mengumumkan, tapi meneruskan," katanya.
Koalisi Masyarakat Sipil, yang terdiri atas Imparsial, Kontras, dan Lembaga Bantuan Hukum, meminta Presiden Joko Widodo membentuk tim pencari fakta baru karena ada sejumlah temuan yang belum ditindaklanjuti. "Upaya pengungkapan kasus belum sepenuhnya selesai," kata perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil, Al Araf.
Ananda Teresia, Dewi Suci, Yohanes Paskalis, Istman M.P.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo