Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA truk Pertamina terhenti di tanjakan jalur Trans Nabire-Paniai Kilometer 129 di kawasan pegunungan tengah Papua. Jalanan di depan truk itu menanjak, menikung, dan berbatu. Hujan yang mengguyur pada Kamis malam dua pekan lalu membuat jalan lebih licin dan becek.
Truk pertama berusaha menaklukkan tanjakan. Dengan kemiringan sekitar 25 derajat, truk melaju kencang. Bunyi mesin memekikkan telinga, memecah kesunyian malam. Di ujung tanjakan, roda selip dan truk tak bisa bergerak. Sang pengemudi menyerah dan memilih mundur perlahan-lahan. Truk tadi berusaha kembali menaklukkan tanjakan, tapi upayanya sia-sia.
Untungnya Yudo Da Silva, pengemudi truk kedua, berhasil menaklukkan jalan terjal dengan sekali percobaan. Dengan tambang, truk kedua membantu menarik truk pertama melewati tanjakan. Yudo lalu berteriak kepada Tempo, yang menumpang minibus Innova di belakang dua truk Pertamina tersebut. "Silakan naik," katanya. Sesampai di jalan yang agak datar, Tempo berpindah menumpang truk yang dikemudikan Yudo. Ketiga mobil ini kembali melanjutkan perjalanan membelah hutan di Pegunungan Weyland, jalur Trans Nabire-Paniai.
Sepanjang perjalanan itulah Yudo mengisahkan sulitnya menyalurkan bahan bakar minyak bersubsidi menuju Paniai. Berkat ketelatenan pria berdarah Timor Leste itu, BBM bersubsidi bisa sampai di Paniai dengan harga sesuai dengan keinginan pemerintah. Sebelumnya, 160 ribu penduduk di Paniai tak bisa menikmati Premium dengan harga Rp 6.450 per liter. Presiden Joko Widodo telah meminta Pertamina menjual Premium Rp 6.450 dan solar Rp 5.150 per liter di seluruh Papua. "Di sini harganya harus sama," kata Jokowi di Jayapura, Senin dua pekan lalu.
Sudah tujuh tahun Yudo mengangkut bahan bakar minyak milik Pertamina dari Nabire ke Paniai. Jaraknya sepanjang 300 kilometer. "Seminggu dua kali mengirim BBM ke Paniai," ujarnya. Dari pekerjaannya, ayah dua anak ini memperoleh penghasilan Rp 5-7 juta per bulan.
Yudo bukan karyawan Pertamina. Pria 35 tahun ini bekerja sebagai karyawan PT Lintas Pegunungan Papua (LPP), perusahaan swasta mitra Pertamina yang menyuplai BBM ke Kabupaten Paniai. PT LPP mengoperasikan tujuh unit truk Pertamina. Lima unit mengangkut BBM jenis Premium, sisanya membawa solar. Kapasitas satu unit truk 5.000 liter.
Menurut Yudo, kendala utama pengangkutan BBM di jalur Nabire-Paniai adalah tanah longsor, pohon tumbang, dan gangguan keamanan. Sepanjang tujuh jam perjalanan Paniai-Nabire, Tempo menyaksikan puluhan lokasi tanah longsor, jalan berbatu, dan pohon besar yang tumbang. Sebagian tanah longsor itu sudah disingkirkan sehingga jalan bisa dilewati meski hanya cukup untuk satu lajur.
Dua jam setelah melewati jalanan menanjak, truk yang dikendarai Yudo terhalang beberapa pohon berdiameter 30-an sentimeter yang baru saja tumbang dan melintang menutup jalan. Yudo mematikan mesin kendaraan. Ia mengambil sebilah parang di balik jok duduknya. "Kita potong pohon itu," katanya sambil melompat turun.
Yudo memberi aba-aba kepada kawannya agar ikut membantu. Teman-temannya segera turun, ikut menyingkirkan potongan-potongan kayu yang bisa ditebas. Setengah jam kemudian, Yudo dkk berhasil menyingkirkan pohon tumbang itu. Truk pengangkut BBM kembali melanjutkan perjalanan.
Menurut Yudo, tanah longsor dan pohon yang bertumbangan bisa melambatkan perjalanan hingga satu-dua hari dari waktu tempuh normal enam-tujuh jam. Di mata Yudo, waktu tempuh satu-dua hari masih lebih baik karena jalur Nabire-Paniai dulu ditempuh dalam waktu satu-dua minggu. "Dulu, kami lama menunggu air sungai surut karena belum banyak jembatan," ujarnya.
Kendala yang belum teratasi adalah gangguan keamanan. Jalur Trans Nabire-Paniai melintasi empat kabupaten, yakni Nabire, Dogiyai, Deiyai, dan Paniai. Kawasan yang ditakuti para pengemudi adalah daerah Puga-puga di Dogiyai dan Jembatan Kainapa di Paniai. Puga-puga adalah kawasan jalan yang berkelok-kelok tempat para perampok bersenjata api sering beraksi pada malam hari. Untuk menghindari aksi perampok, pengemudi truk pengangkut BBM, logistik, atau penumpang kerap bermalam di Moanemani, ibu kota Dogiyai. Mereka baru berani melintasi Puga-puga setelah matahari terbit.
Tahun lalu, Yudo pernah terjebak aksi perampokan di Puga-puga. Di bawah ancaman perampok yang mengalungkan golok di lehernya, Yudo menyerahkan uang Rp 1,2 juta, telepon seluler, dan satu unit mesin pemutar musik. "Yang penting nyawa selamat," katanya.
Lisa, supervisor armada PT LPP, mengatakan faktor keamanan inilah yang membuat perusahaan harus membekali uang jalan untuk setiap pengemudi sebesar Rp 500 ribu buat satu rit. Seorang pengemudi logistik yang ditemui Tempo di peristirahatan Kilometer 100 Nabire-Paniai mengatakan uang keamanan itu untuk membayar polisi, Tentara Nasional Indonesia, Brigade Mobil, dan dinas perhubungan. Pungutan liar untuk angkutan dari Nabire menuju Paniai dimulai dari Kepolisian Sektor Topo, Nabire, yang meminta Rp 50 ribu, lalu Komando Rayon Militer Topo yang memungut Rp 30 ribu.
Pungutan kedua diminta pos militer dan pos polisi Siriwo di Kilometer 100 sebesar Rp 20-30 ribu. Memasuki Kota Moanemani, pengemudi harus menyetor kepada polsek Rp 20-30 ribu dan polisi Brimob Dogiyai Rp 50 ribu. Memasuki Paniai, pengemudi logistik harus menyetor Rp 100 ribu kepada dinas perhubungan. Wahyu R. Mukhtar, Kepala Dinas Perhubungan Paniai, membantah adanya pungutan liar. "Itu retribusi resmi. Ada peraturan daerahnya," ucapnya.
"Uang jalan" ini akan membengkak jika di sepanjang jalan pengemudi truk BBM bertemu dengan penduduk yang menutup jalan. Pengemudi menyebutnya"palang". Biasanya jalan dipalang karena ada babi, anjing, atau penduduk yang tewas tertabrak kendaraan. Penduduk menutup jalan untuk meminta uang kepada setiap pengguna jalan hingga ganti rugi terkumpul. Jika anjing yang tertabrak, penduduk meminta Rp 50 ribu per pengemudi. Bila babi yang mati, mereka memungut Rp 100-150 ribu. Jika manusia yang meninggal, persoalan semakin pelik. "Bupati biasanya turun langsung," kata pengemudi logistik itu.
Sederet kendala itulah yang membuat harga bensin bersubsidi bisa membengkak di Papua. Berbeda dengan Paniai, mahalnya harga Premium masih terjadi di kabupaten terpencil, seperti Intan Jaya, Puncak, Tolikara, Mamberamo Raya, Mamberamo Tengah, Yalimo, dan Nduga di Papua serta Kabupaten Pegunungan Arfak di Papua Barat. Di delapan kabupaten itu, harga BBM berkisar Rp 20-55 ribu. Bahkan ada yang mencapai Rp 100 ribu per liter.
Wianda Pusponegoro, Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero), mengatakan tingginya harga di beberapa kawasan pegunungan di Papua karena Pertamina belum memiliki mitra agen penyalur minyak dan solar (APMS). Angkutan BBM menuju daerah itu menggunakan pesawat komersial swasta bersama bahan logistik lain. Jatah volume BBM yang terangkut hanya 200 liter. Karena tidak memiliki mitra APMS, stok BBM ini rata-rata diserbu pengecer. "Pengecer menjual ke masyarakat dengan harga tak terkendali," ucap Wianda. Inilah yang membuat harga BBM meroket.
Pertamina merespons perintah Joko Widodo dengan mengoperasikan pesawat air tractor untuk mengangkut BBM ke pegunungan Papua. Sekali angkut, stok Premium yang terangkut mencapai 4.000 liter. Pertamina juga membuka mitra APMS baru di delapan kabupaten itu. Wianda optimistis suplai berlimpah dan adanya mitra APMS akan membuat harga terkendali. "Kalau stok terjaga, harganya lebih stabil," ujarnya.
Akbar Tri Kurniawan (Enarotali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo