Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sebelas Tahun Setelah Berkas Diteken

Mantan presiden Yudhoyono merasa dicurigai dalam hilangnya dokumen asli laporan akhir Tim Pencari Fakta Kasus Pembunuhan Munir. Menghangatkan tensi hubungan Istana dengan Cikeas.

31 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DOKUMEN lawas itu terdiri atas 55 halaman dengan 265 lampiran. Judulnya "Laporan Akhir Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Meninggalnya Munir". Bertanggal 23 Juni sebelas tahun silam, berkas itu menghangatkan hubungan politik Presiden Joko Widodo dan pendahulunya, Susilo Bambang Yudhoyono, sepanjang pekan lalu.

Semua berawal dari putusan Komisi Informasi Pusat, Senin dua pekan lalu, memenuhi tuntutan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)—lembaga nonpemerintah yang didirikan Munir pada 1998. Komisi Informasi Pusat memerintahkan Kementerian Sekretariat Negara mengumumkan laporan akhir itu. Namun Sekretariat Negara menyatakan tidak menyimpan dokumen tersebut.

Pejabat era Yudhoyono merasa dipersalahkan. Presiden keenam itu segera mengumpulkan mantan bawahannya. "Pemerintah Presiden SBY dituduh sengaja menghilangkan naskah hasil temuan Tim Pencari Fakta Munir sehingga tidak bisa ditindaklanjuti penegak hukum," kata Sudi Silalahi, Menteri Sekretaris Kabinet 2004-2009, Selasa pekan lalu.

Yudhoyono mengundang beberapa mantan pejabat kabinetnya, antara lain mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto, mantan Kepala Badan Intelijen Negara Syamsir Siregar, mantan Kepala Kepolisian RI Jenderal Purnawirawan Bambang Hendarso Danuri, serta mantan Ketua Tim Pencari Fakta Brigadir Jenderal Marsudhi Hanafi. Ia juga telah memanggil mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia Widodo A.S., mantan Kepala Kepolisian RI Jenderal Purnawirawan Da'i Bachtiar, serta dua mantan Jaksa Agung, yakni Abdul Rahman Saleh dan Hendarman Supandji.

Yudhoyono menyatakan isu hilangnya dokumen itu telah dipolitisasi. "Saya mendukung Presiden Jokowi untuk melanjutkan penegakan hukum jika memang ada yang belum selesai," kata Ketua Umum Partai Demokrat ini.

* * *

MUNIR meninggal di atas langit Rumania, dalam penerbangan Garuda GA-974 Jakarta-Amsterdam, pada 7 September 2004. Aktivis hak asasi manusia ini merasakan sakit perut, bolak-balik ke toilet, beberapa saat setelah pesawat transit di Bandar Udara Changi, Singapura. Hasil uji forensik aparat kepolisian Belanda menyatakan ia tewas diracun arsenik.

Hasil itu diserahkan ke pemerintah Indonesia pada November 2004. Pada bulan berikutnya, menjawab desakan masyarakat untuk mengungkap pembunuhan ini, Yudhoyono—yang saat itu baru dua bulan menjadi presiden—membentuk Tim Pencari Fakta. Dipimpin Brigadir Jenderal Marsudhi Hanafi, tim yang diberi waktu enam bulan ini beranggotakan 15 orang, terdiri atas sejumlah tokoh masyarakat serta perwakilan dari kepolisian, kejaksaan, Kementerian Luar Negeri, juga Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Dalam tiga bulan pertama, tim itu menyimpulkan keterlibatan kopilot dan manajemen Garuda Indonesia dalam konspirasi pembunuhan. Kepolisian menetapkan kopilot dan dua awak kabin menjadi tersangka pada waktu itu. Tim itu kemudian mengidentifikasi hubungan Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot yang menjadi tersangka, dengan petinggi Badan Intelijen Negara.

Tim Pencari Fakta, yang menyelidiki lebih jauh, menemukan kemungkinan terjadinya penyalahgunaan akses, jaringan, dan kekuasaan badan intelijen oleh pejabat-pejabatnya. Menurut laporan akhir tim itu, sistem kompartementasi dijadikan alasan untuk membantah dan menutupi adanya hubungan Pollycarpus dengan Badan Intelijen Negara.

Dalam 265 lampiran laporan itu tercantum berbagai dokumen penugasan Pollycarpus sebagai petugas keamanan penerbangan Garuda. Dengan penugasan itu, ia mengubah jadwal penerbangannya, dari semula ke Beijing, Cina, menjadi ke Singapura, pada hari keberangkatan Munir. Ia pun menukar posisi kursi bisnisnya dengan kursi kelas ekonomi sang aktivis—kelak polisi menyimpulkan hal ini dilakukan untuk mempercepat waktu keluar Munir pada saat transit di Changi, guna memperlancar pembunuhan.

Dalam kesimpulan Tim Pencari Fakta, disebutkan bahwa pembunuhan Munir merupakan "permufakatan jahat yang diduga melibatkan pihak-pihak tertentu di lingkungan Garuda dan BIN". Pembunuhan melibatkan aktor lapangan, aktor yang mempermudah, aktor perencana, dan pengambil keputusan. Menurut tim itu, pembunuhan diduga kuat berhubungan dengan aktivitas Munir dalam perlindungan hak asasi manusia dan demokrasi.

Tim itu kemudian merekomendasikan sejumlah hal, antara lain agar Presiden memerintahkan Kepala Polri menyelidiki keterlibatan Abdullah Makhmud Hendropriyono, Kepala BIN saat itu, serta Deputi V Bidang Penggalangan BIN Muchdi Purwoprandjono.

Penyelidikan kasus pembunuhan Munir ini tak pernah tuntas. Pollycarpus bahkan kemudian dinyatakan bebas oleh Mahkamah Agung, sebelum kepolisian mengajukan upaya peninjauan kembali pada 2007. Sang pilot dihukum 20 tahun penjara, tapi ia telah dinyatakan menyelesaikan hukumannya dua tahun lalu, dengan berbagai remisi. Deputi Kepala BIN Muchdi Purwoprandjono sempat diajukan ke pengadilan, tapi hakim membebaskannya.

Hendropriyono berkali-kali menyatakan Badan Intelijen Negara tidak terlibat dalam pembunuhan Munir. "Saya tidak melakukannya dan, karena itu, saya tidak panik. Saya enggak mengerti apa-apa kasus ini," ujarnya ketika diwawancarai pada pertengahan Oktober lalu.

* * *

SEBELAS tahun lebih setelah meneken laporan itu, Marsudhi Hanafi kembali sibuk. Ketika bertemu dengan Tempo di Nirwana Lounge, Hotel Kempinski, Jakarta Pusat, Rabu siang pekan lalu, ia tiba-tiba saja menghentikan perbincangan. Ia menerima telepon, lalu berkata, "Maaf, saya harus pergi, ada rapat mendadak."

Marsudhi meluncur ke Puri Cikeas, Bogor, kediaman Yudhoyono. Dia diminta menghadiri rapat, yang digelar sehari setelah keterangan pers mantan presiden itu. Ia sebelumnya juga beberapa kali diundang rapat untuk membahas hal yang sama. Pertemuan Rabu pekan lalu juga dihadiri Sudi Silalahi dan Rachland Nashidik, anggota tim yang kini menjadi politikus Partai Demokrat.

Marsudhi mengatakan rapat memutuskan mengirim dokumen laporan yang dicetak dari versi digital. Sekitar pukul 15.00, seorang kurir menyampaikan salinan laporan itu ke Sekretariat Negara. "Ada tanda terimanya," ujarnya.

Juru bicara Presiden, Johan Budi Sapto Pribowo, membenarkan kabar bahwa Istana telah menerima salinan dokumen itu pada pukul 16.30. Menurut dia, dokumen dikirim atas nama Sudi Silalahi dan kini disimpan Kementerian Sekretariat Negara.

Pada hari yang sama, Kantor Staf Presiden mengundang pengacara senior Todung Mulya Lubis. Mengenakan setelan jas hitam dan kemeja putih garis-garis, Todung datang sekitar pukul 13.00 dan keluar satu jam kemudian. "Saya diundang sebagai salah satu pengusul pembentukan Tim Pencari Fakta," kata Todung, yang juga menjadi anggota tim itu pada 2005.

Dia mengatakan salinan dokumen tetap bisa dipakai. Tanpa dokumen yang asli pun, menurut dia, pemerintah sudah mendapat petunjuk untuk membuka dan melanjutkan pengusutan kasus pembunuhan Munir. "Sekarang bola ada di Presiden Joko Widodo," ujarnya. "Kasus ini sudah sepuluh tahun mengambang."

Pada petang harinya, Presiden Joko Widodo mengundang rapat Jaksa Agung Muhammad Prasetyo, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, dan Menteri Luar Negeri Retno L. Marsudi, duta besar di Belanda pada 2004. Seusai rapat, Prasetyo mengatakan, "Sesuai dengan penugasan Presiden, tugas saya menelusuri dokumen asli."

"Hilang"-nya dokumen ini diketahui setelah Kontras melayangkan surat ke Kementerian Sekretariat Negara pada 18 Februari 2016. Organisasi itu mendesak Sekretariat Negara mengumumkan laporan Tim Pencari Fakta.

Asisten Deputi Humas Kementerian Sekretariat Negara Masrokhan menjawab surat itu, menyatakan Sekretariat Negara tak memiliki dokumen Tim Pencari Fakta. Kontras melayangkan lagi surat yang berisi keberatan. Sekretariat Negara kembali menjawab pada 14 April 2016 melalui surat yang diteken Deputi Hubungan Kelembagaan Sekretariat Negara Dadan Wildan. Lembaga itu menegaskan tak mengetahui dan tak memegang dokumen yang dimaksud.

Kontras membawa perkara ini ke Komisi Informasi Pusat pada 28 April 2016, meminta dokumen Tim Pencari Fakta sebagai informasi publik. Dalam keterangan tertulis di sidang Komisi Informasi Pusat, Sudi Silalahi menyatakan pernah melihat Tim Pencari Fakta menyerahkan bundel map kepada Presiden. Namun ia menyatakan tidak menerima salinan dokumen itu. "TPF Munir tak memberikan selembar pun naskah kepada Sekretaris Kabinet," kata Sudi dalam keterangan tertulis.

Anggota staf khusus Menteri Sekretaris Negara, Alexander Lay, menyebutkan kantornya tak pernah menerima laporan akhir Tim Pencari Fakta. Dalam sidang, ditunjukkan daftar surat yang masuk ke Sekretaris Negara selama periode itu. Menurut Alexander, salah satu tugas Sekretariat Negara memang mengarsipkan surat atau laporan presiden. Tapi tak semua laporan untuk presiden masuk lewat Sekretariat Negara. "Laporan TPF Munir termasuk laporan untuk presiden yang tidak masuk melalui Sekretariat Negara," ujar Alexander.

Menurut Usman Hamid, mantan Sekretaris Tim Pencari Fakta, dokumen asli harus tetap dicari agar tidak dijadikan dalih menutup kasus Munir. "Mendapatkan dokumen asli itu mudah dan sangat bisa dilakukan," katanya.

Menurut Usman, Tim Pencari Fakta menyerahkan bundel laporan asli kepada Presiden Yudhoyono, Kejaksaan Agung, Kepolisian Negara RI, Sekretariat Negara, dan Badan Intelijen Negara. "Selain itu, kami, para anggota tim, masih menyimpan dokumen itu," ujarnya.

Usman mengingatkan, yang lebih penting dilakukan pemerintah adalah menjalankan rekomendasi Tim Pencari Fakta. Menurut dia, tidak sulit bagi Presiden untuk melaksanakannya. "Tinggal perintahkan saja Jaksa Agung untuk menjalankan rekomendasi Tim Pencari Fakta," katanya. Johan Budi menyatakan pemerintah bertekad menyelesaikan perkara ini.

Dua belas tahun lebih setelah kematiannya, Munir belum juga mendapatkan keadilan.

Sunudyantoro, Ananda Teresia, Istman M.P., Dewi Suci Rahayu (Jakarta), Eko Widianto (Malang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus